Kesaksian Adik Kelas SMA soal Radikalisme Pelaku Bom Gereja https://www.cnnindonesia.com/nasional/20180514131350-20-298072/kesaksian-adik-kelas-sma-soal-radikalisme-pelaku-bom-gereja Riva Dessthania Suastha, CNN Indonesia | Senin, 14/05/2018 15:34 WIB Ahmad Faiz, adik kelas pelaku bom bunuh diri Surabaya, Dita Supriyanto menduga radikalisme Dita sudah tertanam sejak SMA lewat kegiatan berkedok pengajian. (Foto: ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat) Jakarta, CNN Indonesia -- Ahmad Faiz Zainuddin yang mengaku sebagai adik kelas pelaku teror bom Surabaya, Dita Supriyanto, menduga paham radikalisme yang diusung kakak kelasnya itu sudah tertanam sejak SMA. Lewat status di akun Facebook-nya, Ahmad menyebut Dita adalah kakak kelasnya di SMA 5 Surabaya yang lulus tahun 1991. Ahmad pun mengaku tidak kaget mendengar nama Dita disebut sebagai pelaku teror bom tiga gereja di Surabaya, Jawa Timur, Minggu (13/5). Ahmad tidak mengenal Dita secara langsung. Namun, menurut dia, apa yang dilakukan Dita merupakan akumulasi paham radikalisme yang sudah tertanam sejak SMA, melalui kegiatan berkedok pengajian. Kesimpulan itu berdasarkan pengalaman Ahmad ketika mengikuti sejumlah pengajian saat SMA. Dari pengalamannya, kata Ahmad, tak semua pengajian mengajarkan hal positif. Ada juga yang justru menjadi tempat menanamkan benih-benih radikalisme. "Beberapa menentramkan saya, seperti pengajian Cinta dan Tauhid Alhikam, beberapa menggerakkan rasa kepedulian sosial seperti pengajian Padhang Mbulan Cak Nun. Yang lain menambah wawasan saya tentang warna warni pola pemahaman Islam dan pergerakannya," tulis Ahmad. "Di antaranya ada juga pengajian yang isinya menyemai benih-benih ekstremisme radikalisme. Acara rihlah (rekreasinya) saja ada simulasi game perang-perangan. Acara renungan malamnya diisi indoktrinasi Islam garis keras," imbuh Ahmad. Lihat juga:Mantan Napi Teror Sebut Indonesia Jadi Arena Baru Eks ISIS https://www.cnnindonesia.com/nasional/20180514141741-12-298063/mantan-napi-teror-sebut-indonesia-jadi-arena-baru-eks-isis/ Negara Islam Ahmad lalu menceritakan pengalamannya mengikuti pengajian semasa kuliah di Universitas Airlangga Surabaya. Saat itu, kata dia, peserta pengajian dicuci otaknya mengenai pentingnya menegakkan Negara Islam Indonesia. "Dan untuk menegakkan ini kita perlu dana besar. Dan untuk itu kalau perlu kita ambil uang (mencuri) dari orangtua kita untuk disetor ke mereka," kata Ahmad. Apa yang dilakukan Dita itu juga mengingatkan Ahmad pada sosok Ketua Rohis semasa SMA yang menolak ikut upacara bendera dan menyanyikan lagu kebangsaan karena menganggap dua hal itu sebagai syirik dan bidah. Ahmad menyebut Ketua Rohisnya juga tak mau mencantumkan profesinya sebagai pelajar SMA dalam buku agendanya. Alih-alih sang Ketua Rohis mencantumkan profesi mujahid dalam buku agenda tersebut. Ahmad menduga apa yang dilakukan Ketua Rohis-nya itu dipengaruhi oleh sejumlah buku atau majalah berbungkus Islam yang marak beredar saat itu. Isi majalah atau buku itu, kata Ahmad, banyak menampilkan secara vulgar pembantaian etnis muslim Bosnia oleh Serbia. "Dan ini dijadikan pembakar semangat anak-anak muda zaman saya waktu itu untuk menjadi 'mujahid-mujahid pembela Islam', beberapa akhirnya berangkat beneran ke medan perang," tutur Ahmad. Ledakan bom di salah satu gereja di Surabaya. (Foto: REUTERS/Beawiharta) Lihat juga:Sejarah Bom Mobil dan Awal Menggunakannya https://www.cnnindonesia.com/teknologi/20180514135203-384-298050/sejarah-bom-mobil-dan-awal-menggunakannya/ Menyebar Puluhan Tahun Dari pengalamannya itu, Ahmad menganggap terorisme dan budaya kekerasan sudah menyebar sejak puluhan tahun lamanya bahkan di sekolah-sekolah dan kampus ternama dengan kedok kegiatan agama. Ahmad pun menduga paham radikalisme yang ada di benak Dita, kakak kelasnya itu tertanam sejak muda dari kegiatan ekstremisme berkedok pengajian itu. "Saya sedih sekali akhirnya yang saya takutkan benar-benar terjadi, tapi saya sebenarnya tidak terlalu kaget ketika akhirnya dia [Dita] meledakkan diri bersama keluarganya sebagai puncak 'jihad' dia, karena benih-benih ekstremisme itu telah ditanam sejak 30 tahun lalu," kata Ahmad. Dita adalah kepala keluarga sekaligus diduga otak di balik aksi bom bunuh diri di tiga gereja di Surabaya pada Minggu (13/5). Polisi menyebut Dita bersama istrinya, K, dan empat anaknya melakukan aksi bom bunuh diri ke Gereja Katolik Santa Maria Tak Bercela, Gereja Kristen Indonesia (GKI) Diponegoro, dan Gereja Pantekosta Pusat Surabaya (GPPS). Dita secara bergantian mengantarkan istri dan anak-anaknya ke dua lokasi pengeboman sebelum akhirnya meledakan diri sendiri di depan Gereja Pantekosta Pusat Surabaya. Lihat juga:Kutuk Bom Surabaya, MUI Ajak Warga Perangi Terorisme https://www.cnnindonesia.com/nasional/20180514120134-20-298036/kutuk-bom-surabaya-mui-ajak-warga-perangi-terorisme/ "Serangkaian bom di tanah kelahiran saya dengan tempat-tempat yang sangat akrab di telinga dengan segala kenangan masa kecil, plus pelaku utama yang terasa begitu dekat dengan memori masa-masa SMA-kuliah dulu ini membuat saya tersentak bahwa ekstremisme, radikalisme, bahkan terorisme ini sudah menjadi clear and present danger," tulis Ahmad. "Ini tidak lagi sebuah film di bioskop atau berita koran yang terjadi nun jauh di negeri seberang. Ini sudah terjadi di sini dan saat ini di sekitar kita," ujarnya melanjutkan. Pemerintah dan masyarakat, menurut Ahmad, harus bisa memantau dan memastikan ajaran sekolah dan kampus bersih dari gerakan-gerakan bawah tanah Islam yang rentan menyebarkan radikalisme. "Mohon jangan salah paham, mainstream-nya pergerakan Islam di sekolah dan kampus ini tidak se-ekstrem kakak kelas saya tersebut. Tapi ada cukup banyak yang sifatnya sembunyi-sembunyi di mana saya waktu itu ikut merasakan ngaji bersama mereka," tulis Ahmad. (wis/asa)
[GELORA45] Kesaksian Adik Kelas SMA soal Radikalisme Pelaku Bom Gereja
jonathango...@yahoo.com [GELORA45] Mon, 14 May 2018 18:40:20 -0700