-- 
j.gedearka <j.gedea...@upcmail.nl>


https://news.detik.com/kolom/d-4917107/merdeka-dari-yang-mengancam-di-sekolah-ki


Kolom

Merdeka dari yang Mengancam di Sekolah Kita

Eko Triono - detikNews
Kamis, 27 Feb 2020 16:20 WIB
0 komentar
SHARE URL telah disalin
Anak sekolah
Jakarta -

Dalam waktu berdekatan beruntun kita mendengar kabar tidak menyenangkan tentang 
bahaya yang mengancam dalam kegiatan pembelajaran di sekolah. Atap sebuah 
sekolah dasar ambruk. Siswa dipukuli temannya. Siswa ditempeleng gurunya. Guru 
diancam oleh siswa dan orangtua. Serta, yang terkini, siswa hanyut saat 
kegiatan susur sungai, bahkan mengakibatkan sepuluh orang siswa meninggal dunia.

Belum selesai persoalan tersebut, banjir yang melanda di sejumlah tempat 
mengakibatkan banyak sekolah diliburkan. Memang satu per satu kejadian tersebut 
di tempat berbeda. Namun pada era luapan informasi seperti ini, kecemasan dapat 
segera menyebar menggenangi perasaan peserta didik dan wali murid di tempat 
yang lain.

Yang harus kita perhatikan sekarang jangan sampai siswa menjadi cemas belajar 
karena sambil sesekali memandangi atap takut ambrol; menatap ke arah hujan 
deras takut air menggenang; takut kalau-kalau temannya muncul dengan gagang 
sapu minta uang sambil menganiaya dan merekamnya; khawatir temannya mengejek 
terus menerus hingga membuatnya tidak mau belajar bahkan berniat bunuh diri; 
atau khawatir gurunya menempeleng; atau trauma dengan Pramuka, dan rasa 
terancam yang lainnya.

Transformasi ilmu pengetahuan akan sulit dilakukan dengan baik apabila kondisi 
pikiran siswa cemas dan terancam. Jika sudah demikian, proses belajar mengalami 
penurunan kualitas yang mengakibatkan turunnya pula luaran kualitas sumber daya 
manusia kita di masa depan.

Penyelesaian dan Pencegahan

Dalam kasus yang sudah terjadi, hukum harus tampil adil dan terdepan. Ancaman, 
kerusakan, bahkan kerugian jiwa yang diakibatkan oleh satu pihak terhadap pihak 
lain dapat diselesaikan secara hukum, karena hukum ada untuk menciptakan rasa 
aman hidup bersama, termasuk rasa aman di sekolah.

Mengingat deretan kejadian di atas diduga erat kaitannya dengan kesalahan pihak 
lain. Atap yang ambrol diduga kesalahan konstruksi dari pihak pemborong, susur 
sungai yang nahas diduga kesalahan manajemen pembina kegiatan, dan kekerasan di 
sekolah dapat dibuktikan merupakan kesalahan pelakunya. Kenakalan yang selama 
ini identikkan dengan remaja atau siswa, kini terlihat bahwa kenakalan juga 
dilakukan oleh guru dan orangtua.

Langkah berikutnya adalah mengevaluasi titik-titik pembelajaran yang rawan 
ancaman tersebut. Dari sisi sarana dan prasarana dikontrol kembali, dari sisi 
standar operasional kegiatan diperiksa kembali, dan dari segi keamanan belajar 
siswa dari ancaman siswa lainnya dapat diperbaiki misalnya dengan memasang 
kamera pengawas di kelas jika memang mendesak dan rawan.

Baru kemudian bersicepat pada langkah fundamental dalam proses pembelajaran, 
yakni merdeka belajar dari ancaman-ancaman di sekolah melalui penanaman 
karakter baik bagi seluruh sistem pendidikan. Tentu bertepatan dengan 
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang saat ini sedang menggaungkan istilah 
merdeka belajar.

Istilah merdeka hanya bisa lahir dari keadaan yang dianggap terjajah. 
Ancaman-ancaman proses pembelajaran ini adalah bagian yang masih menjajah 
pendidikan kita.

Memanusiakan Siswa

Dalam pengamatan saya yang terbatas sementara ini, beberapa negara berlomba 
menciptakan merdeka belajar bagi siswanya dari rasa cemas. Merdeka belajar yang 
bukan berarti guru sedang rapat sehingga jam belajar kosong.

Dari dua negara yang terakhir ini saya kunjungi terdapat sedikit gambaran. Di 
Belanda misalnya, siswa dikondisikan agar belajar dalam keadaan yang bahagia. 
Sekolah memiliki tempat bermain yang aman dan sarana lengkap. Siswa tidak 
dimarahi saat terlambat, kepala sekolah menyapa setiap siswa di luar gerbang 
saat siswa masuk dan pulang. Orangtua siswa mendapat rencana pembelajaran 
tahunan dan laporan kegiatan pembelajaran sehingga dapat ikut memantau dan 
memberikan masukan.

Serta, persoalan evaluasi yang mungkin terasa ekstrem bagi kita, yakni tidak 
memerlukan rapor, peringkat, bahkan rekan yang saya temui bercerita tidak ada 
ijazah untuk anaknya yang ketika itu sekolah di sana; ijazah sebagaimana 
umumnya kita. Bagian soal evaluasi ini agar siswa tidak terancam oleh nilai dan 
ranking seperti kuda-kuda pacuan. Agar siswa berfokus pada pengembangan potensi 
diri dan kemampuannya sebagai manusia yang beragam.

Pada tahap awal yang bisa kita kejar adalah keterlibatan orangtua dalam 
mengawal proses pembelajaran, sehingga bisa memberi masukan saat diduga ada 
yang kurang aman atau kurang sesuai.

Terdapat beberapa perbedaan dengan di China misalnya. Pada awal pagi, saya 
melihat siswa rutin senam pagi. Ketika saya bertanya mengapa di tengah siang 
anak-anak kecil berombongan bersama gurunya menuju gedung lain, ternyata mereka 
diberi kesempatan untuk tidur siang. Jam istirahat siangnya memang panjang dan 
peserta didik dapat tidur sejenak sehingga pikiran lebih bahagia pada jam 
pelajaran berikutnya.

Sepertinya ini terasa lebih nyaman bagi siswa daripada harus belajar dari pagi 
hingga sore atau istilahnya sehari penuh yang membuat mereka penat dan tertekan 
secara emosional, yang bisa membuat mudah marah dan menuntut pelampiasan.

Ini hanya gambaran singkat betapa dua contoh negara tersebut berupaya membuat 
pelajarnya merasa tenang dalam belajar. Tentu banyak contoh dan tindakan lain 
di negara lainnya bahkan di sejumlah sekolah negara kita sendiri, yang berfokus 
pada keamanan fisik dari kecelakaan dan kekerasan dalam pembelajaran, juga 
keamanan psikis dari tekanan berlebihan dan perundungan yang tidak perlu dalam 
dunia pendidikan kita.

Dengan demikian, harapannya kabar-kabar tentang kekerasan, bahkan kehilangan 
nyawa dalam proses pembelajaran, mestinya tidak kedengaran lagi.

Eko Triono alumni Magister Pendidikan Universitas Sebelas Maret

(mmu/mmu)
pendidikan
sekolah
merdeka belajar







Reply via email to