https://news.detik.com/kolom/d-4454514/mentalitas-priayi-akar-punahnya-petani?tag_from=wp_cb_kolom_list&_ga=2.212571540.1295310474.1551808869-494753026.1551808869
Selasa 05 Maret 2019, 14:16 WIB
Sentilan Iqbal Aji Daryono
Mentalitas Priayi, Akar Punahnya Petani
Iqbal Aji Daryono - detikNews
<https://news.detik.com/kolom/d-4454514/mentalitas-priayi-akar-punahnya-petani?tag_from=wp_cb_kolom_list&_ga=2.212571540.1295310474.1551808869-494753026.1551808869#>
Iqbal Aji Daryono
<https://news.detik.com/kolom/d-4454514/mentalitas-priayi-akar-punahnya-petani?tag_from=wp_cb_kolom_list&_ga=2.212571540.1295310474.1551808869-494753026.1551808869#>
Share *0*
<https://news.detik.com/kolom/d-4454514/mentalitas-priayi-akar-punahnya-petani?tag_from=wp_cb_kolom_list&_ga=2.212571540.1295310474.1551808869-494753026.1551808869#>
Tweet
<https://news.detik.com/kolom/d-4454514/mentalitas-priayi-akar-punahnya-petani?tag_from=wp_cb_kolom_list&_ga=2.212571540.1295310474.1551808869-494753026.1551808869#>
Share *0*
<https://news.detik.com/kolom/d-4454514/mentalitas-priayi-akar-punahnya-petani?tag_from=wp_cb_kolom_list&_ga=2.212571540.1295310474.1551808869-494753026.1551808869#>
4 komentar
<https://news.detik.com/kolom/d-4454514/mentalitas-priayi-akar-punahnya-petani?tag_from=wp_cb_kolom_list&_ga=2.212571540.1295310474.1551808869-494753026.1551808869#>
Mentalitas Priayi, Akar Punahnya Petani Iqbal Aji Daryono (Ilustrasi:
Edi Wahyono)
*Jakarta* - Tahun lalu, seorang tetangga saya, sebutlah namanya Pak
Juwari, mengundang saya untuk datang kenduri di rumahnya. Syukuran.
Anaknya berhasil diterima jadi bintara TNI. Tentu saja Pak Juwari sangat
bersyukur dan bangga. Dia seorang petani. Melihat anaknya jadi prajurit
TNI, tentu saja itu sebentuk kesuksesan dalam perjuangan panjang
memanjat tangga sosial.
Pak Juwari memang harus melepas satu petak di antara beberapa petak
sawah warisan dari orangtuanya, untuk segala kebutuhan pembiayaan
anaknya itu. Namun, itu tak masalah. Toh, tanahnya tidak dapat disebut
"hilang". Ia menjadi investasi, dan investasi itu akan dipetik hasilnya
untuk seterusnya. Anaknya bakalan hidup mapan, punya gaji tetap,
terpandang di masyarakat.
Kehilangan sepetak sawah sama sekali bukan kerugian. Itu justru
pembuktian, bahwa harta berupa aset tanah dari orangtua sungguh-sungguh
berdaya guna untuk /kamukten/, alias kemuliaan derajat anak-cucu.
***
Ada ratusan ribu Juwari dalam masyarakat Indonesia. Atau bahkan jutaan?
Mereka petani-petani yang sejak awal tidak pernah bercita-cita
menjadikan anak-anak mereka mengikuti jejak sebagai petani.
Dalam keluarga saya sendiri, proses kehidupan semacam itu juga terjadi.
Dari pihak ibu, kakek saya seorang petani, sementara nenek saya pedagang
sayur. Dari pihak ayah, kakek saya tentara, nenek saya petani. Saya tahu
bagaimana skema mobilitas sosial yang diorientasikan oleh para
kakek-nenek saya itu terkait anak-anak mereka, yaitu bapak-ibu saya
sendiri, juga segenap paman dan bibi.
Almarhum bapak saya seorang guru, ibu saya juga. Paman dan bibi saya
yang banyak sekali itu (produk poligami klasik, harap tahu) tidak ada
juga yang berprofesi utama sebagai petani. Padahal, aset tanah basah
yang dimiliki kakek-nenek saya di persawahan sekeliling kami cukup bagi
segenap anggota keluarga besar andai mereka ingin menjalankan profesi
sebagai petani. Nyatanya, kalau toh mereka bertani, itu cuma sambilan di
sela pekerjaan utama mereka sebagai guru.
Keluarga besar saya tentu bukan representasi masyarakat. Namun, pola
seperti itu sangat sering saya jumpai, di mana-mana. Generasi
kakek-nenek menjadi petani karena memang generasi-generasi di atasnya
lagi juga bertani. Selama beberapa lapis generasi, profesi itu secara
turun-temurun tidak berganti. Bukan karena idealisme atau /passion/
(Anda jangan terlalu muluk-muluk gitu dong kalau membayangkan masa
lalu). Mereka bertahan sebagai petani karena cuma itulah yang mereka
mampu, dan akses untuk keluar dari dunia itu pun belum ada.
Begitu zaman berganti, seiring sekolah-sekolah yang didirikan hingga ke
pelosok-pelosok, kesempatan-kesempatan menempuh pendidikan bermunculan,
pintu keluar itu pun dihadirkan. Lebih spesifik lagi, sesungguhnya itu
bukan sekadar pintu keluar, melainkan akses tangga untuk melejit naik ke
kasta sosial jauh di atasnya.
Ya, sebab petani adalah profesi rakyat jelata. Profesi kawula.
Sementara, pendidikan menyediakan lorong lebar menuju anak-anak tangga
yang akan secara cepat mengeluarkan kelompok sosial itu dari kejelataan
mereka.
***
Dua-tiga pekan terakhir, mampir beberapa artikel tentang masa depan
pertanian Indonesia di lini masa saya. Semua mengudar kegelisahan
tentang ketahanan pangan, swasembada produk-produk pertanian,
menyempitnya tanah-tanah subur yang selama ini menjadi lahan garapan,
dan segala hal terkait itu. Beberapa waktu lalu, saya juga mengikuti
forum di Fisipol UGM yang mengupas visi-misi para capres-cawapres
berkenaan dengan ketahanan pangan dan energi.
Dari sekian gagasan yang ditawarkan, hampir semuanya telah sering kita
dengar. Subsidi untuk petani, akselerasi mekanisasi pertanian,
peningkatan keterampilan petani untuk mendongkrak produksi, perbaikan
tata niaga pertanian, dan hal-hal lain terkait kebijakan struktural
pertanian. Ide lainnya adalah regenerasi petani.
Sorotan atas regenerasi ini memang menarik. Indonesia terancam
kehilangan petani. Data BPS menyebutkan bahwa sejak 2003 hingga 2013,
negeri kita kehilangan 5 juta petani. Sampai 2019 ini, tentu angka
kehilangan itu membengkak lebih banyak lagi. Petani tidak pernah menjadi
cita-cita bagi anak-anak Indonesia. Satu musabab yang dituding adalah
hasil ekonomi dari bertani yang tidak cukup menarik.
Profesi petani di zaman ini memang tidak menjanjikan kekayaan. Namun,
betulkah cuma itu perkaranya? Mari kita tengok dulu.
Kakek-nenek saya, sebagaimana kakek-nenek teman-teman segenerasi saya di
lingkungan agraris Bantul dan sekitarnya, menikmati kehidupan bertani di
era Orde Baru (Orba). Kita tahu, Soeharto menggenjot sektor pertanian
dengan gila-gilaan. Kalau boleh disebut dengan jujur, memang pada masa
Orba-lah para petani kita merasakan puncak kemakmuran.
Anehnya, dengan kemakmuran dan kekayaan yang didapatkan para petani di
era Orba, agaknya secara umum mereka tidak berwasiat kepada anak-cucu
mereka, "Tidak usah sekolah, besok bertani saja." Atau kalau toh
sekolah, karena kewajiban dari negara, tidak pernah juga mentradisi
model-model pesan semacam, "Nak, sekolah yang tinggi ya, biar besok bisa
jadi petani yang lebih hebat ketimbang kami."
Tidak, tidak pernah saya mendengar kisah tutur atau khazanah gosip dari
generasi kakek-nenek saya yang meninggalkan pesan-pesan heroik seperti
itu. Yang sering terdengar adalah /gegayuhan/, keinginan, agar anak-anak
mereka meraih /kamukten/ karena bisa masuk ke dunia yang penuh
kemuliaan: menjadi pegawai.
Orangtua, juga paman-bibi saya yang belasan orang itu, hampir semuanya
menjadi pegawai. Persisnya, sebagai guru. "Pegawai" adalah istilah
generik di Jawa untuk menyebut pegawai negeri, meski kemudian meluas
pula ke kategori karyawan swasta, khususnya untuk karier level menengah
ke atas. Sebagai para pegawai, orangtua dan paman-bibi saya tidak lebih
berpunya daripada kakek-nenek saya. Bahkan, pada masanya, hanya
minoritas di antara mereka yang secara tingkat kemakmuran mampu melebihi
kakek-nenek saya.
Meski demikian, tidak pernah muncul peristiwa datangnya sabda dari
simbah saya yang memerintahkan: "/Le/, /Ndhuk/, gaji kalian sebagai guru
sangat kecil. Lebih baik kalian keluar saja dari pekerjaan kalian, dan
fokus menggarap sawah."
Menjadi pegawai tetap jadi pilihan. Kalau toh beberapa petak sawah
warisan tetap digarap, pengerjaannya diserahkan kepada petani penggarap
dengan sistem bagi hasil. Sistem semacam itu memotong separuh dari hasil
yang seharusnya didapatkan. Andai paman-bibi saya memusatkan sumber daya
mereka untuk bekerja di sawah, tentu hasilnya lebih besar daripada gaji
guru di zaman Orde Baru sebagaimana gambaran dramatis Iwan Fals dalam
lagu /Oemar/ /Bakri/.
Belakangan, pada zaman Gus Dur, gaji guru dinaikkan dua kali lipat. Ini
membawa dampak kemakmuran yang konkret bagi para guru. Sejalan dengan
proyeksi ekonomis, profesi guru memang kemudian lebih diminati. Namun
itu belum cukup menjelaskan kenapa pada era pra-Gus Dur banyak keluarga
memotivasi anak-anak mereka untuk maju terus meraih predikat sebagai
pegawai, alih-alih sebagai petani profesional.
***
Solusi-solusi struktural yang berkaitan dengan peningkatan hasil ekonomi
para petani memang menarik. Asumsinya, bila dengan menjadi petani kita
bisa kaya, maka akan banyak anak muda yang berbondong-bondong ingin bertani.
Malangnya, arus kehidupan kita tidak melulu digerakkan oleh uang. Di
bawah sadar kolektif masyarakat kita, ada satu hal yang ngendon dan
bertahan sangat lama, yaitu mentalitas priayi.
Dalam masyarakat Jawa, priayi adalah kelas sosial di atas /wong cilik/
alias rakyat jelata. Pada awal sejarahnya, kelas ini hanya diisi oleh
mereka yang beruntung secara genetis sebagai keturunan darah biru
kerajaan. Pada awal abad ke-20, seiring kebutuhan pemerintah kolonial
Hindia Belanda akan tenaga administrasi, kalangan jelata mendapatkan
kesempatan lompatan kasta untuk masuk ke kelas priayi. Jalurnya adalah
pendidikan, juga kemampuan berbahasa Belanda. Maka, muncullah apa yang
disebut dengan priayi rendah. Mereka terdiri atas juru tulis, petugas
pajak, guru, mantri, dan sebagainya.
Jika Anda pernah membaca novel /Para Priayi/ karya Umar Kayam, seperti
itulah kira-kira kehidupan priayi rendah. Mantri Guru Sastrodarsono
menjadi gambaran tokoh priayi baru yang tidak sangat berkelimpahan
secara ekonomi, namun terpandang di masyarakat, menjalani tata cara
keseharian yang penuh tata krama, /alusan/, dan bermartabat.
Menjadi priayi rendah adalah kesempatan emas mendobrak takdir bagi
masyarakat kita, khususnya di Jawa. Kehidupan sebagai priayi pun menjadi
cita-cita yang tidak mustahil diraih, oleh kalangan wong cilik yang
ingin mendongkrak kehormatan.
Bayangan kehidupan bermartabat tinggi sebagai priayi membentuk segenap
konsep ideal kehidupan yang diangan-angankan. Tidak mengandalkan otot
untuk bekerja, tidak bermandi peluh, tidak bergumul dengan lumpur dan
kotoran sapi, bersih, /kajen/ atau terhormat, dan segenap kata-katanya
didengarkan oleh lingkungan di kiri dan kanan.
Konsep tersebut membentuk cara pandang kolektif selama
bergenerasi-generasi. Maka, semakin seseorang bisa bekerja tanpa
berpeluh, semakin ia bisa meminimalkan gerak tubuh untuk menjalani
profesinya, semakin ia bersih dan wangi, semakin ia dipandang sebagai
sosok yang sukses.
Tidak usah jauh-jauh. Saya sendiri pun korban dari pandangan dunia
seperti itu. Sekitar 14 tahun silam, ketika saya mulai bekerja sebagai
editor di sebuah perusahaan penerbitan buku untuk madrasah, saya
menyadari bahwa gaji saya sebulan lebih kecil ketimbang gaji tukang
batu. Gaji saya waktu itu 800 ribu, sedikit di atas UMR Yogyakarta.
Sementara, seorang tukang batu bisa meraup penghasilan tak kurang dari
sejuta.
Sempat suatu kali saya curhat ke salah seorang sahabat tentang fakta
menyedihkan itu. Dia cuma bertanya pendek, "/Lha/ emangnya kamu mau jadi
tukang?"
/Cleguk/. Saya cuma menelan ludah. Tentu saja tidak. Saya lebih suka
menjadi editor, pekerjaan orang sekolahan, daripada menjadi tukang batu.
Uang bukan segala-galanya.
Tanpa sadar, jauh di bawah kerak kesadaran saya, ternyata saya ingin
jadi priayi.
***
Saya percaya, zaman sudah berganti. Generasi milenial bersikap persetan
dengan segala jenis tata hierarki. Mereka tak lagi peduli akan
nilai-nilai /kamukten/ kasta priayi. Mereka lebih rasional, tak ambil
pusing dengan perkara-perkara martabat sosial yang absurd itu, sehingga
pintu menuju pemulihan sumber daya petani kita pun semakin terbuka luas.
Tentu, semua harus diiringi perbaikan di sektor-sektor konkret semacam
orientasi hasil ekonomi.
Meski demikian, wilayah pandangan dunia komunal ini tetap wajib
disadari. Diperlukan satu gebrakan strategi kebudayaan untuk mempercepat
lenyapnya mental priayi, mental yang selama ini ternyata menghambat
segenap gerak masyarakat kita.
Sebelum sawah-sawah semakin habis, dijuali untuk biaya masuk jadi
pegawai. Sebelum rumah-rumah berdiri megah di atas sawah-sawah itu,
karena sawah hanya dianggap sebagai jalur menuju kejelataan kembali.
Sebelum petani kita punah, dan tiba-tiba kita sadar bahwa kita tak lagi
punya apa-apa untuk dimakan esok pagi.
*Iqbal Aji Daryono* /esais, tinggal di Bantul/
*(mmu/mmu)
*
**