Melawan Gelap: Tawaran untuk Gerakan Golput
Redaksi Sorge28 February 2019
Mengapa kita golput? Dengan golput, apa yang hendak kita sampaikan? Siapa yang 
mau kita lawan? Langkah apa yang harus dilakukan? Sebelum Pemilu bergulir, 
jawaban atas pertanyaan-pertanyaan mendesak ini perlu kita rumuskan secara 
sungguh-sungguh.
Pada suatu malam di bulan Juni 2016, sejumlah wakil masyarakat sipil berkumpul 
di depan Istana untuk memperingatkan Presiden: ada gelap yang menyelimuti 
demokrasi kita. Saat itu gejala otoritarianisme pemerintah tengah bermekaran; 
dari rangkaian kriminalisasi buruh dan aktivis, masih dipakainya stigmatisasi 
PKI, maraknya penggusuran, penerapan hukuman mati untuk mengerek popularitas, 
pembubaran diskusi, hingga mandeknya agenda hak asasi manusia. Hanya dalam 
waktu dua tahun, tindak-tanduk rezim telah membunyikan alarm di benak banyak 
orang. Betulkah Orde Baru telah kembali?

Namun rezim tak bergeming. Gelagatnya belakangan justru membenarkan ketakutan 
dua tahun silam. Pertama, ruang partisipasi warga di ruang publik kian 
menyempit. Saat oligarki menguasai kompetisi politik, upaya memajukan agenda 
progresif terkendala tata kelola politik yang seolah alergi dengan partisipasi. 
Partai politik yang seharusnya jadi corong suara warga jatuh dalam kontrol 
oligarki dan lebih fokus memenangkan kursi kekuasaan. Ini diperparah dengan 
ancaman kriminalisasi dan pembungkaman kritik dengan pasal karet UU ITE. Wacana 
yang dilontarkan politisi lebih bercorak serangan personal, sentimen identitas, 
stigma khas Orba, dan dagelan pseudo-politik lainnya.

Kedua, agenda pembangunan memakan banyak korban dan pemerintah seakan tutup 
mata. Penggusuran ruang hidup atas nama pembangunan maupun bisnis terjadi di 
berbagai wilayah. Bagi warga yang melawan, kriminalisasi hingga aksi kekerasan 
selalu menanti. Selain korban manusia, pelestarian lingkungan hidup juga minim 
diperhatikan pemerintah. Seolah dengan segala kemajuan ekonomi yang dicapai, 
kita tak lagi membutuhkan udara, air, dan pangan yang mencukupi.

Ketiga, merangseknya kembali militer dalam ruang publik. Reformasi dua dekade 
silam – benchmark perbaikan demokrasi kita – dikhianati rencana ‘pengerahan’ 
tentara untuk membantu kementerian serta lembaga pemerintahan. Hal ini sudah 
didahului dengan pelibatan tentara di berbagai proyek pembangunan dan pertanian 
oleh pemerintah, bahkan sebagai juru kampanye pemerintahan Joko Widodo. Apalagi 
militer masih saja meributkan warisan ketakutan Orde Baru seperti isu PKI 
(contohnya lewat razia buku tempo hari) dan menjajakan paranoia ancaman 
asing/proxy war dari kelompok LGBTI. Selain menunjukkan kegagalan reformasi 
dalam tubuh TNI, ini menunjukan politik dan demokrasi Indonesia belum bisa 
sepenuhnya lepas dari pengaruh mereka yang menenteng senjata.

Butuh bukti apa lagi untuk mengatakan bahwa apa yang seharusnya dihancurkan 20 
tahun lalu telah bangkit kembali?

Paling tidak hal itu disadari oleh mereka yang memilih Golput di tahun Pemilu. 
Bahwa dari kedua kubu yang sedang bertarung, keduanya sama-sama tidak mengambil 
jarak dengan politik Orde Baru. Opsi golput diambil sebagai protes atas proses 
politik yang tidak memberikan ruang bagi agenda hak asasi manusia, keadilan 
sosial, pelestarian lingkungan hidup, anti korupsi, anti-militerisme, 
anti-fasisme, dan narasi-narasi progresif lainnya.

Namun perlu dipahami juga oleh barisan Golput bahwa kita dihadapkan pada 
pekerjaan sulit. Kita telah jatuh-bangun meluruskan bahwa memilih dan 
mengampanyekan golput adalah hak warga, pun telah pegal membantah logika cacat 
lesser evil dan menampik apologia fans rezim – komisaris, timses, buzzer, 
filsuf/budayawan peliharaan negara, dan elemen LSM yang jadi anak nongkrong 
Istana – yang masih saja mengajak masyarakat untuk menghalau ‘fasisme’, justru 
ketika petahana menganyam fasisme gaya baru di depan hidung mereka.

Demikian pula serangan yang makin sengit terhadap barisan yang mulai punya 
bentuk dan suara ini menandakan bahwa golput tak lagi dianggap kentut – seperti 
ejekan Ali Murtopo puluhan tahun lalu (kini ejekan serupa muncul dalam istilah 
lain: Golongan Pucuk Tai). Tapi jika kita masih menganggap situasi pasca pemilu 
2019 sebagai arena pertarungan sesungguhnya untuk memberikan tawaran bagi 
perubahan radikal, terlepas dari siapapun yang menang pemilu, kita belum 
memberikan jawaban meyakinkan atas pertanyaan: setelah golput, lalu apa?

Golongan Putih
Hari ini istilah golput oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) dilekatkan pada warga 
yang secara administrasi dan teknis terhalang menggunakan hak pilih. Menjelang 
Pemilu 2019, KPU mencatat ada ratusan ribu orang terancam kehilangan hak pilih 
karena memilih pindah TPS dan terkendala persoalan ketersediaan surat suara di 
TPS yang bukan domisilinya (administrasi). Belum lagi pada 17 April 2019 nanti 
mungkin banyak yang memilih untuk berlibur bersama sanak famili (teknis).

Persoalan diatas sejatinya bisa diantisipasi lewat sosialisasi dan cara–cara 
lain untuk mendorong warga agar tidak membuang kesempatan ‘menentukan nasib 
lima tahun ke depan’. Namun bagaimana dengan argumen bahwa golput merupakan 
upaya koreksi terhadap sistem politik?

Golput atau golongan putih lahir menjelang pemilu 1971 – pemilu pertama usai 
pergantian rezim Orde Lama ke Orde Baru. Sampai hari ini, sejarawan acap 
menyebut pemilu 1971 sebagai proses demokrasi semu (pseudo–democracy). Tak 
heran, pemilu ini hanya diselenggarakan untuk menguatkan legitimasi Soeharto, 
yang dengan menunggangi Golongan Karya tengah ambil ancang-ancang untuk 
berkuasa sampai puluhan tahun kemudian.

Rupa-rupa langkah ‘mengamankan pemilu’ ini dikutuk oleh golongan putih 
(golput): sebuah gerakan yang menyerukan pada masyarakat untuk menggunakan 
suara secara tidak sah dengan mencoblos bagian kertas putih di luar gambar 
partai. Namun sesuai dengan prediksi, lewat mobilisasi pegawai negeri (via asas 
monoloyalitas), penggembosan partai-partai lain, ancaman sepakan lars tentara 
yang keluar masuk desa, dan gelora ‘serangan fajar’ alias pembagian uang; 
Golkar menang mutlak.

Meski tak mempengaruhi hasil akhir secara signifikan, Golput terlanjur menjadi 
simbol pembangkangan yang awet dan secara umum mewakili seluruh laku “tidak 
memilih dalam pemilu” (terlepas dari alasannya), bahkan setelah Soeharto 
tumbang.

Golput 1971 sejatinya adalah perlawanan terhadap dominasi rezim dan rekayasa 
pemenangan Golkar. Golongan putih vis-à-vis Golongan Karya; seruan kontra 
terhadap demokrasi jejadian yang membatasi partisipasi partai alternatif dan 
pantang mengakomodasi aspirasi yang berbeda dengan selera rezim, dan kontra 
terhadap pemilu sandiwara yang hanya bertujuan untuk mengamankan periuk 
kekuasaan Soeharto dan kroni-kroninya.

Namun apakah golput hari ini cukup dibilang sebagai antitesis Golkar? Tentu 
tidak.

Golkar hari ini tak lebih dari partai peserta pemilu kebanyakan. Ideologinya, 
seperti parpol Indonesia umumnya, cair dan pragmatis. Dan seperti parpol lain, 
ia sudah tanpa malu lancung dari amanat reformasi serta acuh terhadap segala 
yang jadi urusan publik. Ibarat lumut di dinding got, ia gemar bersemayam di 
tempat-tempat lembap dimanapun kekuasaan berada. Hari ini Golkar fokus menjadi 
organisasi marketing kekuasaan, mengkerut dari perannya dahulu sebagai 1/3 dari 
triumvirat ABRI – Birokrasi – Golkar, tiga pilar kekuasaan Orde Baru.

Bersama PDIP, PPP, PKB, Nasdem, dan Hanura; Golkar hanyalah salah satu sekrup 
dari mesin politik oligarki yang nihil komitmen HAM, korup, dan abai terhadap 
perlindungan lingkungan. Ia turut menunda pengesahan Undang–Undang Pertanahan, 
Masyarakat Adat, dan Penghapusan Kekerasan Seksual, serta aktif meloloskan 
revisi Undang-undang Ormas yang membawa demokrasi Indonesia mundur jauh ke 
belakang.

Tapi kita tahu bahwa kemunduran demokrasi tak hanya lekat pada Golkar, 
melainkan juga pada seluruh partai politik di kubu petahana dan “oposisi”, yang 
bungkam ketika aturan yang membelenggu kebebasan terus dijalankan, yang 
adem-ayem saat tentara melenggang kembali ke wilayah sipil. Mereka mungkin 
malah ikut bersorak saat kebijakan akselerasi pembangunan yang merampas tanah 
dan menyengsarakan warga digalakkan.

Melihat hal ini, Golput hari ini wajib melampaui identitas Golput masa lalu, 
yakni sebagai antitesis Golkar era Orde Baru belaka. Kita akan kewalahan 
apabila terus menambatkan diri pada romantisme perlawanan zaman baheula. Daya 
juang Golput hari ini harus diarahkan untuk melawan segenap kultur 
sosial-politik yang telah bermutasi, membelah diri, dan menjalari partai 
politik, lembaga negara, bahkan masyarakat sipil sendiri. Situasi baru menuntut 
artikulasi pembangkangan baru. Karena itulah, Golput perlu sekali lagi 
merumuskan identitas dengan menarik garis demarkasi tebal-tebal: siapa musuh 
kita?

Golongan Hitam
Bagi kami, Golongan Putih hari ini sepantasnya melawan – tentu saja – Golongan 
Hitam. Siapa itu Golongan Hitam? Sederhananya, mereka adalah kelompok yang 
lewat kuasa modal sukses menduduki kancah politik, membengkokkan aturan hukum, 
merancang regulasi yang menguntungkan diri sendiri, rakus mengeruk sumber daya, 
mengipasi konflik horizontal seraya mempreteli prinsip demokrasi melalui 
kontrol atas institusi dan lembaga pemerintahan.

Golongan Hitam tak hanya lekat pada dua paslon yang akan berlaga kurang dari 
dua bulan lagi. Ia menguasai parpol, ormas, media massa, hilir mudik di 
parlemen, keluar masuk pengadilan dan gedung kementerian, bersenda gurau di 
media sosial, nongol di televisi, dan duduk nyaman di tengah-tengah masyarakat 
sipil.

Prioritas utama Golongan Hitam adalah akumulasi kekayaan dan kekuasaan. Karena 
syahwat akumulasi, ia siap sedia melanggar beragam hak warga; dari mulai hak 
atas tempat tinggal, hak atas pencaharian layak, hak berserikat, sampai hak 
hidup sekalipun. Golongan Hitam tak perlu mengotori tangan untuk kerja seperti 
ini. Ia tinggal mengutus aparat negara dan vigilante untuk jadi algojo 
pundi-pundinya. Kepemilikan media massa memastikan penindasan ini dinormalisasi 
di benak masyarakat. Jika timbul perlawanan di bawah, tinggal dihalau dengan 
label “komunis”, “provokator”, “anti pembangunan”. Beres. Golongan Hitam juga 
sigap melindungi aparat keamanan manakala mereka dikritik telah berlaku 
represif, apalagi saat pelanggaran HAM masa lalunya diungkit.

Untuk memahami skala dominasi Golongan Hitam, kita tinggal menengok after party 
debat kedua tempo hari; baik tim Jokowi maupun Prabowo dijejali para oligark 
penguasa lahan luas dan rupa-rupa sektor strategis perekonomian negara. Tapi 
sesuai perkiraan, kedua kubu diam seribu bahasa atas perampasan lahan serta 
kerusakan yang lahir dari eksplorasi ekonomi ekstraktif yang berlebihan.

Meski debat kemarin memunculkan polemik soal penguasaan lahan, sudah jelas 
bahwa kedua kubu yang sama-sama Golongan Hitam ini tak akan membiarkan bahasan 
berkembang melampaui batas, apalagi sampai – amit-amit – mewujud jadi kebijakan 
redistribusi lahan yang serius.

Sebab bagi Golongan Hitam, Pemilu toh bukan ajang pertempuran gagasan atau 
ideologi. Ia tak lebih dari arisan yang diongkosi para pembayar pajak budiman, 
dimana formasi kekuasaan dikocok ulang dan digilir secara eksklusif di antara 
mereka. Suara warga dalam Pemilu cuma jadi stempel pengesahan. Dan sedari awal, 
penguasaan Golongan Hitam atas parlemen telah melahirkan UU Parpol dan Pemilu, 
yang hanya mengizinkan kaum hartawan untuk jadi juragan partai, sekaligus 
menihilkan peluang munculnya partai alternatif yang dapat mengancam posisi 
mereka.

Tentu secara berkala ada ‘orang baik’ yang membulatkan tekad untuk terjun 
langsung ke dalam kompetisi politik atau ikut nimbrung ke gerbong kekuasaan. 
Tapi sayang, saat jalur demokratis menuju kekuasaan telah diblokir Golongan 
Hitam, kompromi terhadap laku predatoris tak bisa dihindari. Itulah mengapa 
kita akrab dengan istilah “mantan aktivis”, mereka yang dahulu ikut merawat 
demokrasi namun kini berakhir menyandang predikat “wakil LSM” di kekuasaan. 
Kerjanya memoderasi tuntutan dari bawah, memproduksi apologia buat tabiat 
otoritarian rezim dan hanya bisa pasrah merancang pledoi jika kelak hendak 
kembali ke masyarakat.

Golongan Hitam tak punya kemampuan berdiam diri. Seperti hiu di laut lepas, ia 
pantang berhenti bergerak. Ia wajib terus menimbun sumber daya untuk menjaga 
agar kekuasaannya tetap stabil. Supaya senantiasa kebal kritik, ia sibuk 
mengedarkan capaian positif dan visi masa depan, sembari mengklaim bahwa apa 
yang dilakukan sepenuhnya demi kemaslahatan publik. Padahal faktanya, siapa 
yang kerap melarikan harta ke luar negeri? Siapa yang melindungi koruptor dan 
pelanggar HAM? Tapi strategi ini bekerja dengan sempurna. Kekuasaan Golongan 
Hitam berjalan mulus tanpa kegaduhan. Stabilitas semu ini pun dimanfaatkannya 
untuk kembali menumpuk kekayaan.

Terakhir, ia mengeksploitasi sentimen identitas yang ramai beredar di 
masyarakat untuk mendongkrak posisi politiknya. Populisme sektarian adalah 
senjata perusak massal paling mutakhir Golongan Hitam. Demi tawar menawar 
kekuasaan, Golongan Hitam keranjingan menghimpun massa intoleran. Mengipasi 
kebencian terhadap yang lain jadi kebiasaan di tiap kampanye. Lawannya, tak mau 
kalah, membalas dengan seruan sejenis, dan belakangan jadi ketagihan pakai 
metode yang sama untuk mendulang suara.

Demikian, memang kita tak lagi mengalami pemilu yang pemenangnya sudah 
ditentukan dari awal oleh penguasa, tapi kita pun tak bisa menyimpulkan ada dua 
kubu yang saling bertolak belakang dalam perselisihan elektoral hari ini. 
Kenyataannya, hanya ada satu Golongan Hitam yang kebetulan tengah menggelar 
kompetisi internal. Kadang Golongan Hitam yang memasang wajah Joko Widodo yang 
unggul, kali lain Golongan Hitam berkepala Prabowo yang punya peluang. Sekali 
lagi, kita bebas memilih, tapi hanya bisa memilih di antara calon-calon yang 
sudah direstui Golongan Hitam. Tidak ada lesser evil, yang ada cuma ilusi 
pilihan. Golongan Hitam sudah sejak lama melenyapkan kemewahan kita untuk 
memilih “yang terbaik dari yang terburuk”.

Akhirnya, siapapun yang menang tidak hanya punya hak prerogatif yang besar 
sebagai pemimpin Republik, ia juga dibekali perangkat kuasa dan aparatus 
represif untuk memastikan pemilu berikutnya tetap melahirkan pemimpin yang tak 
beranjak dari pakem Golongan Hitam. Golongan Hitam – para oligark, koruptor, 
pelanggar HAM, perusak lingkungan, politisi intoleran, dan masyarakat sipil 
yang mengkhianati cita-cita demokrasi – merekalah sejatinya musuh utama 
Golongan Putih di 2019.

Mengapa Kita Golput
Jika kita mengamini jejak Golongan Hitam di belakang kedua kubu paslon, maka 
betul-betul tak ada alasan untuk turut serta dalam Pemilu. Bukan hanya karena 
pilihan yang tersedia sama buruknya, melainkan juga karena Pemilu kali ini 
menyediakan momentum yang tepat untuk membebaskan diri secara politis, moral 
dan psikologis dari jerat demokrasi semu Golongan Hitam. Dengan menampiknya di 
kubu manapun ia berada, kita menanam kembali imajinasi akan politik 
pasca-Golongan Hitam. Sebaliknya, ikut memilih berarti kembali menyerahkan 
legitimasi – dan merelakan psikologi kita terjerembab di lubang yang itu-itu 
lagi – pada Golongan Hitam untuk terus merajalela entah sampai kapan.

Karena itu kita Golput. Bukan semata-mata sebagai kritik terhadap demokrasi 
abal-abal yang tak menyediakan pilihan politik layak, tetapi juga sebagai 
janji, sebuah ikrar bahwa perlawanan harus berumur panjang, jauh melampaui hari 
pencoblosan. Bahwa 17 April 2019 tidak boleh menjadi titik akhir perjuangan 
Golput.

Agar tak lagi berakhir jadi statistik, Golput di bilik suara harus berevolusi 
menjadi gerakan lantang yang berkelanjutan. Golongan Hitam yang berkuasa secara 
nasional sudah sepantasnya ditandingi perlawanan berskala nasional. Gerakan 
tersebut memerlukan kerjasama intensif yang lintas isu, lintas studi, lintas 
ideologi, lintas kolektif, lintas organisasi, namun berbekal agenda serupa: 
menolak politik yang dikangkangi kuasa oligark, menolak kembalinya militer 
dalam kehidupan politik, menolak politik sektarian, menolak pembangunan dan 
eksploitasi ekonomi ekstraktif yang meminggirkan rakyat dan lingkungan, dan 
seterusnya.

Sasaran kita tak lagi hanya untuk melemahkan legitimasi siapapun yang terpilih. 
Sasaran kita tak kurang dari menggelar konfrontasi total dengan kekuasaan 
Golongan Hitam tadi. Oleh sebab itu, tak cukup hanya dengan meluaskan gelombang 
Golput, pekerjaan kita di hari-hari jelang pemilu adalah untuk menjalin 
solidaritas, mengontak jejaring dan simpul yang terserak, berdiskusi, hadir ke 
basis-basis, kampus-kampus, sekaligus menyusun platform bersama demi front 
perlawanan yang siap bertarung jangka panjang.

Perlawanan nasional yang memanfaatkan gelombang Golput di momentum elektoral 
inilah harapan terbaik untuk melawan Golongan Hitam, bahkan setelah tahun 
politik usai. Ini tentu bukan hal mudah. Hampir mustahil bahkan. Tapi di luar 
kemustahilan, kita dihadapkan lagi pada pembiaran dan kompromi. Bukankah ini 
cukup jadi pertanda bahwa ia amat mendesak untuk dilakukan?

Gelap sudah memenuhi sudut langit, dan di tengah pekat malam kita bisa 
mendengar desis dan derap langkah monster yang siap melahap kita. Sebelum kita 
tak bisa lagi melihat apapun di hadapan kita, saatnya merapatkan diri, 
berpegangan erat, lalu berjalan ke depan. Teruslah berjalan. Kita tak punya 
pilihan: gelap ini harus dilawan sehebat-hebatnya.

Kirim email ke