https://mediaindonesia.com/podiums/detail_podiums/1613-kpi

*Jumat 06 September 2019, 05:10 WIB *


 /*KPI*/

*Suryopratomo Dewan Redaksi Media Group | podium <https://mediaindonesia.com/podiums>* <https://www.facebook.com/share.php?u=https://mediaindonesia.com/podiums/detail_podiums/1613-kpi>  <https://twitter.com/intent/tweet?text=KPI https://mediaindonesia.com/podiums/detail_podiums/1613-kpi via @mediaindonesia>

KPI <https://disk.mediaindonesia.com/thumbs/1200x-/podiums/2019/09/6189d73b9af702c93c4bd7b4fca6742f.jpg>

/MI/
Suryopratomo Dewan Redaksi Media Group

LAGI-LAGI Presiden Joko Widodo mengeluhkan soal rendahnya investasi. Relokasi industri dari Tiongkok akibat perang dagang dengan AS ternyata tidak sampai ke Indonesia. Negara-negara sekitar seperti Thailand dan Vietnam justru yang mendapatkan durian runtuh.

Presiden mengkritik pejabat yang lebih suka dilayani daripada melayani. Sikap sebagai ambtenaar membuat pejabat lebih suka menunggu daripada bersikap proaktif. Padahal, dalam era persaingan bebas seperti sekarang yang menang ialah yang lebih proaktif dan cepat mengambil keputusan.

Salah satu visi Presiden dalam lima tahun ke depan adalah perbaikan pelayanan investasi. Presiden membuka seluas-luasnya investasi agar bisa memberikan lebih banyak lapangan pekerjaan. Ia tidak segan merombak birokrasi demi masuknya investasi.

Memang, kita tidak bisa ongkang-ongkang kaki untuk menjadi negara maju. Kalau pertumbuhan kita terus moderat di angka 5%, kita tidak pernah bisa keluar dari negara dengan pendapatan menengah. Kita perlu memacu pertumbuhan minimal 7% apabila ingin membawa Indonesia masuk negara pendapatan tinggi. Bahkan, kalau kita ingin produk domestik bruto di atas Jerman atau Korea Selatan, kita harus mampu tumbuh dengan angka rata-rata 10% sampai 2030.

Pertumbuhan ekonomi yang tinggi itu terasa mustahil apabila cara kerjanya masih seperti sekarang. Apalagi dengan sikap kita yang cenderung xenophobia. Kita selalu memprotes ketika ada investor asing sukses di Indonesia, sedangkan kita sendiri tidak melakukan apa-apa.

Yang lebih parah lagi, kita cenderung tidak suka kepada siapa pun yang berhasil. Kita selalu mencoba mencari-cari masalah ketika ada pengusaha yang sukses, bukan mendorong terus pengusaha yang berhasil itu agar semakin sukses.

Kita tidak punya pilihan lain untuk mendorong industri manufaktur apabila kita ingin menjadi negara maju. Pembangunan infrastruktur yang sudah susah payah kita lakukan dalam empat tahun terakhir ini akan terasa manfaatnya apabila kita mampu membangun industri manufaktur yang kuat.

Tidak mungkin kita terus bertumpu kepada produk yang tidak bisa diperdagangkan (non-tradable goods) seperti sekarang. Pertumbuhan ekonomi yang berbasis non- tradable goods bukan hanya menghasilkan pertumbuhan yang moderat, melainkan juga tidak berkelanjutan.

Apa yang harus dilakukan? Dalam jangka pendek, kita ubah ukuran keberhasilan (key performance indicator atau KPI) dari kepala daerah dan menteri-menteri. KPI mereka sekarang harus diukur dari pertumbuhan jumlah investasi dan jumlah perusahaan yang bisa dihasilkan. Bahkan, kita tambahkan lagi ukuran pertumbuhan perusahaan yang sudah ada di daerah itu.

Demokrasi yang kita pilih membuat kekuasaan itu seharusnya tidak lagi bertumpu kepada Presiden. Kepala daerah mempunyai tanggung jawab untuk semakin memakmurkan daerahnya. Desentralisasi yang diterapkan bersamaan dengan sistem demokrasi membuat tanggung jawab pembangunan ada di tangan kepala daerah.

Sekarang ini hambatan investasi paling banyak berada di daerah. Paradigma para pejabat masih belum berubah. Desentralisasi bukan pada pendelegasian penyelesaian persoalan di daerah, melainkan lebih banyak melahirkan 'raja-raja' kecil di daerah.

Kita melihat kepala daerah yang sudah berubah paradigmanya pasti daerahnya maju. Surabaya, Banyuwangi, Semarang, dan Kulon Progo merupakan contoh daerah yang berkembang maju karena kepala daerahnya memiliki wawasan terbuka.

Kendala bagi kepala daerah yang maju justru datang dari pejabat di pusat. Para kepala dinas terlalu sering dipanggil untuk mengikuti rapat koordinasi di Jakarta. Akibatnya, tugas utama pelayanan di daerah sering terbengkalai. Seorang bupati pernah mengusulkan agar rapat koordinasi sebaiknya disatukan saja di Kantor Menko sehingga kepala dinas tidak harus sering bolak-balik rapat di Jakarta.

Kita memang harus berubah sikap dan cara kerja apabila ingin mempercepat kemajuan bangsa dan negara ini, termasuk mengubah kultur dari bangsa ini untuk tidak takut bersaing. Kita harus belajar dari Pemimpin Tiongkok Deng Xiaoping yang mengatakan, "Tidak peduli kucing itu warnanya hitam atau putih, yang penting bisa menangkap tikus."

Tanpa ada ukuran yang jelas tentang apa yang kita harapkan ke depan, setiap kali kita hanya memunculkan rasa penyesalan. Padahal, pepatah mengatakan, "Sesal kemudian tiada berguna." Apalagi, kita pun selalu dihadapkan kepada kehidupan yang tidak selalu berjalan linier. Sekarang dunia sedang dihadapkan lagi pada ancaman resesi. Tantangan itu tidak bisa dijawab dengan mengeluh.

<https://www.facebook.com/share.php?u=https://mediaindonesia.com/podiums/detail_podiums/1613-kpi>  <https://twitter.com/intent/tweet?text=KPI https://mediaindonesia.com/podiums/detail_podiums/1613-kpi via @mediaindonesia>






Kirim email ke