-- 
j.gedearka <j.gedea...@upcmail.nl>



https://news.detik.com/kolom/d-4944250/maaf-dan-memori-kolektif-hindia-belanda?tag_from=wp_cb_kolom_list



Kolom

Maaf dan Memori Kolektif Hindia-Belanda

Ardiansyah Bagus Suryanto - detikNews
Rabu, 18 Mar 2020 16:28 WIB
0 komentar
SHARE URL telah disalin
Cucu Jokowi, Sedah Mirah Nasution ikut menyambut Raja Willem dan Ratu Máxima di 
Istana Bogor.
Foto: Andhika
Jakarta -

Keinginan dan ambisi leluhur mewariskan prasangka. Hubungan satu orang dengan 
orang lain, suatu masyarakat dengan masyarakat lain, suatu bangsa dengan bangsa 
lain bisa hancur dengan prasangka. Hal tersebut memicu kecurigaan, 
perselisihan, permusuhan, pembunuhan, hingga pertumpahan darah. Akibatnya, 
resistensi dan balas dendam menjadi warisan dari generasi ke generasi, mulai 
dari skala terkecil hingga gelombang pergerakan.

Sebuah keputusan berasal dari pemikiran, intisari sumpah berbuah kesetiaan, 
permintaan maaf dan penyesalan menjadi sebuah kekuatan. Keputusan Raja Belanda 
Willem-Alexander untuk meminta maaf kepada bangsa Indonesia atas tragedi masa 
lalu memunculkan beragam pertanyaan. Bukan untuk melanggengkan prasangka 
negatif, tetapi mengingatkan arti penting kedaulatan sebuah bangsa.

Apa kepentingan Belanda terhadap negara yang pernah mereka duduki? Sebuah 
pertanyaan sejarawan Belanda Marjolein Van Pagee kepada negerinya dalam sebuah 
surat kabar Indonesia berbahasa Inggris.

Pemerintah Belanda sampai saat ini menolak untuk mengakui Proklamasi 
Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945 secara hukum. Undang-Undang 
Belanda menyebut tahun 1949 sebagai tahun kemerdekaan Indonesia belum pernah 
direvisi. Belanda masih menggunakan dasar hukum penyerahan kedaulatan tahun 
1949. Hal ini melanggar prinsip-prinsip konstitusional Indonesia dan belum 
terselesaikan.

Pada 2005, dalam Peringatan 60 Tahun Kemerdekaan Indonesia, Menteri Luar Negeri 
Belanda Ben Bot hanya mengungkapkan penyesalan atas aksi kekerasan pada akhir 
masa kolonial pada 1945-1949. Karena khawatir akan tuntutan hukum atas semua 
pelanggaran hak asasi manusia oleh Belanda, dia tidak meminta maaf. Demikian 
juga Ratu Beatrix, pada 1995 menunda keberangkatan sehingga sampai di Indonesia 
4 hari setelah peringatan 17 Agustus.

Minta Maaf

Kunjungan Willem-Alexander sebagai generasi baru tidak bertanggung jawab secara 
langsung atas kolonialisme di masa lalu. Namun posisinya sebagai raja secara 
tidak langsung mewarisi kekayaan masa lalu. Keluarga Kerajaan Belanda telah 
mendapatkan miliaran dari menindas orang-orang Indonesia selama berabad-abad, 
tanpa pernah bertanggung jawab. Sekarang, seolah-olah semua sudah termaafkan 
dengan kunjungan kenegaraan.

Rangkaian kunjungan Raja Belanda ke Indonesia mendapat respons beragam dari 
berbagai pihak. Dalam kasus lain, ketika Presiden RI berencana minta maaf 
kepada keluarga PKI, ada konsekuensi yang harus dibayar. Bukan sekadar minta 
maaf, tetapi negara juga menanggung ganti rugi. Di Belanda, hanya sebagian 
kecil melalui upaya Jeffry Bung Karno melalui organisasi yang dipimpinnya, 
Komite Utang Kehormatan Belanda, telah memenangkan sejumlah kasus pengadilan 
untuk janda dan anak-anak Indonesia.

Simbol permintaan maaf ditandai dengan kembalinya keris Nogo Siluman milik 
Pangeran Diponegoro. Secara resmi benda pusaka ini diserahkan oleh Raja 
Willem-Alexander kepada Presiden Joko Widodo. Keris yang sudah berpindah dari 
Nusantara sejak 1831 kini menjadi koleksi Museum Nasional Indonesia. Hal 
tersebut membuat masyarakat melayangkan tuntutan lain terkait pengembalian 
benda bersejarah, di antaranya bendera Singamangaraja XII dan arsip tulisan 
tangan Bung Karno

Belanda negara yang bebas dan demokratis. Kita semua ingin mengakhiri berbagai 
prasangka, sayangnya sikap dan kebijakan kolonial terus ditunjukkan. 
International Criminal Court yang berbasis di Den Haag seakan berbanding 
terbalik dengan berbagai kasus yang belum terselesaikan. Den Haag secara 
internasional dipandang sebagai kota perdamaian dan keadilan, sejatinya adalah 
tamparan di muka semua orang yang mengetahui wajah asli Belanda.

Memori Kolektif

Memori kolektif adalah pengalaman hidup bersama yang bersifat asli dan telah 
mengalami proses budaya. Memori kolektif perasaan senasib seperjuangan 
menyatukan berbagai suku, agama, dan bahasa berwujud Indonesia. Merdeka atau 
mati menjadi spirit gelombang pergerakan, bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu 
ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus 
dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.

Harga diri manusia Indonesia ada pada 17 Agustus 1945. Selama konstitusi 
Belanda belum merevisi pengakuan kemerdekaan Indonesia tahun 1949 menjadi 1945, 
permintaan maaf hanya sekadar pemanis buatan. Belanda masih menganggap harga 
manusia Indonesia dan bangsanya seperti berabad-abad sebelumnya, seakan-akan 
mereka yang berhak memanfaatkan sumber daya alam Indonesia. Ini seperti 
mengembalikan memori kolektif tindakan rasis yang tertulis pada plakat di 
banyak restoran dan kolam renang selama masa kolonial: Forbidden for dogs and 
natives (Anjing dan pribumi dilarang masuk).

Keadilan terus diperjuangkan dan proses hukum senantiasa mengancam citra 
Belanda yang berdarah. Untuk meredam dampak negatif dari kasus-kasus yang telah 
ada di pengadilan, pemerintah Belanda berpura-pura bertanggung jawab pada 2017 
dengan membiayai penyelidikan skala besar terhadap peristiwa 1945-1959. Namun 
segera setelah proyek tersebut diluncurkan, penelitian ini penuh kontroversial. 
Para peneliti justru berbicara tentang kekerasan "di kedua belah pihak", 
seolah-oleh Belanda bukan menjajah tetapi sebagai mitra yang setara. Mereka 
seakan sengaja melupakan betapa besar sumber daya alam yang dieksploitasi.

Pada Desember 2019, sebuah laporan TV Belanda mengilustrasikan warisan kolonial 
salah satunya menyoroti warisan besar leluhur William-Alexander, Ratu Juliana. 
Laporan tersebut tidak mengungkapkan lebih jauh bagaimana Negeri Belanda 
menjadi begitu kaya. Pembahasan hanya seputar kesepakatan yang menguntungkan 
dan keberhasilan keluarga kerajaan dalam bernegosiasi. Maka, untuk mencapai 
keadilan sosial dalam konteks ini kita perlu mengingat kembali sebuah adagium 
dari tokoh pergerakan nasional Tan Malaka, bahwa tuan rumah tidak akan 
berunding dengan maling yang menjarah rumahnya.

Ardiansyah Bagus Suryanto Kader Bela Negara Kementerian Pertahanan Republik 
Indonesia

(mmu/mmu)







Reply via email to