http://ekonomi.kompas.com/read/2017/11/28/174107726/madu-hutan-ukui-pencuri-sakti-dan-segala-mitosnya
Madu Hutan Ukui, Pencuri "Sakti", dan Segala Mitosnya...
Dimas Wahyu
Kompas.com - 28/11/2017, 17:41 WIB
Petani madu bernama Saptu memegang sarang lebah yang diambilnya dari
wilayah Ukui, Riau, Kamis (14/9/2017).
Petani madu bernama Saptu memegang sarang lebah yang diambilnya dari
wilayah Ukui, Riau, Kamis (14/9/2017).(Dimas Wahyu)
*KOMPAS.com* - Isu madu <http://indeks.kompas.com/tag/madu> palsu
mungkin hanya menjadi persoalan bagi warga perkotaan yang menginginkan
kemurniannya.
Namun, bagi masyarakat yang tinggal di Ukui, Pelalawan, Riau
<http://indeks.kompas.com/tag/Riau>, madu palsu bukan sesuatu yang
dihiraukan. Pasalnya, cairan manis gelap keemasan yang dihasilkan lebah
tersebut diperoleh langsung dari hutan.
" Madu <http://indeks.kompas.com/tag/madu> palsu, kami tidak tahu. Entah
apa yang dicampur. Kalau madu asli, masukkan lemaris es akan jadi
kental, tidak jadi es batu," kata Saptu, salah satu petani madu di Ukui,
Kamis (14/9/2017) siang.
Tidak membatu jadi es kira-kira menandakan bahwa madu tersebut tidak
mengandung air penambah karena murni langsung dari lebah hutan.
Namun, untuk memperolehnya, kita mesti punya nyali. Pasalnya, sarang
dari lebah jenis /Apis dorsata/ itu tergantung di pohon sialang setinggi
50 meter atau kira-kira setara bangunan 10 lantai. Karena tak terlalu
mudah dijamah, sekali ambil pun bisa sampai 30 kilogram.
"Sekarang ya 30 kilogram. Dulu malah pernah dapat satu ton. Itu tahun
2007," ujar pria yang mengaku sudah turun-temurun berada dan mengambil
madu di area Ukui itu lalu bercerita soal alasan kenapa jumlah madu-madu
itu berkurang.
Ada yang salah dalam tradisi pengambilan madu, menurut Saptu, yang pada
akhirnya berpengaruh pada berkurangnya hasil alam tersebut.
Ia kemudian bercerita tentang sepak terjang para pencuri "sakti" yang
tidak disengat lebah saat mengambil madu pada siang hari. Namun, sebutan
"sakti" itu pada akhirnya hanya menjadi sindirian.
"Mereka yang ambil siang dikira orang pintar, sakti, padahal pintar
akalnya, badan dibungkus supaya tidak disengat lebah," ujarnya lalu
menjelaskan bahwa para pencuri itu kebanyakan memakai pembungkus badan.
Namun, bukan digigit atau tidak digigit lebah yang menjadi soal bagi
Saptu. Pilihan waktu siang-lah yang ia sesalkan.
Menurut penjelasannya, mengambil sarang lebah saat siang tidak dilakukan
dengan mengusir lebah, tetapi main potong.
Pada akhirnya, lebah-lebah itu mati, entah karena benda tajam tersebut
atau karena ramai-ramai terbawa masuk dan tenggelam dalam wadah
penampung madu.
"Ya kami dari dulu mengambilnya malam. Lebah tidak lihat. Kalau sekarang
kan banyak juga yang mengambil siang. Kalau ambil siang ini, banyak efek
sampingnya," ujarnya lalu menyebut bahwa lebah yang mati bisa 1.000 ekor
"salah prosedur" tersebut.
*Jampi-jampi*
Saptu kemudian masuk sebentar ke dalam rumahnya yang berdinding
bilah-bilah kayu itu, dan keluar lagi membawa kayu jangkang. Bentuknya
sudah berupa irisan tipis yang lalu digulung dan diikat menjadi seperti
tongkat.
Seikat kayu jangkang adalah salah satu "senjatanya" saat mengambil madu.
Caranya dengan dibakar.
Asapnya yang banyak akan mengusir lebah dari sarangnya, sementara
percikannya yang jatuh ke bawah menjadi daya tarik bagi makhluk-makhluk
kecil tersebut untuk diikuti. Dengan cara itu, lebah tidak mati, tetapi
pergi sesaat.
Petani madu hutan, Saptu, memegang kulit kayu jangkang yang digulung dan
siap dibakar untuk mengusir lebah dari sarang yang akan dipanen, Kamis
(14/9/2017).
Petani madu hutan, Saptu, memegang kulit kayu jangkang yang digulung dan
siap dibakar untuk mengusir lebah dari sarang yang akan dipanen, Kamis
(14/9/2017).(Dimas Wahyu)
"Ya, dulu orang ada jampi-jampinya. Namun, itu di zaman nenekku.
Sekarang tidak ada. Binatang itu kan sebenarnya tahu bahasa kita (untuk
minta izin ambil madu)," tambah Saptu yang lalu menunjukkan ember untuk
menadahkan potongan sarang madu.
Ia kini sudah tidak naik pohon yang menjulang itu lagi. Usianya sudah 62
tahun. Cukup sudah baginya 30 tahun naik dan mengambil madu.
"Kegiatan sehari-hari sudah tidak ada lagi karena kekuatanku sudah
berkurang. Pas panen, sekarang aku di bawah saja. Anak yang naik.
Sekarang paling setahun sekali panen madu," ujarnya seraya menyebut satu
timnya terdiri dari 5-6 orang.
Selain mengental di lemari es, mitos bahwa madu asli mengandung gas,
rasanya agak pahit, dan tidak disukai semut juga jadi bahasan soal mitos
madu saat Saptu memberikan penjelasan.
Madu asli berarti pahit, ini rupanya terjadi karena cara pengolahannya.
Pasalnya, kebanyakan madu diperoleh dengan cara memeras.
Kini, ia dapat ilmu baru dari pelatihan yang diberikan oleh pihak Riau
Andalan Pulp and Papper <http://www.aprilasia.com/en/> ( RAPP
<http://indeks.kompas.com/tag/RAPP>), perusahaan pulp dan kertas yang
beroperasi di Pangkalan Kerinci, Riau.
"Tidak lagi diperas, tetapi diiris sarangnya, lalu dibalik, nah dia
menetes, kemudian disaring, tanpa ada lilinnya. Kalau dulu diperas, agak
banyak kotorannya. Lilin-lilinnya, anak-anak (lebah) terbawa. Rasanya
jadi pahit atau asam. Kini bening. Manis," ujar Ayi Munajat, Askep
Forest Enfiro Safety RAPP.
Pelatihan itu sendiri merupakan bagian dari CD atau/comunity
development/ alias pengembangan bagi warga sekitar RAPP. Untuk Saptu dan
rekan-rekannya, pelatihan yang diberikan berupa cara memanen, cara
merawat pohon, dan cara mengolahnya.
"Selain memberikan pembinaan dan memberikan akses dalam memperoleh
madunya, kami juga menjaga agar jangan sampai pohon itu tertebang dan
rusak supaya petani madu bisa tetap memanen," tambah Ayi.
Ayi yang mengaku pernah stroke dan sembuh karena rutin minum madu hutan
<http://indeks.kompas.com/tag/madu-hutan> juga mengatakan kalau madu
Saptu juga dibeli oleh pihak RAPP.
Harganya sekitar Rp 100.000 per kilogram. Saptu juga menjual madunya
kepada pihak lain.
Para pembeli ini tidak ragu lagi dengan madu Saptu karena jaminan
keasliannya yang secara turun-temurun.
"(Kalau asli ada gasnya, ya?) Iya, ada sedikit. Nah kalau ada orang
bilang semut tidak mau, itu bohong-lah," tambah pria yang juga
berprofesi sebagai petani itu.