https://news.detik.com/kolom/d-3530122/persekusi-dan-ancaman-kehancuran-
negara-hukum?_ga=2.101097793.1184296886.1497417416-1393427837.1497417416
Rabu 14 Juni 2017, 12:00 WIB
Kolom
Persekusi dan Ancaman Kehancuran
Negara Hukum
Pangki T. Hidayat - detikNews
Share *0*
<https://news.detik.com/kolom/d-3530122/persekusi-dan-ancaman-kehancuran-negara-hukum?_ga=2.101097793.1184296886.1497417416-1393427837.1497417416#>
Tweet
<https://news.detik.com/kolom/d-3530122/persekusi-dan-ancaman-kehancuran-negara-hukum?_ga=2.101097793.1184296886.1497417416-1393427837.1497417416#>
Share *0*
<https://news.detik.com/kolom/d-3530122/persekusi-dan-ancaman-kehancuran-negara-hukum?_ga=2.101097793.1184296886.1497417416-1393427837.1497417416#>
1 komentar
<https://news.detik.com/kolom/d-3530122/persekusi-dan-ancaman-kehancuran-negara-hukum?_ga=2.101097793.1184296886.1497417416-1393427837.1497417416#>
Persekusi dan Ancaman Kehancuran Negara Hukum Pangki T. Hidayat
(Ilustrasi: Edi Wahyono/detikcom)
<https://news.detik.com/kolom/d-3530122/persekusi-dan-ancaman-kehancuran-negara-hukum?_ga=2.101097793.1184296886.1497417416-1393427837.1497417416#>
<https://news.detik.com/kolom/d-3530122/persekusi-dan-ancaman-kehancuran-negara-hukum?_ga=2.101097793.1184296886.1497417416-1393427837.1497417416#>
<https://news.detik.com/kolom/d-3530122/persekusi-dan-ancaman-kehancuran-negara-hukum?_ga=2.101097793.1184296886.1497417416-1393427837.1497417416#>
<https://news.detik.com/kolom/d-3530122/persekusi-dan-ancaman-kehancuran-negara-hukum?_ga=2.101097793.1184296886.1497417416-1393427837.1497417416#>
*Jakarta* - Kasus pemburuan sewenang-wenang terhadap seseorang atau
sejumlah orang untuk disakiti, dipersusah atau ditumpas, atau yang
dikenal dengan istilah persekusi, belakangan ini cukup menimbulkan
kekhawatiran bagi masyarakat. Tindakan yang dapat dikategorikan sebagai
pelanggaran hukum itu kini sedang mengalami tren peningkatan dari segi
kuantitas jumlah kasus.
Berdasarkan catatan Southeast Asia Freedom of Expression Network
(SAFENET), di sepanjang tahun ini saja telah terjadi sekitar 47 kasus
persekusi dengan jumlah korban mencapai 59 orang. Beberapa di antaranya
yang cukup menyita perhatian publik ialah kasus persekusi yang terjadi
pada dokter Fiera Lovita (Solok, Sumatera Barat), Putra Mario Alvian
Alexander (Jakarta) dan Raka Fadil Sulyanto (Malang).
Ironisnya, kasus persekusi yang terjadi di negara ini mayoritas hanya
berawal dari hal yang sepele, yakni sebuah pendapat yang diutarakan
melalui media sosial (medsos) saja. Kasus persekusi yang dialami dokter
Fiera Lovita misalnya, hanya bermula dari pendapatnya yang diutarakan di
/Facebook/ mengenai oknum pimpinan sebuah organisasi kemasyarakatan
(ormas) yang dianggapnya tidak tertib terkait aturan hukum di negara ini.
Setali tiga uang kasus persekusi yang dialami oleh Putra Mario Alvian
Alexander, hanya disebabkan karena pendapatnya yang (dituangkan di
/Facebook/) dianggap menghina salah satu pemimpin ormas.
*Dijamin Konstitusi*
Mafhum disadari, mengeluarkan pendapat baik secara lisan maupun tulisan
merupakan hak setiap warga negara yang telah dijamin oleh konstitusi. Di
UUD 45 misalnya, setidaknya terdapat dua pasal yang secara tegas
menjamin kebebasan berpendapat, yakni Pasal 28E ayat (3) dan Pasal 28I
ayat (1). Oleh karenanya, penghormatan terhadap setiap orang yang
mengeluarkan pendapat dan konten pendapat yang diutarakannya adalah
suatu hal yang mutlak harus dilindungi.
Bila ada pendapat yang dianggap "tidak tepat" atau berseberangan,
mestinya harus ditempuh pula upaya-upaya yang terhormat (baca: tidak
melanggar hukum). Semisal, dengan terlebih dahulu mengajukan somasi atas
pendapat yang diutarakan. Jika belum menemukan titik temu, maka bisa
dilakukan mediasi atau bahkan hingga pelaporan kepada penegak hukum
(kepolisian).
Dalam konteks kasus persekusi, baik penghormatan terhadap pihak yang
mengeluarkan pendapat, konten pendapat yang diutarakan hingga
upaya-upaya yang ditempuh untuk "meluruskan" pendapat yang dianggap
berseberangan sudah pasti diabaikan oleh para pelaku persekusi.
Dalam persekusi yang terjadi hanyalah pelbagai upaya intimidasi bahkan
hingga tindak kekerasan yang bertujuan agar target persekusi mau
mengikuti kehendak para pelaku. Misalnya, mengoreksi pendapat yang sudah
dikeluarkan atau meminta maaf kepada publik terkait pendapat tersebut.
Yang paling mengkhawatirkan dari fenomena kasus persekusi belakangan ini
adalah terjadinya proses penegakan hukum yang berdasarkan atas adanya
tekanan massa (mobokrasi). Jika itu terjadi maka akan menambah kian
carut marut penegakan hukum di negara ini.
Sudah menjadi rahasia umum bila penegakan hukum di negara ini kerap
tumpul ke atas dan hanya tajam ke bawah. Sehingga dalam kasus persekusi,
tidak mustahil para pelaku persekusi malah kemudian terbebas dari sanksi
hukum. Sementara, target persekusi yang pada hakikatnya harus dihormati,
baik figur atau konten pendapat yang diutarakan sebagaimana ketentuan
konstitusi, justru harus rela mendapat vonis hukuman akibat mobokrasi
yang terjadi.
*Harus Diantisipasi*
Meski pun terkesan sepele, kasus persekusi pada hakikatnya mempunyai
titik kulminasi yang berpotensi membawa negara pada kehancuran.
Pasalnya, melakukan tindakan persekusi berarti dapat dikatakan telah
menafikan hukum. Padahal sebagaimana ketentuan konstitusi, utamanya
dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 45, hukum adalah panglima tertinggi negara ini.
Jika kemudian sejumlah pihak tidak percaya lagi terhadap hukum di negara
ini, maka jelas sudah tidak ada lagi alat yang dapat digunakan untuk
mengatur ketertiban dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Itulah
sebabnya, terjadinya tren peningkatan kasus persekusi belakangan ini
mutlak harus segera diantisipasi oleh pemerintah agar tidak menimbulkan
efek yang lebih luas di masyarakat.
Pertama, memproses hukum setiap pelaku persekusi. Upaya ini dimaksudkan
agar memunculkan efek jera, baik bagi pelaku persekusi maupun orang lain
yang hendak melakukan tindakan serupa. Kedua, memproses hukum aktor
utama di balik kasus persekusi yang terjadi.
Biasanya sebelum terjadinya aksi persekusi, ada oknum yang bertindak
membuka dan menyebar identitas dari target persekusi. Aktor inilah yang
kemudian melakukan provokasi sehingga berujung pada terjadinya
persekusi. Maka, menjerakan aktor utama di balik kasus persekusi yang
terjadi merupakan keharusan untuk dilakukan.
Ketiga, membangun kerja sama dengan /stake/-/holder/ terkait, dalam hal
ini penyedia layanan medsos guna meningkatkan pengawasan. Faktanya,
sejumlah kasus persekusi yang terjadi bermula dari pendapat yang
dituangkan di medsos. Sehingga, apabila pengawasan ditingkatkan, maka
adanya aktor yang melakukan upaya provokasi tersebut tentu akan lebih
cepat diketahui dan bisa dicegah.
Akhirnya, pemerintah tidak boleh menganggap remeh sejumlah kasus
persekusi yang terjadi belakangan ini. Sebaliknya, pemerintah harus
segera melakukan upaya antisipasi untuk meredam potensi terjadinya kasus
tersebut. Dengan begitu, terjadinya mobokrasi yang pada gilirannya dapat
membawa negara pada kehancuran pun dapat dihindari.
*Pangki T. Hidayat* /penulis lepas dan blogger, alumnus Universitas
Negeri Yogyakarta/
*(mmu/mmu)
*