Kolom
Perluasan Pangkalan Militer China
Fahmi Alfansi P Pane - detikNews
Kamis, 10 Sep 2020 11:25 WIB
2 komentar
<https://news.detik.com/kolom/d-5167146/perluasan-pangkalan-militer-china?tag_from=wp_cb_kolom_list#comm1>
SHAREURL telah disalin
<https://news.detik.com/kolom/d-5167146/perluasan-pangkalan-militer-china?tag_from=wp_cb_kolom_list>
Kabar Pembangunan Pangkalan Militer China Di Vanuatu Picu
KekhawatiranFoto: Australia Plus ABC
*Jakarta*-
Biasanya laporan tahunan Departemen Pertahanan Amerika Serikat (AS)
tentang Kekuatan Militer China tidak menarik perhatian pejabat dan
publik Indonesia. Tapi, laporan Pentagon kepada Kongres AS tahun 2020
yang dirilis awal September berbeda dampaknya.*Detikcom*menaikkan berita
berjudul/Pentagon Sebut China Pertimbangkan Indonesia Jadi Lokasi
Fasilitas Militer/pada 2 September.
Kehebohan muncul karena Dephan AS menulis "melampaui pangkalannya di
Djibouti, Republik Rakyat China besar kemungkinan segera
mempertimbangkan dan merencanakan penambahan fasilitas logistik militer
di luar negeri untuk mendukung kekuatan laut, udara dan darat. RRC
kelihatannya telah mempertimbangkan lokasi untuk fasilitas logistik
militer Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) di Myanmar, Thailand, Singapura,
Indonesia, Pakistan, Sri Lanka, Uni Emirat Arab, Kenya, Seychelles,
Tanzania, Angola dan Tajikistan." (Ringkasan Eksekutif hal. x).
Sekilas isi Ringkasan Eksekutif tidak berbeda dengan laporan bagian
Pangkalan Luar Negeri PLA dan Akses pada halaman 128-130. Namun,
penempatan alinea atau/pointers/yang berbeda dapat menimbulkan perbedaan
interpretasi, baik dari Anggota Kongres (parlemen) AS maupun pemerintah
dan rakyat negara-negara yang disebut dalam laporan.
Pada halaman 128 kalimat pertama dalam Ringkasan Eksekutif tadi dibuat
terpisah atau tidak dalam satu paragraph dengan kalimat berikut yang
terkait Indonesia. Maka, bagian kalimat "besar kemungkinan segera
mempertimbangkan dan merencanakan" adalah hasil analisis Dephan AS untuk
pangkalan militer China di Djibouti saja. Saat ini Angkatan Laut China
sudah mengoperasikan pangkalan militernya di Djibouti, seperti juga AS
dan Prancis.
Dalam pandangan Dephan AS, China sangat mungkin akan berencana
memperluas jenis operasi, jumlah personel, persenjataan serta wilayah
operasi dan pengaruh militer China di wilayah Tanduk Afrika tersebut.
Bila saat ini AL China terfokus pada pencegahan perompakan di Laut Merah
dan Teluk Aden, serta dukungan logistik untuk beragam misi, maka China
berpeluang memproyeksikan kekuatan militernya, baik ke wilayah perairan
yang lebih luas di kawasan Afrika dan Timur Tengah maupun ke wilayah
daratan Afrika barat dan tengah.
Adapun hasil analisis Dephan AS untuk perluasan pangkalan militer China
yang terkait Singapura, Indonesia, dan sebagainya terletak pada kalimat
kedua. Menurut Dephan AS, peluangnya lebih kecil karena memakai frase
"/likely/".
Namun, terlepas dari perbedaan derajat probabilitas tersebut, penempatan
dua kalimat yang berbeda konteks dalam satu alinea atau/pointers/pada
Ringkasan Eksekutif dapat menunjukkan kurangnya ketelitian birokrasi.
Dampaknya, negara-negara sekutu dan sahabat AS dapat memandang berbeda
terhadap akurasi dan kredibilitas laporan tersebut. Sekurang-kurangnya
negara mitra Indo-Pasifik AS dapat mempertanyakan derajat kesahihan
sumber dan substansi data primer dari laporan tersebut.
Reaksi Singapura misalnya, diperkirakan lebih tidak nyaman daripada
kita. Bagi kita, respons terhadap laporan Dephan AS mudah diperkirakan.
Indonesia dapat tegas menyatakan mustahil diterima proposal pembangunan
pangkalan atau fasilitas logistik militer di sini karena Indonesia
menganut politik luar negeri yang bebas aktif. Secara legal itu
ditegaskan dalam Undang-undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar
Negeri Pasal 3.
Namun, Singapura adalah salah satu anggota Five Power Defence
Arrangement (FPDA) bersama Inggris, Malaysia, Australia, dan New
Zealand. Organisasi yang berdiri pada 1971 ini adalah aliansi militer
yang lebih longgar dan/low profle/daripada NATO (Organisasi Pakta
Atlantik Utara). Sekalipun lebih banyak menggelar latihan dan konsultasi
antarpetinggi militer kelima negara, namun mereka adalah anggota
Persemakmuran (Commonwealth).
Sebagian personel dan alutsista (alat utama sistem senjata) anggotanya
ditempatkan pada wilayah anggota lain. Misalnya, sejumlah helikopter
angkut berat CH-47 Chinook Singapura ditempatkan di pangkalan Oakey,
Australia (/Australian Defence Magazine/, 20 Agustus 2020).
Bahkan, Singapura juga menyediakan fasilitas dukungan, termasuk
logistik, bagi militer AS, baik di Pangkalan AL Changi maupun Pangkalan
AU Paya Lebar. Karena itu, pencantuman Singapura sebagai lokasi yang
turut dipertimbangkan China untuk fasilitas logistiknya cukup
mengherankan. Singapura mustahil akan menerima proposal China karena
luas teritorialnya sangat terbatas, dan hubungan khusus Singapura dengan
Inggris dan AS. Dengan demikian, terlalu sulit membayangkan China akan
mengajukan proposal tersebut karena sudah pasti ditolak.
Sekalipun demikian, Dephan AS mengambil risiko akan adanya protes atau
minimal ketidaknyamanan diplomatis di antara negara sahabat AS terhadap
laporan yang sebenarnya tertuju kepada Kongres AS, tapi dirilis terbuka
ke seluruh dunia. AS sangat berkepentingan Indonesia, Singapura, dan
banyak negara lain tidak berada di bawah pengaruh China. AS merasa perlu
mengingatkan negara-negara di kawasan Asia Pasifik akan kebangkitan
militer China dan risiko ketidakstabilan kawasan.
Namun, pencantuman negara-negara sekutu dan sahabat dalam daftar negara
yang akan dilobi untuk fasilitas logistik militer China bukan strategi
terbaik. Tanpa AS membuat satu laporan pun tentang kebangkitan militer
China, Indonesia bereaksi jika militer dan milisi China memasuki wilayah
kedaulatan Indonesia tanpa izin. Indonesia juga merespons saat
kapal-kapal pencuri ikan dari China, Vietnam dan lain-lain mencuri ikan
di kawasan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI), bahkan meski
kapal-kapal pencuri ikan itu dibayangi oleh kapal penjaga pantai China.
Sepanjang 2016 sekurangnya terdapat tiga insiden besar, yang kemudian
mendorong Presiden Joko Widodo untuk menunjukkan kehadirannya di kapal
perang KRI Imam Bonjol-383. Bahkan, pada akhir Desember 2019 hingga
Januari 2020 saat Covid-19 masih dianggap wabah pneumonia misterius di
daratan China, kapal-kapal TNI AL, Bakamla dan KKP beberapa kali
menghalau kapal pencuri ikan yang dikawal kapal penjaga pantai China di
perairan Laut Natuna Utara. Ini berarti Indonesia tegas menolak klaim
ahistoris dan ilegal China atas perairan Laut Natuna Utara berdasarkan
sembilan garis imajiner yang putus-putus.
Meskipun tegas, Indonesia tetap bersahabat dengan semua negara, baik AS,
China, maupun negara tetangga yang dekat dan jauh. Pandemi Covid-19
mestinya menjadi peluang terbaik untuk menjaga persahabatan dan kerja
sama antarbangsa. Namun, persahabatan harus didasari sikap saling
percaya dan prasangka baik. Prasangka baik tidak dapat dihasilkan dari
data intelijen yang sumir dan analisis yang terlalu politis.
*Fahmi Alfansi P Pane*/alumnus Magister Manajemen Pertahanan, program
kolaborasi Universitas Pertahanan Indonesia dan Cranfield University Inggris
/
*(mmu/mmu)*
Memanas di Laut China Selatan saat China Tuding AS sebagai Ancaman
Tim detikcom - detikNews
Kamis, 10 Sep 2020 22:31 WIB
7 komentar
<https://news.detik.com/internasional/d-5168386/memanas-di-laut-china-selatan-saat-china-tuding-as-sebagai-ancaman?single=1#comm1>
SHAREURL telah disalin
<https://news.detik.com/internasional/d-5168386/memanas-di-laut-china-selatan-saat-china-tuding-as-sebagai-ancaman?single=1>
An aerial view of Qilianyu islands in the Paracel chain, which China
considers part of Hainan province on August 10, 2018. (Photo by - / AFP)
/ China OUTFoto: Kawasan Laut China Selatan (AFP Photo)
*Beijing*-
Sengketa di perairan Laut China Selatan
<https://www.detik.com/tag/laut-china-selatan>kembali memanas lagi usai
China menudingAmerika Serikat (AS)
<https://www.detik.com/tag/amerika-serikat>sebagai ancaman. China
menuding AS sebagai pendorong militerisasi di kawasan itu.
Seperti dilansir/AFP/dan/Reuters/, Kamis (10/9/2020), tuduhan itu
disampaikan Menteri Luar Negeri (Menlu) China, Wang Yi, dalam pertemuan
virtual dengan para Menlu negara-negara Asia Tenggara yang digelar
sebagai bagian dari konferensi ASEAN, pekan ini.
"Amerika Serikat menjadi pendorong militerisasi terbesar di Laut China
Selatan," sebut Wang dalam pertemuan virtual itu.
*Baca juga:*China Sebut AS Ancaman Terbesar Bagi Perdamaian di Laut
China Selatan
<https://news.detik.com/internasional/d-5167243/china-sebut-as-ancaman-terbesar-bagi-perdamaian-di-laut-china-selatan>
Ditegaskan Wang bahwa kepentingan terbesar China di Laut China Selatan
adalah 'perdamaian dan stabilitas'. Dia menuduh AS telah 'menciptakan
ketegangan dan mencari keuntungan dari itu'. Menurut Wang, AS secara
langsung melakukan intervensi dalam sengketa wilayah dan perairan di
Laut China Selatan karena kebutuhan politiknya sendiri.
"Amerika Serikat menjadi faktor paling berbahaya yang merusak perdamaian
di Laut China Selatan," tuding Wang, seperti dikutip kantor berita Xinhua.
"Perdamaian dan stabilitas adalah kepentingan strategis terbesar China
di Laut China Selatan. Ini juga menjadi aspirasi strategis bersama bagi
China dan negara-negara ASEAN," imbuhnya.
Kendati demikian, Wang menyatakan China bersedia untuk berkomunikasi dan
berdialog dengan AS demi mencapai kerja sama.
Diketahui bahwa selama ini China mengklaim sebagian besar perairan Laut
China Selatan yang kaya sumber daya alam. China menggunakan apa yang
disebut sebagai 'sembilan garis putus-putus' untuk membenarkan klaimnya
atas perairan sengketa itu.
*Baca juga:*Perluasan Pangkalan Militer China
<https://news.detik.com/kolom/d-5167146/perluasan-pangkalan-militer-china>
China bahkan berusaha memperkuat klaimnya dengan membangun pangkalan
militer yang dilengkapi landasan pacu dan fasilitas pelabuhan di
dangkalan kecil dan karang-karang yang ada di Laut China Selatan.
Tahun 2016 lalu, mahkamah internasional yang didukung PBB memutuskan
bahwa klaim-klaim China atas Laut China Selatan itu tidak memiliki dasar
hukum. China dengan tegas menolak putusan tersebut.
*(rdp/rdp)*