https://www.mongabay.co.id/2020/01/23/omnibus-law-potensi-tambah-masalah-lingkungan-dan-sosial/


Omnibus Law, Potensi Tambah Masalah Lingkungan dan Sosial

oleh Indra Nugraha [Jakarta]
<https://www.mongabay.co.id/byline/indra-nugraha-jakarta/> di 23 January
2020







   -

   *Hariadi Kartodiharjo, guru besar Fakultas Kehutanan Institut Pertanian
   Bogor (IPB) mengatakan, omnibus law justru jadi ancaman bagi upaya
   pelestarian hutan dan lingkungan.*
   -

   *Omnibus law, juga dinilai belum bisa menjawab keterlanjuran penggunaan
   tanah dan hutan.*
   -

   *Pemerintah dan DPR, harus melihat fakta lapangan dan mencari formulasi
   tepat untuk menyelesaikan dalam konteks omnibus law. Problematika lapangan,
   sangat besar dan kompleks.*
   -

   *Pemerintah harus terbuka dalam membahas soal omnibus law. Dengan ada
   omnibus law ini, jangan sampai kehadiran RUU ini tidak menyelesaikan
   masalah, justru memindahkan.*





Pemerintah mulai memproses penyederhanaan hukum (*omnibus law*) antara
lain, dengan mengajukan Rancangan Undang-undang Cipta Lapangan Kerja, awal
Januari 2020. Berbagai kalangan pun angkat suara. Mereka khawatir, *omnibus
law *malah mengancam lingkungan dan menambah masalah sosial.

Hariadi Kartodiharjo, guru besar Fakultas Kehutanan Institut Pertanian
Bogor (IPB) dalam konferensi pers di Jakarta, pertengahan Januari lalu
mengatakan, *omnibus law *justru jadi ancaman bagi upaya pelestarian hutan
dan lingkungan.

Dia bilang, ada asumsi perjalanan atau investasi lambat bisa selesai dengan
pengurangan pasal-pasal yang menghambat. Dia contohkan, dari draf RUU Cipta
Lapangan Kerja, bisa melihat ada puluhan UU dengan besar pasal-pasal yang
dianggap menghambat investasi dimatikan.

“Ini untuk mempercepat investasi. Jadi, tugas *omnibus law *adalah mencabut
pasal-pasal yang dianggap menghambat investasi,” katanya.

Pada periode pertama Pemerintahan Joko Widodo menggagas Nawacita. Hal ini
buat memastikan struktur adil dalam pengelolaan sumber daya alam termasuk
hutan.

Dia juga mengapresiasi hal-hal yang sudah dilakukan pemerintah untuk
mencapai hal ini meski dalam perjalanan banyak hambatan. Namun, katanya,
dengan ada *omnibus law*, bertentangan dengan semangat Nawacita.

“Kalau yang jadi acuan dalam *omnibus law *itu adalah RDTR (rencana detail
tata ruang-red), kita tahu, di lapangan tak sesuai kenyataan naik provinsi
maupun kabupaten.”

Dia mempertanyakan, bagaimana berbagai masalah lingkungan dan sosial
masyarakat bisa selesai dengan *omnibus law*.

“Apakah ketika pasal-pasal yang dianggap menghambaat investasi dicabut,
semua permasalahan akan selesai? Itu jadi pertanyaan besar,” katanya.

Terkait aspek perizinan, kata Hariadi, dalam draf RUU akan menyempitkan
ruang partisipasi masyarakat dan jelas keliru.

Mempercepat perizinan, katanya, tak lantas menghilangkan aspek partisipasi
masyarakat.

“Tujuannya jelas, kalau mungkin orang berpikir supaya izin cepat maka semua
partisipasi masyarakat dihentikan. Dalilnya, asal sesuai RDTR, partisipasi
masyarakat tak diperlukan. Ini bisa saja terjadi kalau RDTR *bener*. Kita
tahu fakta di lapangan tidak seperti itu. Kok persoalan sedahsyat itu
justru ada pembatasan partisipasi masyarakat.”



Pada Kamis 13 Juli 2017, Ibrahim, 72 tahun, warga Mantadulu, transmigran
dari Lombok Tengah mempelihatkan sertifikat tanah yang diklaim PTPN XIV.
Konflik lahan antara warga dan perusahaan, termasuk perusahaan negara,
banyak terjadi. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia



Dia bilang, problem selama ini bukan terdapat dari pasal Undang-undang
tetapi pada konteks kelembagaan. “Apakah lebih efisien dan baik dari
sebelumnya, semua belum jelas.”

Lalu, soal penyimpangan penggunaan wewenang. Dalam kondisi reformasi
birokrasi yang relatif tidak jalan, hambatan-hambatan itu justru ada di
tidak jalannya atau penyimpangan dari kewenangan.

*Omnibus law*, menurut Hariadi, belum bisa menjawab keterlanjuran
penggunaan tanah dan hutan. Dia ragu, kalaupun sekian banyak pasal dianggap
menghambat investasi dicabut, permasalahan keterlanjutan penguasaan tanah
dan hutan belum selesai.

“Karena kita juga melihat upaya untuk mempercepat perizinan ini tidak
sejalan dengan upaya menyelesaikan persoalan tumpang tindih dan
penyelesaian konflik. Tidak ada artikulasinya.”

Sementara dalil *omnibus law, *katanya, supaya efisien menggunakan peta
elektronik. Bahkan, ada usul dari Timnas Omnibus Law agar penunjukan dan
tata batas hutan dihilangkan, semua menggunakan elektronik. “Padahal ini
bukan soal pemetaan saja. Juga menyangkut sosial, budaya dan pengetahuan
masyarakat yang ada di dalamnya,” katanya.

Masalah, tak akan selesai hanya dengan peta elektronik yang hanya dikuasai
pemegang izin. Dia bilang, ada pertentangan-pertentangan terkait asumsi
dasar di *omnibus law *ini.

Masalah di lapangan, katanya, tak akan selesai kalau hanya fokus pada
perizinan. Sebab, ada problem lain yang harus diselesaikan, seperti konflik
tenurial, kekerasan dan kriminalisasi terhadap masyarakat. “Ini belum mampu
dijawab oleh *omnibus law*.”

Risiko lain, katanya, terkait daya dukung dan daya tampung lingkungan.
Mempercepat perizinan, dalam omnibus law tak mempertimbangkan kedua aspek
itu.

“Beberapa hal berkaitan dengan mempercepat perizinan dilakukan dengan cara
mencabut pasal-pasal yang justru sebenarnya pasal-pasal itu melindungi
lingkungan hidup,” katanya.

Pemerintah dan DPR, katanya, harus melihat fakta lapangan dan mencari
formulasi tepat untuk menyelesaikan dalam konteks *omnibus law*.
Problematika lapangan, katanya, sangat besar dan kompleks.

“Jangan sampai karena bertujuan menyederhanakan aspek perizinan, justru
mengabaikan aspek lain, seperti lingkungan hidup dan partisipasi
masyarakat.”

Dia berharap, pemerintah dan DPR berkonsultasi publik secara intens untuk
membahas mengenai *omnibus law*.



Perusahaan yang membuka kebun sawit dan berkonflik lahan dengan masyarakat
adat Laman Kinipan di Kalteng. Apakah omnibus law, mampu menyelesaikan
masalah ini atau malah sebaliknya? Foto: Safrudin Mahendra-Save Our Borneo



Aryanto Nugroho, dari Publish What You Pay (PWYP) Indonesia mengatakan,
sejauh ini publik juga tidak tahu mana pembahasan mengenai *omnibus law*.
Semua pihak masih meraba-raba. Meskipun ada diskusi, tetapi tak tahu
membahas draf yang mana.

“Kalau kita ingat diskusi reformasi dikorupsi tahun lalu, orang-orang dulu
beramai-ramau demonstrasi menolak RUU Pertanahan, RUU Minerba, KUHP dan
lainnya. Waktu itu penolakan dari masyarakat timbul karana ada pasal-pasal
bermasalah di RUU itu. Kekhawatiran kami jangan sampai pasal-pasal yang
bermasalah ini muncul di *omnibus law*,” katanya.

Dia berharap, pemerintah terbuka dalam membahas soal *omnibus law*. Dia
mengingatkan, jangan sampai kehadiran RUU ini tidak menyelesaikan masalah,
justru memindahkan.

Aryanto bilang, jangan sampai omnibus law justru membuka ruang untuk
eksploitasi sumber daya alam berlebihan. Selama ini, ada banyak kasus
lubang tambang belum terselesaikan yang menunjukkan sisi lemah pengawasan.

“Kalau pengawasan masih lemah dan luas tidak dibatasi, akan nambah masalah.
Makin luas makin sulit diawasi. Jangan sampai ada kekahwatiran, UU itu
bukan buat masyarakat, tapi buat pengusaha. Harus ada perspektif dari
masyarakat. Tidak hanya dari pengusaha saja.”



Keterangan foto utama: Dengan mengabaikan aspek lingkungan, jangan sampai
aturan omnibus law malah menciptakan masalah lingkungan lebih parah,
seperti kebakaran hutan. Foto: Anton Wisuda/ Mongabay Indonesia

Kirim email ke