“Jadi, Anda mempromosikan vasektomi ketika ada ‘keluarga berencana.’ Tetapi 
ketika masyarakat dibutuhkan lebih banyak orang, Anda mengizinkan dua anak. 
Apakah Anda menjadikan warga sebagai semacam mesin reproduksi?” tanya seorang 
netizen dengan nama pengguna “Zhong Xiaoshu” dari Liaoning.

Rejim Tiongkok ketika menerapkan kebijakan satu anak dengan secara paksa 
melakukan praktik-praktik pengendalian kelahiran seperti pemasangan IUD, ligasi 
tuba, dan vasektomi. Pihak berwenang juga secara paksa melakukan aborsi, bahkan 
ketika wanita itu berada di tahap akhir kehamilan.


Kebijakan satu-anak Tiongkok selama satu dekade telah menciptakan segudang 
masalah sosial. Pertama, rasio jenis kelamin Tiongkok berada pada 115,4 pria 
berbanding 100 wanita per November 2017, menyisakan lebih dari 1 juta bujangan 
yang kemungkinan akan tetap melajang selama sisa hidup mereka. Kedua, angkatan 
kerja menyusut sementara populasi orang yang berusia di atas 60 tahun telah 
meledak. Ketiga, jaring pengaman sosial Tiongkok untuk orang tua berantakan 
karena banyak anak di negara tersebut yang harus menanggung beban menyediakan 
kebutuhan hidup bagi orang tua dan kakek-nenek mereka.
....

Kebijakan Tiongkok Agar Pasangan Memiliki Anak Kedua Dikritik


| 
| 
| 
|  |  |

 |

 |
| 
|  | 
Kebijakan Tiongkok Agar Pasangan Memiliki Anak Kedua Dikritik

Setelah hampir empat dekade kebijakan satu-anak yang dipaksakan oleh pemerintah 
yang telah menyebabk ...
 |

 |

 |




11:17, 20/07/2018


Seorang anak bermain di sebuah kota kumuh di Kota Shenyang, Provinsi Liaoning, 
Tiongkok, pada 11 Maret 2009. (Foto Tiongkok / Getty Images)

Setelah hampir empat dekade kebijakan satu-anak yang dipaksakan oleh pemerintah 
yang telah menyebabkan ketidakseimbangan gender yang parah dan tingkat 
kelahiran yang rendah, rezim Tiongkok memutuskan menghapus kebijakan tersebut 
pada tahun 2015 dan mendorong pasangan untuk memiliki dua anak. Itu adalah 
upaya mengatasi penurunan populasi yang mengancam pembangunan negara tersebut.


Hampir tiga tahun kemudian, dan masih menghadapi tingkat kelahiran yang 
menurun, otoritas Tiongkok sibuk mengeluarkan mandat untuk mendorong 
orang-orang memiliki lebih banyak anak.

Di Provinsi Liaoning Tiongkok bagian utara, pemerintah provinsi tersebut 
baru-baru ini meluncurkan kebijakan sosial seperti memperkenalkan tunjangan 
cuti melahirkan dan paternitas yang lebih baik, mendorong para pengusaha untuk 
menyediakan jam kerja yang fleksibel bagi wanita sebelum dan sesudah kehamilan, 
dan memberlakukan pajak, pendidikan, dan kebijakan-kebijakan perumahan yang 
menguntungkan keluarga yang memiliki lebih dari satu anak, menurut laporan 18 
Juli oleh koran The Paper yang dikelola pemerintah.

Pemerintah lokal di Shihezi, sebuah kota di wilayah Xinjiang, Tiongkok barat 
laut, baru-baru ini mengeluarkan lima kebijakan untuk mendorong lebih banyak 
pasangan untuk memiliki anak kedua, menurut The Paper. Itu termasuk 14 minggu 
cuti melahirkan berbayar, di mana majikan harus membayar 80 persen dari gaji 
wanita. Wanita juga tidak akan didiskriminasi, ketika mendapat promosi dan 
kenaikan gaji, selama mengambil cuti hamil.

Menurut The Paper, Kota Tianjin di Tiongkok utara, serta kota Yichang dan 
Xintao di Propinsi Hubei Tiongkok tengah, telah mengeluarkan 
kebijakan-kebijakan serupa sejak tahun 2017.

Tetapi bagi para warga Tiongkok, desakan dalam memperkenalkan kebijakan 
tersebut mungkin terlalu kecil, dan terlambat. Di Sina Weibo, platform 
mikroblogging mirip Twitter di Tiongkok, banyak netizen mengungkapkan kemarahan 
terhadap rezim terkait masalah ini.

“Bisakah [otoritas Tiongkok] sekarang secara terbuka mengakui bahwa kebijakan 
satu-anak itu jahat?” tanya seorang netizen dari Hubei.

“Dapatkah [rezim] mengembalikan uang yang dibutuhkan untuk mendenda orang 
[karena melanggar kebijakan satu anak]?” tanya seorang netizen dengan nama 
pengguna “CLQY” dari Provinsi Jiangsu di pesisir Tiongkok. Keluarga dengan 
lebih dari satu anak sering didenda berat jika mereka tertangkap oleh pihak 
berwenang.

“Jadi, Anda mempromosikan vasektomi ketika ada ‘keluarga berencana.’ Tetapi 
ketika masyarakat dibutuhkan lebih banyak orang, Anda mengizinkan dua anak. 
Apakah Anda menjadikan warga sebagai semacam mesin reproduksi?” tanya seorang 
netizen dengan nama pengguna “Zhong Xiaoshu” dari Liaoning.

Rejim Tiongkok ketika menerapkan kebijakan satu anak dengan secara paksa 
melakukan praktik-praktik pengendalian kelahiran seperti pemasangan IUD, ligasi 
tuba, dan vasektomi. Pihak berwenang juga secara paksa melakukan aborsi, bahkan 
ketika wanita itu berada di tahap akhir kehamilan.

Kebijakan satu-anak Tiongkok selama satu dekade telah menciptakan segudang 
masalah sosial. Pertama, rasio jenis kelamin Tiongkok berada pada 115,4 pria 
berbanding 100 wanita per November 2017, menyisakan lebih dari 1 juta bujangan 
yang kemungkinan akan tetap melajang selama sisa hidup mereka. Kedua, angkatan 
kerja menyusut sementara populasi orang yang berusia di atas 60 tahun telah 
meledak. Ketiga, jaring pengaman sosial Tiongkok untuk orang tua berantakan 
karena banyak anak di negara tersebut yang harus menanggung beban menyediakan 
kebutuhan hidup bagi orang tua dan kakek-nenek mereka.

Hanya beberapa hari sebelum pemerintah Liaoning mengeluarkan kebijakan 
mendorong kelahiran, pihaknya mengumumkan rencana bagi para lansia untuk terus 
bekerja sehingga mereka dapat membantu meminimalkan beban keuangan dari 
angkatan kerja yang telah berkurang tersebut, menurut laporan 11 Juli oleh 
Radio Free Asia.

Kebijakan tersebut menyerukan “secara efektif mengeksplorasi dan mengembangkan 
database sumber daya manusia lansia” dan “secara bertahap menerapkan kebijakan 
penangguhan pensiun.” Selain itu, ia menyerukan program pendidikan untuk 
lansia, sehingga mereka dapat membuka usaha mereka sendiri dan berkontribusi 
ekonomi di masa pensiun terakhir. (ran)

ErabaruNews




Kirim email ke