http://www.sinarharapan.co/opinidaneditorial/read/520/indikator_ekonomi_kurang_bagus
Indikator Ekonomi Kurang Bagus Senin , 26 Maret 2018 | 12:30 Kinerja perekonomian yang kurang bagus dalam tiga bulan terakhir bisa menjadi indikator yang mengkhawatirkan tahun ini. Kalau tidak ditangani secara sungguh-sungguh maka pertumbuhan ekonomi 2018 bisa tertekan, apalagi daya beli masyarakat tidak bisa didongkrak meningkat. Pakar ekonomi Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal mengingatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2018 berpotensi negatif. Defisit neraca perdagangan dalam tiga bulan terakhir (Desember - Februari ) merupakan indikasi yang harus diwaspadai. "Defisit perdagangan selama tiga bulan berturut-turut ini adalah yang pertama kali terjadi sejak 2014. Sebelumnya kita menikmati surplus," ujar Mohammad Faisal di Jakarta, Senin (26/3/2018). Februari lalu defisit neraca dagang nasional Rp Rp1,6 triliun, sehingga total tiga bulan terakhir sejak Desember 2017 menjadi Rp12,1 triliun. Hal tersebut harus menjadi perhatian serius pemerintah, karena kita akan sulit mencapai pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi tahun ini. "Net export yang jadi pendorong pertumbuhan ekonomi selama 2017 dengan pertumbuhan 21 persen, berpotensi memberikan sumbangan negatif pada pertumbuhan ekonomi pada kuartal pertama tahun ini," kata Faisal menambahkan. Kita perlu memahami bahwa defisit perdagangan juga akan semakin mendorong pelebaran defisit transaksi berjalan (current account deficit). Hal itulah yang menjadi salah satu faktor pendorong pelemahan nilai tukar rupiah, selain faktor eksternal seperti kenaikan suku bunga acuan bank sentral Amerika Serikat, the Fed. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), defisit neraca perdagangan pada Februari lalu dipicu oleh defisit sektor migas sekitar Rp12 triliun, sementara sektor perdagangan nonmigas surplus sebesar Rp10,3 triliun. "Defisit selama tiga bulan berturut-turut, ini harus menjadi perhatian kita. Ini tentunya menjadi peringatan buat kita semua,” kata Kepala BPS Suhariyanto beberapa waktu lalu. Indikator lain yang mencemaskan adalah mengenai pelambatan tingkat konsumsi rumah tangga nasional. Data BPS yang dipublikasikan bulan lalu menunjukkan terjadinya pelambatan tingkat konsumsi rumah tangga secara nasional tahun lalu dibandingkan tahun sebelumnya. Pelambatan tersebut terjadi di kuartal IV-2017 yang berada di level 4,97% dibanding dengan kuartal IV-2016 yang sebesar 4,99%. Hampir semua sektor mengalami pelambatan. Sektor makanan dan minuman, kemudian komponen pakaian, alas kaki, dan jasa perawatannya, komponen perumahan dan perlengkapan rumah tangga, demikian pula transportasi dan komunikasi. Sektor yang tumbuh lebih baik adalah restoran dan hotel, tumbuh 5,53% atau lebih bagus dibandingkan tahun 2016 yang sebesar 5,40%, demikian pula jasa kesehatan dan pendidikan. Konsumsi rumah tangga memiliki kontribusi yang paling tinggi dalam struktur pertumbuhan ekonomi, yakni sebesar 56,13%, disusul investasi dan ekspor. Indikasi penurunan tingkat konsumsi rumah tangga tahun lalu sudah lama disuarakan oleh pengamat dan dunia usaha. Masyarakat juga melihat indikasinya pada penutupan beberapa toko ritel, baik yang kelas menengah maupun kelas atas. Kita mengkhawatirkan kecenderungan ini akan menimbulkan akibat yang makin negatif. Hal tersebut semestinya kita cermati dengan seksama, terutama pemerintah dan pelaku usaha. Kita sejak tahun lalu melihat indikasi tidak sinkronnya indikator makro dan kondisi mikro. Indikator makro yang membaik nyatanya tidak dirasakan para pengusaha retail. Salah satu sebabnya adalah penurunan daya beli masyarakat sehingga kurang mendorong pertumbuhan sektor riil. Masalah ini harus disikapi dengan tepat. Maksudnya, bila kelesuan belanja rumahtangga disebabkan karena penurunan daya beli masyarakat hal tersebut tentu sangat mengkhawatirkan. Kiranya telah terjadi kesenjangan (gap) antara berbagai indikator makro yang bagus dengan kondisi mikro yang menunjukkan sebaliknya. Bila asumsi ini benar, maka timbul pertanyaan, sejauhmana kebijakan pemerintah mampu menggerakkan perekonomian nasional dan imbasnya terhadap peningkatan kesejahteraan rakyat. Jangan sampai kondisi perekonomian hanya bagus dalam angka, namun tidak demikian halnya dalam realita di lapangan. Kita mengkkawatirkan bila tidak ada langkah-langkah yang tepat kondisi ini akan semakin menurun. Tentu saja hal tersebut bukan kredit yang bagus bagi pemerintah karena dampaknya buruk bagi rakyat. Sumber Berita:Berbagai sumber