-- 
j.gedearka <j.gedea...@upcmail.nl>


https://mediaindonesia.com/podiums/detail_podiums/1778-ilmu-sosial


Selasa 17 Maret 2020, 05:10 WIB

Ilmu Sosial

Suryopratomo Dewan Redaksi Media Group | Editorial
 
Ilmu Sosial

MI/Ebet
Suryopratomo Dewan Redaksi Media Group.

MASSACHUSETTS Institute of Technology tidak hanya dikenal sebagai penguruan 
tinggi teknologi terbaik di dunia, tetapi juga tempat dilahirkannya ilmu-ilmu 
dan hasil karya yang memperkaya kehidupan ini. Sejak berdiri pada 1861, dari 
tempat ini tercatat 95 karya besar yang mendapatkan hadiah Nobel.

Meski fokus pada sains dan teknologi, di MIT ada School of Humanities, Arts, 
and Social Science. Rektor MIT Rafael Reif mengatakan kemajuan teknologi dan 
sains harus disertai dengan pemahaman akan kompleksitas politik, budaya, juga 
ekonomi dunia.

Kita sering alpa untuk melakukan kajian ilmu sosial dalam mengeluarkan sebuah 
kebijakan publik. Akibatnya, sering kali kebijakan itu tidak efektif ketika 
kemudian dijalankan. Kalaupun dipaksakan untuk dijalankan, sering menimbulkan 
persoalan baru. Itulah yang dalam ilmu sosial disebut unintended consequences.

Contoh paling menarik ialah kebijakan publik untuk menjaga jarak (social 
distancing) guna memutus penyebaran virus korona. Orang diimbau untuk sebisa 
mungkin tidak pergi ke luar rumah. Kalaupun harus keluar rumah, diminta untuk 
menjauhi kerumunan.

Untuk membuat warga tidak keluar rumah, salah satu kebijakan yang ditempuh 
ialah membatasi angkutan umum. Rute bus Trans-Jakarta dikurangi, demikian pula 
dengan frekuensinya. Hal yang sama dilakukan untuk moda raya terpadu (MRT).

Apa yang lalu terjadi? Kemarin pagi kita melihat terjadinya penumpukan calon 
penumpang bus Trans-Jakarta ataupun MRT. Antrean calon penumpang mengular 
begitu panjang. Dengan jumlah angkutan publik yang terbatas, jumlah penumpang 
yang diangkut pun menjadi berdesakan.

Kebijakan untuk menjaga jarak pun akhirnya menjadi tidak efektif. Dengan 
berdesakan, justru potensi untuk penyebaran virus menjadi meningkat. Kalau 
tujuannya menjaga jarak, seharusnya jumlah penumpang untuk sekali perjalanan 
yang dibatasi. Oleh karena itu, langkah yang ditempuh bukan mengurangi 
frekuensi, justru seharusnya menambah frekuensi.

Kalau tujuannya melarang orang keluar rumah, jawabannya seharusnya pelarangan 
orang untuk keluar rumah. Pertanyaannya, apakah mungkin kita bisa melarang 
orang keluar rumah? Kalau orang dilarang keluar rumah, apakah aparat pemerintah 
kota mempunyai kemampuan untuk mengirimkan kebutuhan sehari-hari bagi seluruh 
warganya?

Di sinilah peran dalam ilmu sosiologi. Kebijakan publik itu harus berpijak pada 
realitas kehidupan warganya. Kita harus memahami kultur dari warga yang hidup 
di kota, tahu kehidupan dari warganya.

Pengalaman krisis multidimensi 1998 mengajarkan kepada kita bahwa 99% ekonomi 
negara ini bertumpu pada usaha mikro, kecil, dan menengah. Sebagian besar dari 
warga ini bekerja di sektor informal. Petugas pertamanan yang menjaga keindahan 
taman-taman di Jakarta tidak semuanya pegawai pemerintah provinsi. Mereka yang 
memasang kabel listrik ataupun telepon belum tentu pegawai PLN atau Telkom. 
Mereka yang bekerja di ojek online bukan pegawai resmi Gojek ataupun Grab.

Mereka itu merupakan pegawai harian. Pendapatan mereka pun otomatis harian. 
Mereka tidak akan mempunyai pendapatan kalau tidak bekerja pada hari itu. Tidak 
usah heran, kalaupun pemerintah mengimbau orang untuk bekerja dari rumah, 
banyak orang yang tetap keluar rumah.
Para pedagang kaki lima, misalnya, tidak mungkin kita minta bekerja dari rumah. 
Mereka harus berada di tengah kerumuman orang untuk menghidupi keluarganya. 
Ketika pemerintah menutup tempat-tempat keramaian, mereka harus pindah agar 
keluarganya masih bisa makan.   

Cara pendekatan yang komprehensif itulah yang kita harapkan dilakukan 
pemerintah dalam memerangi virus korona sekarang ini. Sepanjang kita tidak 
menginjak ke bumi, kebijakan itu tidak akan efektif untuk dilaksanakan. 
Pelibatan ahli-ahli sosiologi itulah yang kita perlukan sekarang.
Termasuk dalam mengantisipasi kondisi negara ini ke depan. Apa yang perlu 
dilakukan dalam dua atau tiga bulan ke depan. Bagaimana warga bangsa ini masih 
punya harapan akan hari esok mereka.

Sekarang kita memang harus fokus pada kesehatan. Akan tetapi, jangan lupa bahwa 
ekonomi keluarga tetap harus juga diperhatikan. Pemerintah harus mempersiapkan 
kegiatan padat karya yang kelak bisa dilakukan terutama dari anggar­an 
pendapatan dan belanja negara ataupun kegiatan badan usaha milik negara.
Harus ada yang memikirkan bagaimana perut rakyat itu tidak sampai lapar.
 






Reply via email to