-- 
j.gedearka <j.gedea...@upcmail.nl>




https://news.detik.com/kolom/d-4948056/masih-ada-sagu-di-ugai?tag_from=wp_cb_kolom_list


Perjalanan

Masih Ada Sagu di Ugai

Tjak S. Parlan - detikNews
Sabtu, 21 Mar 2020 12:15 WIB
0 komentar
SHARE URL telah disalin
sagu
Tappri atau wadah untuk menyimpan tepung sagu, terbuat dari daun sagu dirangkai 
dengan tali rotan (Foto: Agustinus Sapumaijat)
Jakarta -

Menjelang siang, di sebuah kawasan ladang berawa yang lengang, saya 
mencari-cari Aman Lari. Ladang berawa itu berada di belakang sebuah uma (rumah 
tradisional) di pinggiran Ugai, Siberut Selatan. Aman Lari, yang muncul 
beberapa saat kemudian, menapaki titian kayu di tempat pengolahan sagu, dan 
menyambut saya dengan ramah.

Dia bertelanjang dada. Sepotong kabit (cawat tradisional) membalut tubuh bagian 
bawahnya. Rupanya dia baru saja menuntaskan sebuah sesi proses pengolahan sagu. 
Tubuhnya masih berkeringat. Rokok di tangannya belum lama dinyalakan.

Setelah mengetahui tujuan saya, Aman Lari langsung mengarahkan saya ke sebuah 
perangkat, sebuah penapis berbingkai kayu yang menyerupai wadah bersegi empat. 
Penapis berbingkai kayu itu diletakkan di atas para-para bambu yang 
menyangganya dengan kukuh. Di atas tempat itulah saya menyaksikan Agustinus 
Sapumaijat mengentak-entakkan kakinya dengan riang.

Agustinus tidak sedang menari, tapi sedang menginjak-nginjak tumpukan serbuk 
sagu. Sementara dia konstan menginjak-injakan kakinya, cairan putih terus 
mengalir ke bawah penapis berbingkai kayu. Air cucuran berwarna putih itu 
ditampung dalam penampung penghubung yang berupa kayu berceruk lebar.

Ujung penampung penghubung itu bersambung dengan sebuah penapis dari kain yang 
digantungkan di atas sebuah wadah kayu berbentuk biduk. Di dalam wadah kayu 
berbentuk biduk itulah semua saripati sagu akan mengendap. Itu bukan akhir dari 
proses. Dibutuhkan waktu lebih lama lagi agar menghasilkan tepung sagu yang 
bisa dikonsumsi.

"Ditunggu kurang lebih hampir dua jam. Biar tepung (saripati) sagunya 
benar-benar terpisah dari air perasan," jelas Aman Lari.

Agustinus berhenti sejenak. "Sudah sangat lama saya tidak seperti ini," 
celetuknya. Wajar saja dia berkata seperti itu. Agustinus kini bermukim di 
Sipora dan bekerja sebagai tenaga honorer di Dinas Pariwisata Pemuda dan 
Olahraga Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatra Barat. Dialah yang menemani saya 
ke daerah yang masih lumayan jauh dari akses itu.

Menurutnya, saya telah memilih waktu yang tepat; ombak Selat Siberut tidak 
terlalu besar ketika itu dan dia sudah lama tidak menjenguk kampung halamannya.

Kesempatan berikutnya adalah saya. Di atas penapis berbingkai kayu itu saya 
melakukan hal yang sama seperti yang telah dilakukan Agustinus. Kaki saya 
menari-nari, mengentak-entak, menginjak-injak serbuk-serbuk sagu yang menumpuk 
tebal. Sesekali saya mengambil jeda untuk bertanya ini-itu kepada Aman Lari. 
Sesekali saya berhenti untuk menimba air dengan timba berbentuk kerucut yang 
terbuat dari pelepah sagu.

Sagu parutan yang akan ditapis dan diperas tidak boleh dibiarkan mengering agar 
air cucuran berwarna putih itu mengalir lancar ke penampungan. Oleh karenanya, 
di tempat-tempat pengolahan sagu, selalu tersedia air yang melimpah.

Untuk menjadi tepung sagu yang siap diolah dan dikonsumsi dibutuhkan proses 
selanjutnya. Tepung sagu itu akan disimpan dalam sebuah wadah yang disebut 
dengan tappri. Tappri berbentuk bulat memanjang-sekitar satu meter, terbuat 
dari daun-daun sagu yang dirangkai dengan tali. Setelah sagu tersimpan penuh 
dan padat, tappri ditutup dengan rapat agar aman dari lumpur dan sejenisnya. 
Agar bisa bertahan lama, tappri kemudian direndam dalam air.

Menurut Aman Lari, sagu yang sudah disimpan di dalam tappri dan direndam dalam 
air bisa bertahan lama. "Satu tahun bisa lebih," ujar Aman Lari. "Tapi untuk 
menyimpan dalam air, harus menunggu benar-benar kering. Kalau tidak, sagu akan 
terasa asam."

Waktu untuk menjajal kemampuan sebagai pengolah sagu sepertinya sudah cukup. 
Saatnya istirahat. Saya dan Aman Lari duduk di atas penapis berbingkai kayu dan 
mulai mengobrol. Suara satwa khas hutan sesekali terdengar, menggenapi 
cerita-cerita kecil tentang manfaat sagu.

"Sagu ini sangat bermanfaat. Daunnya bisa untuk atap, bisa juga untuk bungkus 
makanan kapurut (jenis olahan sagu). Banyak yang bisa hidup dari sagu. Banyak 
binatang, babi, ayam, bisa hidup dari sagu. Pelepahnya ini bisa untuk obat. 
Lidinya juga. Akarnya juga. Bahkan ampasnya juga bisa untuk obat tradisional," 
jelas Aman Lari.

Sagu memang jenis tumbuhan yang lebih banyak menyumbangkan hasil dan manfaat 
dengan kerja yang tidak begitu banyak. Melalui tunasnya, tumbuhan sagu bisa 
berkembang biak sendiri di daerah rawa-rawa. Betapapun begitu, masyarakat 
Mentawai selalu menanam batang tunas baru di lahan-lahan yang baru saja dipanen.

Begitu pentingnya peran sagu ini, sehingga kepemilikan sagu bisa menjadi 
kebanggaan tersendiri bagi masyarakat. Maka tidak heran jika tumbuhan berjenis 
palma yang satu ini bisa berfungsi sebagai alattoga (mas kawin) di kalangan 
masyarakat Mentawai. Melihat fungsi dan manfaatnya, hampir tidak mungkin 
rasanya menafikan eksistensi sagu dalam kehidupan sosial-budaya masyarakat 
Mentawai.

"Kita tidak bisa terlepas dari sagu. Tetap ada, meskipun sudah tersedia nasi," 
tegas Aman Lari.

Apa yang dikatakan Aman Lari bukan sesuatu yang berlebihan. Kunjungan saya 
selama seminggu di Ugai pada Mei 2019 lalu membenarkan semua fakta yang 
diceritakannya. Saya menginap di rumah orangtua Agustinus dan selama itu, 
setiap waktu makan tiba, yang terhidang adalah obuk --selain nasi yang tidak 
banyak porsinya, tentunya.

Sebagai orang yang baru pertama kali mengenyam sagu, saya senang dengan cara 
mereka, orang-orang Ugai, menghidangkannya. Obuk adalah jenis olahan sagu yang 
dimasak dalam bambu-bambu berdiameter kecil, dipanggang di atas bara api. Cara 
menikmatinya bisa disandingkan dengan sup ayam kampung dan sambal.

Namun, selama di Ugai saya justru lebih senang jika sagu panggang itu 
dihidangkan dengan gulai daun singkong. Apalagi jika gulai daun singkong itu 
dicampur dengan udang asap.

Masih Bertahan

Siang itu, sebelum saya dan Agustinus pamit melanjutkan perjalanan, Aman Lari 
menyebut sebuah tempat pengolahan sagu lainnya. Agustinus telah lebih dulu 
menunjukkan tempat itu kepada saya. Sebelum datang ke tempat Aman Lari, kami 
sempat mampir ke tempat pengolahan sagu yang letaknya tidak jauh dari balai 
dusun.

Namun, di tempat itu tidak ada seorang pun. Pemilik pengolahan sagu tampaknya 
baru saja meninggalkan tempat. Jejak-jejak tapak kaki yang masih basah, 
terlihat di dekat penapis berbingkai kayu yang baru saja dibersihkan dan 
dijemur.

Di tempat itulah, untuk pertama kalinya, saya mengamati saripati sagu yang 
putih dan padat tersimpan dalam wadah-wadah berbentuk bulat dan memanjang. 
Itulah tappri, wadah tradisional tempat menyimpan saripati sagu yang sudah 
kering sebelum siap direndam dan diawetkan dalam air. Ada sekitar 12 tappri 
berisi penuh dan padat: dua belas sumber kehidupan bagi puluhan warga sekitar.

Sekembalinya dari tempat Aman Lari, saya dan Agustinus mencoba mengintip 
kembali tempat pengolahan sagu tersebut. Namun suasana masih lengang. Oleh 
karenanya, kami langsung menuju rumah Yudas Kokoik Lakeu, salah satu kerabat 
Agustinus. Di beranda rumah Yudas, kami melanjutkan kembali obrolan tentang 
sagu.

Di Ugai masih banyak orang yang mengonsumsi sagu. Meskipun sudah ada nasi, 
kurang sempurna rasanya jika tidak ada olahan sagu yang terhidang sebagai 
makanan sehari-hari. Secara umum, sagu sudah mendarah daging bagi masyarakat 
Mentawai. Meskipun jumlah pengonsumsi sagu semakin berkurang, pengolahan sagu 
masih terus dilakukan dan diupayakan di beberapa tempat.

"Masih banyak orang yang mengolah sagu. Tapi sekarang parutannya sudah pakai 
mesin. Kalau dulu masih manual," ujar Yudas.

Saat saya bertanya berapa batang sagu dibutuhkan untuk menghasilkan 10 tappri, 
tanpa ragu-ragu Yudas menjawab, "Tergantung besar batang sagunya. Bisa saja 
satu batang menghasilkan delapan atau sepuluh tappri."

Kelak, ketika harus menunggu jadwal kapal di Muara Siberut, saya bertemu 
Heronimus Tatebburuk, seseorang pegiat lingkungan dari Siberut Selatan. Dalam 
sebuah obrolan sebelum saya naik kapal kayu ke Sipora, laki-laki yang penuh 
semangat itu juga menyinggung hal serupa.

"Secara tidak langsung, proses pembuatan sagu sudah berubah. Taprri sudah mulai 
jarang, orang lebih suka menggunakan karung beras. Anak-anak muda sudah tidak 
tahu bagaimana cara membuat tappri. Bahkan, mereka tidak pernah melihatnya sama 
sekali. Tapi, setidaknya sagu masih bisa bertahan sampai sekarang."

Saya setuju mengutip pernyataannya itu untuk menutup tulisan ini, seraya 
mengingat-ingat kembali bahwa di tengah gencarnya beras, masih ada sagu di Ugai.

Tjak S. Parlan menulis cerpen, puisi, esai; bermukim di Ampenan, Nusa Tenggara 
Barat

(mmu/mmu)
sagu
kepulauan mentawai








Kirim email ke