...teori shifting dari toko konvensional ke online tidak bisa disalahkan 
sebagai penyebab penurunan penjualan ritel secara nasional.

 Porsi e-commerce terhadap total ritel nasional masih dibawah 1 persen. Ini 
artinya teori shifting dari toko konvensional ke online tidak bisa disalahkan 
sebagai penyebab penurunan penjualan ritel secara nasional.
...



Kambing Hitam Daya Beli Masyarakat
Bhima Yudhistira Adhinegara, CNN Indonesia | Jumat, 04/08/2017 08:55 WIBBagikan 
:     Jakarta, CNN Indonesia -- Mal sepi, pusat pertokoan di Glodok dan Mangga 
Dua di Jakarta mulai ditinggalkan pembeli. Ruko-ruko yang dulu padat pengunjung 
kini berubah menjadi kios hantu. Penjualan ritel pun menurun tajam bahkan di 
saat Lebaran dimana puncak permintaan terjadi. 

Daya beli masyarakat pun dikabarkan sedang lesu. 

Isu ini ramai diperbincangkan belakangan ini. Banyak pengamat, mulai dari 
Profesor kawakan yang sempat viral di media sosial hingga ketua asosiasi ritel, 
berlomba mencari akar penyebab anomali ekonomi. 


Disebut anomali karena secara makro pertumbuhan ekonomi masih tergolong bagus, 
diangka 5 persen. 

Ada pihak yang mengatakan bahwa sebenarnya pelemahan daya beli tidak terjadi, 
yang ada adalah shifting atau pergeseran dari toko ritel konvensional ke 
e-commerce. 

Hal ini misalnya bisa dilihat dari perkembangan toko online yang kian menjamur, 
mulai dari platform jual-beli hingga usaha rumahan yang tidak terdeteksi berapa 
omsetnya.

| 
Lihat juga:
Mencermati Turunnya Daya Beli di Tengah Tren Inflasi Rendah |

Pakar manajemen inovasi pun angkat bicara bahwa berita penurunan penjualan 
ritel hanyalah jeritan dari para pengusaha ritel tua yang menyalahkan kondisi 
karena kalah saing oleh lawan-lawan yang tak kelihatan. 

Mereka pun mengeluarkan analisis tentang perubahan pola belanja generasi 
milenial yang disruptif dan melek digital sehingga dapat disimpulkan bahwa 
ekonomi kita sebenarnya baik-baik saja. 

Sekali lagi hanya terjadi shifting atau pergeseran, yaitu disatu sisi peritel 
konvensional menelan kerugian, disisi yang lain ada pemain e-commerce yang raup 
untung besar. 

Setelah ditelusuri dan dicocokkan dengan berbagai data, kehadiran e-commerce 
dan generasi milenial tidak bisa menggambarkan kondisi ekonomi secara nasional. 


| 
...teori shifting dari toko konvensional ke online tidak bisa disalahkan 
sebagai penyebab penurunan penjualan ritel secara nasional.
 |

Porsi e-commerce terhadap total ritel nasional masih dibawah 1 persen. Ini 
artinya teori shifting dari toko konvensional ke online 
tidak bisa disalahkan sebagai penyebab penurunan penjualan ritel secara 
nasional. 

Meskipun ada fakta omset salah satu perusahaan e-commerce selama Lebaran naik 
hingga 200 persen, dan sebuah perusahaan logistik dikabarkan merekrut 500 
karyawan baru, hal itu tetap tidak bisa dijadikan pembenaran atas kondisi yang 
terjadi. 

Faktanya daya beli masyarakat memang menurun tajam sejak 3 tahun lalu.

Pertumbuhan konsumsi rumah tangga berdasarkan data triwulanan BPS terus 
melambat yakni dari 5,15 persen di 2014 menjadi 4,93 persen di tahun 2017. 

Bagi negara dengan 57 persen kue ekonomi yang dibentuk dari konsumsi, tentu 
tren penurunan tersebut berimbas pada banyak sektor. Otomatis sektor ritel yang 
menjual consumer goods pasti menurun. 

Indikator kedua kelesuan daya beli juga bisa ditelusuri dari rendahnya inflasi 
selama 2 tahun terakhir. 

Klaim Pemerintah bahwa inflasi terkendali pun menimbulkan tanda tanya. 

Memang saat Lebaran lalu, inflasi Juni tercatat 0,69 persen dengan inflasi 
pangan yang relatif rendah, tetapi yang menarik adalah inflasi inti atau core 
inflation dibandingkan tahun sebelumnya menunjukkan penurunan, dari 0,33 persen 
menjadi 0,26 persen Kalau core inflation turun, bisa jadi permintaan agregatnya 
rendah. 

Ini jelas tanda-tanda daya beli memburuk ketimbang kehebatan Pemerintah dalam 
mengendalikan harga pangan. 

Salah satu penyebab utama turunnya daya beli adalah era commodity boom, 
terutama kenaikan harga minyak, telah berakhir. 

| Peralihan pola belanja generasi muda disebut menjadi penyebab aktivits 
konsumen, namun data berbicara sebaliknya. (CNN Indonesia/Safir Makki) |

Dan ini diikuti juga dengan turunnya perekonomian China sebagai mitra dagang 
terbesar Indonesia. 

Penurunan kinerja ekonomi secara global tersebut membuat ekonomi Indonesia 
terpukul. 

Pemerintah ingin mengembalikan keadaan ekonomi dengan menggenjot pembangunan 
infrastruktur. Sayangnya obat yang diramu Pemerintah ini masih punya banyak 
kekurangan. 

Pembangunan infrastruktur berbeda dari era Soeharto dulu dalam hal penyerapan 
tenaga kerja. Saat ini teknologi konstruksi sudah canggih sehingga tidak 
terlalu dibutuhkan banyak tenaga kerja. 

Jadi ratusan proyek infrastruktur yang dibuat Pemerintah kadang tidak sebanding 
dengan tenaga kerja yang diserap. 

Begitu pun dengan investasi yang masuk ke Indonesia makin padat modal dan padat 
teknologi ketimbang padat karya. 

Wajar apabila realisasi penyerapan tenaga kerja versi BKPM menurun 141 ribu 
orang di semester I 2017 dibandingkan tahun sebelumnya. Kalau penyerapan tenaga 
kerjanya jelek, otomatis pendapatan masyarakat secara umum tidak bisa mengejar 
kenaikan harga. 

Belum lagi, pencabutan subsidi listrik memukul masyarakat dari sisi pengeluaran 
dari Januari hingga Juni. 

| Teknologi yang semakin canggih membuat proyek infrastruktur tidak lagi 
menyerap banyak tenaga kerja.(Ilustrasi/Dok. Setpres/Cahyo) |

Melihat realita penurunan daya beli, sebaiknya Pemerintah tidak lagi berdiskusi 
dan mencari berbagai macam kambing hitam. 

Pemerintah diharapkan sekarang bekerjasama dengan pelaku usaha merumuskan jalan 
keluar dari kesulitan saat ini. 

Misalnya 15 paket kebijakan yang sudah lama tak terdengar progressnya dikaji 
kembali penerapannya. 

Letak masalah dari sisi koordinasi maupun teknis operasional paket kebijakan 
harusnya muncul kembali sebagai diskursus publik yang akhirnya memunculkan 
ide-ide terobosan. 

Perlu diingat bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang solutif, bukan bangsa 
yang sibuk cari kambing hitam sebagai pembenaran.

Kirim email ke