-- 
j.gedearka <j.gedea...@upcmail.nl>



https://news.detik.com/kolom/d-4978247/membendung-covid-19-tanpa-uji-diagnostik?tag_from=wp_cb_kolom_list


Kolom

Membendung Covid-19 Tanpa Uji Diagnostik

Teguh Haryo Sasongko - detikNews
Rabu, 15 Apr 2020 17:12 WIB
4 komentar
SHARE URL telah disalin
Corona virus: vial with pipette in laboratory
Foto ilustrasi: Getty Images/iStockphoto/Bill Oxford
Jakarta -

Melihat skala infeksi yang saat ini menyebar sangat meluas di Amerika Serikat 
(AS) dengan sekitar 300 juta penduduknya (434.062 kasus positif dengan 14.774 
kematian, worldometers.info/coronavirus, 9 April) kita perlu mengapresiasi 
bahwa 80.000 kasus positif di China merupakan keberhasilan yang luar biasa, 
lebih-lebih dengan populasi jauh lebih besar, lebih dari satu miliar.

Perhatian dunia sekarang beralih ke Indonesia, negara dengan jumlah penduduk 
yang kira-kira sama dengan AS. Banyak yang penasaran, mungkin termasuk pejabat 
Indonesia sendiri, seberapa bedanya skala penyebaran infeksi di Indonesia 
dibandingkan dengan di AS. Hanya perlu satu hal untuk dapat memastikan hal ini, 
namun yang sayangnya Indonesia tidak memilikinya, setidaknya dalam kapasitas 
yang memadai, yaitu ujian diagnostik RT-PCR.

Para ahli di seluruh dunia setuju, hampir tanpa perdebatan, bahwa uji 
diagnostik sangat penting. Dengan uji diagnostik, pemerintah dapat memahami 
luasnya penyebaran infeksi, mengisolasi kasus positif agar tidak menyebar lebih 
lanjut dan melakukan intervensi medis sedini mungkin untuk mencegah kematian. 
Data yang ada saat ini menunjukkan secara relatif konsisten bahwa negara-negara 
dengan cakupan uji diagnostik yang besar (berbanding jumlah populasi mereka) 
menunjukkan prestasi sangat baik dalam mencegah penyebaran dan kematian.

Per 8 April pukul 16.30 WIB menurut Kementerian Kesehatan RI 
(covid19.kemkes.go.id), Indonesia telah menguji 14.571 spesimen dengan 2.956 
kasus positif; ini artinya kadar positif di angka 20%. Kadar positif ini 
terlalu tinggi dan hanya mencakup sekitar 52 uji diagnostik per sejuta 
populasi. Bahkan ada yang menunjukkan di media sosial bahwa kadar positif 
harian kadang-kadang mencapai setinggi 100%!

Secara kasar, kapasitas uji diagnostik Indonesia seharusnya sama levelnya 
dengan AS, negara dengan jumlah populasi yang kira-kira sama. Sampai dengan 
tulisan ini dibuat, AS telah menguji lebih dari 2,2 juta spesimen atau 6.655 
ujian per sejuta populasi (worldometers.info/coronavirus). Karena alasan ini, 
banyak orang sekarang berspekulasi bahwa Indonesia adalah bom waktu dari 
ledakan Covid-19 selanjutnya.

Indonesia adalah kasus khusus yang memerlukan langkah penanganan yang khusus 
pula, dari dimensi kesehatan masyarakat, sosial, maupun politik. Negara ini 
memiliki hampir 300 juta penduduk, yang tersebar di lebih dari 17.000 pulau. 
Infrastruktur penelitian, yang saat ini diandalkan oleh negara-negara di dunia 
untuk meningkatkan kapasitas pengujian, sangat tidak memadai, dan hampir 
semuanya (jika tidak dapat dikatakan semuanya) terkonsentrasi di Jawa.

Meningkatkan kapasitas pengujian sampai pada tingkat yang diperlukan agar 
tujuannya tercapai adalah hal yang mustahil dalam konteks Indonesia. Kita harus 
mengakui itu. Artinya, hampir bisa dikatakan, jika masih berkutat pada 
kapasitas yang kira-kira sama, uji diagnostik di Indonesia adalah sia-sia dan 
membuang-buang biaya!

Mesin politik dan kesehatan masyarakat Indonesia sekarang harus mencari cara 
alternatif. Tanpa meremehkan kegunaan tes RT-PCR, para pejabat Indonesia perlu 
memahami bahwa tujuan dilakukannya uji diagnostik itu sendiri sebenarnya lebih 
penting. Perlu diambil langkah alternatif untuk mencapai tujuan itu tanpa harus 
melakukan uji diagnostik RT-PCR yang relatif mahal dan sulit untuk dipenuhi 
kebutuhannya sampai pada level yang seharusnya.

Tujuan dilakukannya uji diagnostik RT-PCR adalah untuk melakukan identifikasi 
kasus untuk dirawat dan dipisahkan dari masyarakat agar putus rantai 
penularannya. Indonesia sekarang memiliki setidaknya dua kategori kasus yang 
paling penting dan berhubungan dengan Covid-19, yakni ODP (orang dalam 
pengawasan) dan PDP (pasien dalam pengawasan).

Kementerian Kesehatan mendefinisikan ODP sebagai orang dengan demam/riwayat 
demam/gejala pernapasan atau riwayat kontak/perjalanan. PDP (juga disebut 
"suspek") didefinisikan sebagai orang dengan infeksi pernapasan akut dengan 
riwayat kontak/perjalanan atau infeksi pernapasan akut/pneumonia, walaupun 
tanpa riwayat kontak/perjalanan

Dalam hal ini, "kasus positif" dapat digeser definisinya sehingga kebutuhan 
akan uji diagnostik tidak lagi terlalu penting dan di lain sisi tindakan 
agresif dapat diaktifkan untuk memulai langkah-langkah mitigasi. Definisi kasus 
positif harus mencakup setidaknya PDP, sampai terbukti sebaliknya, disertai 
dengan isolasi kasus ODP yang ketat.

Ini harus dilakukan pada skala nasional, dikoordinasikan oleh gugus tugas 
nasional dengan melibatkan aparat sipil dan militer di tingkat 
kabupaten/kecamatan/desa, bahkan sampai ke RT/RW. Dengan langkah ini, jumlah 
positif palsu (orang yang sebenarnya negatif tapi disangka positif) akan 
membengkak. Untuk saat ini, hal ini mungkin lebih baik daripada melihat jumlah 
kasus positif yang sedikit semata-mata karena tingginya kasus negatif palsu 
(orang yang sebenarnya positif tetapi disangka negatif).

Dengan langkah ini ODP akan "naik tingkat" menjadi PDP (atau bisa juga disebut 
"suspek positif") dengan beberapa kriteria dan langkah penanganan yang jelas, 
meliputi metode saringan klinis dan isolasi. Persoalan perlindungan terhadap 
privasi para pasien dan stigma masyarakat harus menjadi prioritas. Hal ini 
memerlukan kerja sama serius dari pemerintah pusat sampai RT/RW, tokoh 
masyarakat, dan tenaga kesehatan.

Sambil menyiapkan artikel ini, saya berjuang tanpa hasil, untuk mencari data 
nasional PDP dan ODP. Beberapa pemerintah kabupaten dan provinsi memiliki data 
mereka sendiri tentang PDP dan ODP. Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta 
(corona.jogjaprov.go.id) misalnya, sekarang memiliki 387 PDP. Provinsi ini 
telah dengan bijaksana menempatkan orang dalam lonjakan arus mudik dari Jakarta 
dalam daftar ODP yang kemudian menjadikannya sangat besar, 3.070. Provinsi DIY 
melakukan ini dalam situasi ketika jumlah kasus positif di provinsi ini hanya 
38, 1,3% dari angka nasional.

Tempat tidur di rumah sakit rujukan Covid-19 seharusnya dikhususkan bagi kasus 
yang membutuhkan ICU atau ventilator. Seluruh rumah sakit non-rujukan kabupaten 
harus meningkatkan kapasitas mereka (dengan pedoman nasional dari kementerian) 
untuk membuat bangsal isolasi untuk kasus-kasus PDP. Pemerintah kabupaten dan 
provinsi harus mengidentifikasi bangunan-bangunan dengan aula besar untuk 
mengkarantina semua kasus ODP mereka. Dalam rangkaian ini semua yang diperlukan 
untuk karantina, komunikasi, dan transportasi ke rumah sakit terdekat perlu 
dipersiapkan dan dikoordinasikan.

Karantina atau isolasi menjadi sesuatu yang mahapenting untuk memutus rantai 
penularan, bukan sekadar mencuci tangan, pembatasan sosial, penggunaan masker 
dan meningkatkan imunitas tubuh. Hal ini telah dikonfirmasi oleh penelitian 
yang dilakukan oleh para peneliti The Cochrane Collaboration, organisasi 
penelitian dunia yang sangat diakui, dan dipublikasikan pada 8 April lalu.

Karantina perlu dilakukan seawal mungkin dan difasilitasi/dikoordinasikan oleh 
aparatur pemerintahan. Ini artinya, negara-negara di dunia perlu mencari jalan 
untuk melakukan karantina yang masif. Menurut hemat saya, jika karantina yang 
masif dapat dilakukan untuk seluruh kasus ODP dan PDP, maka kebutuhan akan 
lockdown mungkin dapat dipersingkat.

Alternatif lain (jika sangat terpaksa) untuk kasus-kasus ODP adalah karantina 
mandiri (di rumah) yang mungkin bisa efektif jika langkah-langkah isolasi yang 
sangat ketat diterapkan, melibatkan lingkungan RT RW setempat dalam koordinasi 
dengan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota (bahkan mungkin sampai polisi/militer 
jika perlu untuk meningkatkan kepatuhan).

Kesejahteraan ODP, PDP, dan keluarganya yang kehilangan pendapatan selama dalam 
karantina perlu menjadi perhatian serius, bukan saja oleh pemerintah tetapi 
juga masyarakat sekitar dengan mengaktifkan inisiatif-inisiatif sosial. Perlu 
dipahami bahwa isolasi mandiri adalah langkah terpaksa jika isolasi oleh 
pemerintah tidak memungkinkan. Beberapa studi menunjukkan bahwa isolasi mandiri 
tidak efektif dalam memutus rantai penularan.

Agar ini semua efektif, Indonesia perlu melakukan upaya deteksi kasus ODP dan 
PDP secara aktif dengan tidak menunggu datangnya pasien. Hal ini dilakukan 
untuk meningkatkan probabilitas menemukan kasus yang betul-betul positif. 
Dengan pergeseran definisi kasus positif, upaya deteksi kasus menjadi relatif 
lebih praktis dengan biaya terjangkau. Kasus PDP dan ODP dapat dideteksi dengan 
saringan klinis yang dapat dilakukan dengan aplikasi smartphone, tanpa 
melibatkan tes laboratorium.

Dengan dikoordinasikan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten, RT/RW atau perangkat 
desa dapat dilatih untuk menggunakan aplikasi ini dan selanjutnya melaporkan 
kasus-kasus tersebut. Namun, dari waktu ke waktu, Dinas Kesehatan Kabupaten 
perlu melakukan inspeksi untuk memastikan akurasi dan kepatuhan.

Lalu apa yang harus dilakukan dengan membanjirnya paket rapid test saat ini? 
Keunggulan rapid test adalah kecepatannya. Kelemahannya adalah pada 
sensitivitasnya yang sangat rendah, walaupun mungkin memiliki spesifisitas 
sangat tinggi. Itu berarti, ketika seseorang didapati negatif oleh rapid test, 
terdapat kemungkinan sangat rendah bahwa orang itu benar-benar negatif.

Di sisi lain, ketika seseorang didapati positif oleh rapid test, kemungkinannya 
sangat tinggi bahwa orang itu memang benar-benar positif. Dengan demikian, 
sampai batas tertentu, rapid test masih dapat membantu. Artinya, mereka yang 
didapati positif harus langsung dikonfirmasi sebagai kasus positif tanpa 
melalui uji RT-PCR.

Beberapa yang menentang ide ini akan berargumentasi bahwa mengisolasi 
orang-orang positif palsu bersama-sama dengan orang-orang yang benar-benar 
positif justru akan menciptakan rantai penularan baru. Argumentasi ini benar. 
Namun, mereka semua (penularan baru yang terjadi) berada dalam isolasi, 
terpisah dari masyarakat luas. Artinya masyarakat luas akan terhindar dari 
penularan.

Bandingkan dengan situasi saat ini ketika skala penularannya tidak diketahui 
dan beberapa ODP serta PDP tidak diisolasi secara ketat. Mereka masih secara 
bebas melakukan kontak dengan masyarakat luas, yang sama artinya bahwa rantai 
penularan sekarang merajalela di tengah masyarakat.

Terdapat pekerjaan rumah besar yang perlu menjadi perhatian 
organisasi-organisasi sosial dan profesi kedokteran, kesehatan, biomedik, dan 
perguruan tinggi, yaitu edukasi masyarakat. Kebutuhan akan edukasi yang masif 
ini terlihat dari berbagai kasus stigmatisasi terhadap mereka yang positif dan 
penolakan penguburan jenazah.

Lemahnya edukasi ini juga terlihat dari lemahnya kesadaran masyarakat untuk 
melakukan prosedur pencegahan yang sudah lama disuarakan pemerintah: cuci 
tangan, pembatasan sosial, dan penggunaan masker. Di samping itu pemahaman 
masyarakat (bahkan termasuk tenaga kesehatan) akan rapid test juga perlu 
ditingkatkan. Masih banyak yang tidak memahami bahwa hasil negatif dari rapid 
test sama sekali bukan jaminan bebas dari virus corona.


Professor Madya Dr. Teguh Haryo Sasongko Associate Professor Perdana University 
RCSI School of Medicine, Deputy Director Perdana University Center for Research 
Excellence

(mmu/mmu)
rapid test
pcr
covid-19
odp
dpd






Kirim email ke