Muhammad Haekal

MahasiswaFakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Monash, Australia.




Menjadi Muslim, Menjadi Minoritas

 13Desember 2016

 Jika engkauadalah minoritas, apa yang engkau harapkan dari kaum mayoritas?

Setelah hampir satu tahun berkuliah di Australia, negara dengan persentase 
umatKristiani sekitar 61%, saya merasakan bagaimana rasanya beragama 
sebagaiminoritas. 

Di sini umat Islam berjumlah 2.1% dari total penduduk. Masjid didirikan 
secaraterbatas di beberapa sudut kota atau permukiman. Azan dilantunkan 
denganpelantang dari dalam bangunan. Di sebagian stasiun kereta, 
pemerintahmenyediakan ruang untuk sembahyang. Di beberapa mal yang tidak 
memilikifasilitas beribahad, ibu-ibu dan para balita berbagi tempat 
denganmuslimin-muslimat yang ingin salat di bilik berlogo botol susu. Di 
tempatpublik, seperti taman, tak jarang terlihat orang yang menghamparkan 
sajadahuntuk bersujud.

Di Universitas Monash tempat saya belajar, untuk salat fardu, umat Islam 
berbagibangunan dengan kaum Yahudi dan Nasrani. Jika Jumat tiba, kami salat 
dilapangan basket. Kadang-kadang panitia salat mengingatkan jamaah agar 
berwududengan rapi, tidak mencecerkan air di lantai. Pernah pula ada teguran 
darikampus karena beberapa jamaah tidak tertib dalam parkir. Kami menanggapi 
kritiktersebut secara serius karena tidak ingin izin salat Jumat dicabut.

Diskriminasi pernah terjadi. Saya merasakan langsung ketika menghadiri 
FestivalMakanan Halal di Melbourne pada bulan April lalu. Ketika itu, ada 
demonstrasiberujung bentrok yang disulut oleh aktivis sayap kanan. Seperti 
dilansirkoran The Age (2016), Nick Folkes, dari PartaiKebebasan—mereka memiliki 
slogan “Make Australia Great Again!”—mengakui bahwapartainya yang menginisiasi 
kegiatan tersebut. 



“Kami punyahak melindungi identitas dan budaya asli Australia. Umat Islam terus 
membangunmasjid dan mempromosikan agama mereka. Saya tidak melihat adanya 
kesamaan diantara kami. Saya tidak mau hidup di negara yang terus meningkat 
identitaskeislamannya,” katanya.

Saya juga pernah mendengar kisah seorang teman yang ditarik jilbabnya 
ketikasedang berjalan di Queensland. Atau yang belum lama ini terjadi, 
vandalisme danpengeboman mobil di sebuah masjid kawasan Perth. 

Yang cukup populer adalah pidato Pauline Hanson, seorang senator 
Queensland,yang di antaranya menyatakan pemerintah harus melarang muslim masuk 
Australiadan memakai burqa. Di Sydney, sebuah penelitian dari Universitas 
Sydney Baratdan Universitas Charles Sturt (2015) menyebutkan 57% muslim 
mengalami pelecehanrasialis. Dalam lingkup nasional, studi dari Universitas 
Australia Selatan,seperti dinyatakan di koran The Australian (2016), 
menemukanbahwa pelaku Islamophobia kebanyakan berasal dari orang-orang 
kurangberpendidikan, pengangguran, lansia, dan berafiliasi dengan Partai 
Liberal atauNasional.

Namun di balik setiap kejadian itu, rasisme secara umum ditolak secara keras 
olehpublik Australia. Saya ingat bagaimana diskusi antirasisme mendadak marak 
pascapidato Hanson. Di Festival Penulis Melbourne 2016, saya juga menyimak 
pidatoseorang pejabat pemerintah yang menegaskan bahwa Australia sekarang 
berwajahmultikultural dan multietnis. Diskriminasi ditentang di 
parlemen—kebanyakanoleh anggota Partai Buruh. 




 
Secara hukum,hal ini juga dikutuk sejak lama oleh Commonwealth Racial Hatred 
Act (1995). Diranah akademik, kampus-kampus membuka jalur pelaporan dan 
pendampingan untuksetiap tindakan diskriminatif. Di level masyarakat, 
orang-orang mendirikankomunitas diskusi lintas agama: sebuah usaha untuk saling 
mengerti, menjagaakal sehat, dan persaudaraan. Di sini, pelaku rasisme 
dipandang sebagai aibyang berbahaya: hasil dari pendidikan yang keliru dan 
kebebalan otak dan hatiyang sulit dimengerti.

Sebagai minoritas dalam hal agama, saya hanya berharap bisa menyembah 
Tuhandengan tenang. Secara pribadi, saya menilai publik Australia secara umum 
sudahmenunjukkan toleransi yang indah. Selain beribadah di bangunan resmi, 
tidakjarang pula di waktu-waktu tertentu, saya meminta pengertian untuk 
memakairuang publik. Selama ini belum pernah ada penolakan atau masalah. 
Merekaberempati dan saya teduh dibuatnya.

Keteduhan yang sama barangkali dirasakan para utusan beragama Nasrani 
dariNajran ketika Rasulullah SAW dan para sahabat mempersilakan mereka 
beribadah diMasjid Nabawi. Atau entah bagaimana lapangnya hati keluarga jenazah 
Yahudiketika melihat baginda Nabi berdiri menghormati (sekalipun ada riwayat 
yangmenyatakan beliau tidak melakukannya berkali-kali). 

Di lain kesempatan, Rasulullah SAW menjenguk orang sakit tanpa peduli 
apaagamanya dan bagaimana prilaku orang tersebut terhadapnya. Di tangan 
nabi,minoritas mendapatkan hak-haknya sebagai warga negara dan manusia. 
Islammenjadi agama yang tidak kaku: sejuk dan tegas di tempat yang tepat.

Mayoritas muslim Indonesia perlu merenungi secara serius bagaimana akhlak 
muliaRasulullah SAW, khususnya terkait hubungan dan pendekatan beliau terhadap 
umatberbeda keyakinan. Menjadi mayoritas bukan berarti kita memiliki 
justifikasiuntuk marah-marah dan memaksakan dominasi serta represi terhadap 
umatlain. 

Dengan jumlah umat yang besar, kita justru mempunyai kesempatan luas 
untukberempati dan berkasih sayang. Itulah salah satu tujuan Islam ada: 
untukmenebarkan manfaat kepada bumi dan seisinya []

 DiUniversitas Monash, untuk salat fardu, mulsim berbagi bangunan dengan 
kaumYahudi dan Nasrani.

 Menjadi Muslim, Menjadi Minoritas - Kolumnis Tirto.ID - Tirto.ID


  
|  
|   
|   
|   |    |

   |

  |
|  
|   |  
Menjadi Muslim, Menjadi Minoritas - Kolumnis Tirto.ID - Tirto.ID
 Door Muhammad Haekal Islam adalah agama mayoritas di Indonesia. Namun 
bagaimana jika seorang muslim Indonesia mengalami seperti apa r...  |   |

  |

  |

 

Kirim email ke