https://news.detik.com/kolom/d-4601020/melindungi-demokrasi-kita
Rabu 26 Juni 2019, 15:06 WIB
Mimbar Mahasiswa
Melindungi Demokrasi Kita
Moch Sholeh Pratama - detikNews
<https://news.detik.com/kolom/d-4601020/melindungi-demokrasi-kita#>
Moch Sholeh Pratama
<https://news.detik.com/kolom/d-4601020/melindungi-demokrasi-kita#>
Share *0*
<https://news.detik.com/kolom/d-4601020/melindungi-demokrasi-kita#>
Tweet
<https://news.detik.com/kolom/d-4601020/melindungi-demokrasi-kita#>
Share *0*
<https://news.detik.com/kolom/d-4601020/melindungi-demokrasi-kita#> 1
komentar
<https://news.detik.com/kolom/d-4601020/melindungi-demokrasi-kita#>
Melindungi Demokrasi Kita Foto: Andhika Prasetia/detikcom
*Jakarta* - Mencermati dengan seksama serangkaian tahapan pemilihan umum
serentak 2019 mulai dari awal hingga puncaknya pada sidang sengketa
hasil pemilihan presiden 2019, agaknya tidak berlebihan jika kita
menyodorkan pertanyaan krusial: apakah demokrasi di negeri ini dalam
bahaya dan terancam mati?
Sebuah pertanyaan yang mungkin tidak pernah terlintas dalam kepala
sebagian besar masyarakat bangsa ini. Meneroka, bagaimana masa depan
demokrasi Indonesia, jika praktik yang dimainkan oleh para aktivis
demokrasi justru menggerogoti pilar-pilar penopang demokrasi. Sembari
meyakinkan kepada publik bahwa keadaan dewasa ini tidak seburuk yang
terjadi pada negara-negara demokrasi lain di dunia, yang tercatat dalam
sejarah mengalami kematian, yang dibunuh oleh aktivis demokrasi.
Membunuh demokrasi dengan cara-cara yang demokratis, gejala itulah yang
sepertinya mulai tampak mencuat dalam hajatan pemilu serentak 2019.
Bagaimanapun, kita perlu pahami bahwa demokrasi itu sistem yang amat
rapuh. Karena ia merupakan suatu sistem yang tidak hadir secara
tiba-tiba, melainkan harus terus menerus diperjuangkan. Apalagi dalam
negara yang memiliki tingkat keragaman etnis yang sangat tinggi,
semangat untuk mewujudkan praktik kehidupan yang demokratis akan menemui
tantangan yang mahaberat.
Untuk menjawab pertanyaan di atas, perlu untuk sejenak mundur dari hiruk
pikuk pertikaian elite politik kita di berbagai media sosial yang
terpantau masih belum menunjukkan tanda-tanda akan usai, meskipun semua
proses politik telah berujung di mimbar Mahkamah Konstitusi.
Tindakan untuk mundur keluar dari pusaran itu bertujuan supaya kita
dapat memperluas wawasan kita dengan mengais hikmah dari negara-negara
demokrasi lain di seluruh belahan dunia dan sepanjang sejarah
pergulatannya. Belajar dari negara demokrasi yang tercatat dalam sejarah
pernah mengalami krisis, lalu membuat kita mengerti dengan lebih baik
tanda bahaya yang dihadapi demokrasi kita.
Negara-negara demokrasi di benua Eropa dan Amerika Latin menjadi sasaran
yang tepat. Sebut saja Venezuela, Peru, Hungaria, Ukraina, Polandia,
bagaimana di beberapa negara tersebut para aktivis demokrasi dengan
sengaja membajak lembaga-lembaga demokrasi yang kemudian berdampak buruk
bagi kehidupan demokrasi.
Peristiwa gejolak negara demokrasi yang berujung pada matinya demokrasi
di beberapa negara tersebut seyogianya dipahami sebagai luka sejarah
demokrasi bangsa-bangsa Eropa dan Amerika Latin untuk tidak digoreskan
pada demokrasi di Indonesia.
*Memasang Kewaspadaan*
Kewaspadaan perlu dipasang sedari kini, apalagi adanya indikasi bahwa
beberapa pelaku demokrasi tampak mempertahankan tampilan demokratis
namun di sisi lain berupaya menghilangkan substansinya. Erosi demokrasi
itu kini hampir tidak disadari oleh masyarakat bangsa ini.
Karena itu, kesadaran itu patut dibangunkan kemudian baru memasang
kewaspadaan bahwa ada upaya untuk membunuh demokrasi Indonesia
belakangan ini.
Kemampuan mengidentifikasi "para pembunuh" demokrasi merupakan
kualifikasi penting. Sebab, "para pembunuh" demokrasi itu berkeliaran,
melipatgandakan kekuatan, dan bersenyawa dalam arena demokrasi itu
sendiri. Bahkan, pembunuh demokrasi ini bisa berasal dari sosok yang
dinilai publik sangat demokratis.
Mencermati beberapa fenomena peristiwa politik sepanjang tahun ini,
terdapat beberapa hal yang dapat kita curigai dan waspadai sebagai
faktor-faktor yang berpotensi membunuh secara perlahan demokrasi di
negeri ini. Para pelaku demokrasi negeri ini harus memiliki komitmen
untuk mewujudkan kehidupan berbangsa dan bernegara yang demokratis,
bukan justru melemahkan arsitektur demokrasi.
Jika belajar dari negara-negara di Eropa dan Amerika Latin ada beberapa
identifikasi yang disinyalir dapat membahayakan demokrasi kita.
Pertama, pemimpin yang terpilih secara demokratis harus menutup pintu
untuk calon pemimpin otoriter sekaligus menjaga agar kelompok ekstremis
agar tak berkuasa. Bagaimana pemimpin politik, terutama partai politik
tidak memberi mereka tempat penting di partai, menolak menyetujui atau
bersekutu dengan mereka. Mengisolasi ekstremis populer membutuhkan
keberanian politik, jika tidak, maka demokrasi menghadapi bahaya.
Kedua, mewaspadai dan mencegah upaya "oknum" aktivis demokrasi yang
membajak lembaga-lembaga demokrasi. Hal itu bisa dilakukan dengan
memperkuat norma-norma demokrasi, pengawasan dan penyeimbangan
konstitusional sebagai benteng pertahanan demokrasi.
Terdapat indikasi bahwa lembaga-lembaga demokrasi dijadikan senjata
politik untuk membajak demokrasi, menjadikan pengadilan dan badan netral
lainnya "senjata", membeli media dan sektor swasta; menggencet keduanya
agar diam, serta mengubah aturan politik agar keseimbangan kekuatan
berubah arah merugikan lawan politik. Hal ini tampak kentara ketika
tahapan pemilu serentak masuk pada fase rekapitulasi hasil suara dan
sengketa pemilihan presiden 2019 di Mahkamah Konstitusi beberapa waktu lalu.
Ketiga, melemahnya norma-norma demokrasi yang berakar dari polarisasi
partisan ekstrem yang meluas melampaui perbedaan kebijakan, menjadi
konflik eksistensial terkait etnisitas dan agama. Upaya untuk mewujudkan
kesetaraan hak dalam demokrasi dengan fakta keberagaman etnis dan agama
yang kompleks selalu disergap dengan reaksi keras yang diikuti dengan
polarisasi yang kian meruncing.
Dari realitas itu, banyak masyarakat bangsa ini yang merasakan ketakutan
dengan apa yang terjadi selama proses demokrasi tahun ini. Namun,
melindungi demokrasi bukan dengan ketakutan dan kemarahan, melainkan
dengan keberanian moral dan politik. Kita wajib belajar dari
negara-negara lain untuk melihat tanda-tanda peringatan menuju kematian
demokrasi. Sebagai generasi penerus bangsa yang tumbuh dalam demokrasi,
wajib mencegah kematian demokrasi dari dalam.
Sejarah tidak berulang. Namun kita bisa melindungi demokrasi kita dengan
belajar dari sejarah kematian demokrasi negara lain, sebelum terlambat.
*Moch Sholeh Pratama* /mahasiswa Departemen Ilmu Sejarah, Ketua BEM FIB
Universitas Airlangga Surabaya/
*(mmu/mmu)*
Tulisan ini adalah kiriman dari pembaca detik, isi dari tulisan di luar
tanggung jawab redaksi. Ingin membuat tulisan kamu sendiri? Klik di sini
<https://news.detik.com/kolom/kirim> sekarang!