-- 
j.gedearka <j.gedea...@upcmail.nl>



https://news.detik.com/kolom/d-4869187/mengevaluasi-ego-keumatan-kita?tag_from=wp_cb_kolom_list

Meluruskan Makna Jihad (15)

Mengevaluasi Ego Keumatan Kita

Nasaruddin Umar - detikNews
Rabu, 22 Jan 2020 16:59 WIB
2 komentar
SHARE URL telah disalin
Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA (Ilustrasi: M. Fakhry Arrizal/detikcom)
Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA (Ilustrasi: M. Fakhry Arrizal/detikcom)
Jakarta -

Egoisme keumatan perlu sesekali direnungkan kembali. Betulkah kita sudah 
perfect sebagai ummah sehingga dapat digunakan rujukan untuk menilai orang dan 
masyarakat lain? Motivasi dan referensi apa yang paling dominan di dalam diri 
kita untuk melakukan jihad? Jangan sampai kriteria yang kita gunakan untuk 
menyasar orang lain justru lebih menonjol subjektivitas kita yang berbeda 
dengan orang atau kelompok yang disasar.

Jangan sampai kita termasuk pihak yang disindir oleh pepatah: Semut mati di 
seberang laut kelihatan, gajah mati di pelupuk mata tidak kelihatan. Selama 
namanya manusia, pasti subjektivitasnya pernah mendominasi dirinya. Dalam 
keadaan seperti ini manusia cenderung bukan hanya meng-aku-kan dirinya sendiri, 
tapi juga berharap meng-aku-kan orang lain. Dengan kata lain, ia ingin melihat 
orang lain seperti keakuan dirinya, bukan sesuai dengan esensi universal yang 
menjadi inti ajaran agama.

Sering kita menjumpai orang menghendaki persepsi atau keakuan dirinya 
diimplementasikan oleh orang lain di luar dirinya. Ia kecewa bahkan marah kalau 
keinginan dirinya berjarak dengan kenyataan. Celakanya, terkadang seseorang 
menggunakan bahasa agama untuk melegitimasi dan menjustifikasi keakuan diri 
tersebut, sehingga siapapun yang berbeda dengan dirinya maka salah menurut 
agama. Atas nama "kebenaran" itu, maka seseorang bisa menghalalkan yang haram, 
termasuk mengalirkan darah saudaranya sendiri.

Kondisi sedemikian di atas bukanlah sesuatu yang ideal dan tidak akan pernah 
menghasilkan sesuatu yang ideal. Kini sudah saatnya kita melakukan 
interiorisasi ajaran agama. Jika nilai-nilai ajaran agama menjadi bagian yang 
integral, internal, dan inheren di dalam diri setiap individu, maka akan 
tercipta universalitas nilai-nilai ajaran agama di dalam lingkungan pacu 
kehidupan kita. Interiorisasi nilai-nilai luhur ajaran agama ke dalam pribadi 
akan melahirkan kesadaran kolektif dan universal. Betapa tidak, karena diri 
kita sudah melihat substansi diri kita sendiri di dalam diri orang lain, bahkan 
pada seluruh alam raya.

Setiap kali kita melihat orang lain atau apapun yang kita lihat, seolah-olah 
substansi diri kita juga ada di sana. Seolah-olah kata I, you, dan he/she/hey 
menjadi tidak relevan lagi. Seolah-olah kata I, you, dan he/she/they larut 
menjadi we. Tidak lagi ada kamus "orang lain" di luar diri kita. Kamus aku 
adalah kamus engkau dan kamus mereka juga. Dengan demikian, lingkungan sosial 
tercipta sebuah keindahan.

Perbedaan yang ada bukan lagi sesuatu yang menyedot energi, tetapi bagaikan 
ornamen lukisan warna-warni yang menyejukkan hati dan pikiran. Alam ini ini 
memang adalah sebuah lukisan; lukisan Tuhan (The Painting of God). Siapa yang 
menentang realitas pluralis berarti tidak takjub melihat lukisan Tuhan. Orang 
yang demikian boleh jadi itulah yang dicap dengan fi qulubihim maradl (dalam 
hatinya ada yang tidak beres). Jika hal ini berlanjut maka dikhawatirkan berada 
dalam posisi khatamallah 'ala qulubihim (Allah mengunci mati hatinya). Na'udzu 
billah.

Sesungguhnya yang ideal ialah proporsional, yakni interiorisasi yang diiringi 
dengan eksteriorisasi. Kita harus terlebih dahulu menginternalisasikan 
nilai-nilai ideal itu pada diri sendiri sebelum menyerukannya kepada orang 
lain. Nabi Muhammad bukan hanya mengatakan: Ibda' bi nafsik (mulailah pada diri 
sendiri). Allah juga memperkenalkan nilai-nilai Islam sebagaimana terangkum di 
dalam Al-Quran diawali dengan proses internalisasi nilai-nilai substantif 
(aqidah) yang turun di Mekah, yang biasa disebut ayat-ayat Makkiyyah, lalu 
disusul dengan ayat-ayat legal-formalistis untuk kehidupan bermasyarakat di 
Madinah yang dikenal dengan ayat-ayat Madaniyyah.

Sistematisasi penurunan ayat (at-tanzil) berdasarkan kondisi objektif 
masyarakat menarik untuk diperhatikan. Sebaiknya kita tidak rancu di dalam 
memperkenalkan ajaran agama. Ada kaedah-kaedah dan metodologi di dalam 
menyampaikan ajaran agama, seperti diserukan sendiri dalam Al-Quran: Serulah 
(manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan 
bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih 
mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih 
mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. (Q.S. al-Nahl/16:125).

Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta

(mmu/mmu)
jihad





Kirim email ke