http://nasional.kompas.com/read/2017/05/20/10570421/pidato.bung.karno.jika.rukun.kita.menjadi.
kuat.
Pidato Bung Karno: Jika Rukun, Kita Menjadi
Kuat!
Kristian Erdianto
Kompas.com - 20/05/2017, 10:57 WIB
<javascript:void(0);>
<javascript:void(0);>
<javascript:void(0);>
Presiden Soekarno (kanan, berpeci)(Dok. Kompas/Song)
*JAKARTA, KOMPAS.com -* Membaca kembali pidato Presiden pertama RI
Soekarno dalam beberapa peringatan Hari Kebangkitan Bangsa, seakan masih
terasa relevan dengan situasi bangsa Indonesia saat ini.
Di tengah maraknya isu perpecahan berbau SARA (suku, agama dan ras) dan
ujaran kebencian di ruang-ruang publik, orasi kebangsaan Sang
Proklamator menjadi sebuah narasi penting yang patut disimak oleh
seluruh elemen masyarakat.
Dalam setiap pidatonya, Bung Karno selalu mengingatkan agar peringatan
Hari Kebangkitan Bangsa tidak dimaknai sebagai seremonial belaka.
Tanggal 20 Mei 1908, kata Soekarno, adalah salah satu tonggak penting
perlawanan atas penindasan yang dilakukan oleh Pemerintah Kolonial Belanda.
(baca: Bermula dari Kebangkitan Jawa Menuju Kebangkitan Nasional
<http://nasional.kompas.com/read/2017/05/20/07402171/bermula.dari.kebangkitan.jawa.menuju.kebangkitan.nasional>)
Peristiwa tersebut menjadi tonggak yang menyatukan tenaga rakyat dalam
entitas sebuah bangsa.
Saat peringatan Hari Kebangkitan Nasional di Stadion Utama Senayan,
Jakarta, 20 Mei 1964, Soekarno menyinggung soal upaya adu domba dan
pemecahbelahan sebagai senjata yang paling ampuh untuk menguasai suatu
bangsa.
Lantas dia membandingkan kondisi bangsa Indonesia saat itu dengan zaman
kerajaan Sriwijaya dan Majapahit.
(baca: Boedi Oetomo, Sang Penanda Kebangkitan Nasionalisme)
<http://nasional.kompas.com/read/2017/05/20/06142521/boedi.oetomo.sang.penanda.kebangkitan.nasionalisme>
Penduduk Nusantara yang menjadi cikal bakal bangsa Indonesia, kata
Soekarno, merasa menjadi satu bangsa yang tidak terbagi-bagi.
Bangsa Indonesia, dari pulau yang barat sampai ke pulau yang paling
timur adalah satu negara, satu bangsa yang tidak bisa dibagi-bagi.
"Tetapi kemudian imperialisme memecah belah kita, kita diadu domba satu
sama lain. Orang Jawa dibikin benci kepada orang Sumatera. Orang
Sumatera dibikin benci kepada orang Jawa. Orang Jawa dibikin benci
kepada orang Sulawesi. Orang Sulawesi dibikin benci sama orang Jawa...
Dan ini salah satu senjata yang immateriil," tutur Soekarno seperti
dikutip dari kumpulan naskah pidato berjudul 'Bung Karno: Setialah
Kepada Sumbermu'.
Pada pidato 20 Mei 1963 di alun-alun kota Bandung, Soekarno menegaskan
bahwa persatuan dan kesatuan merupakan satu-satunya cara agar bangsa
Indonesia lepas dari penghinaan serta penindasan oleh bangsa lain.
Dia mengumpamakan bangsa Indonesia sebagai sapu lidi, yang terdiri dari
beratus-ratus lidi. Jika tidak diikat, maka lidi tersebut akan tercerai
berai, tidak berguna dan mudah dipatahkan.
"Tetapi jikalau lidi-lidi itu digabungkan, diikat menjadi sapu, mana ada
manusia bisa mematahkan sapu lidi yang sudah terikat, tidak ada
saudara-saudara," kata Soekarno.
"Ingat kita kepada pepatah orang tua, rukun agawe santosa, artinya
jikalau kita bersatu, jikalau kita rukun, kita menjadi kuat!" tuturnya.
*Kesatuan sikap, program dan tindakan*
Tidak bisa dipungkiri perjuangan tokoh-tokoh pergerakan melalui berbagai
macam organisasi politik telah berperan dalam mewujudkan kemerdekaan
bangsa Indonesia.
Organisasi-organisasi politik modern mulai bermunculan sejak berdirinya
Boedi Oetomo pada 20 Mei 1908 dan terus berkembang hingga pasca-kemerdekaan.
Soekarno menyebut Boedi Oetomo merupakan awal dari satu cara baru dalam
membebaskan masyarkat dari penjajahan.
Melalui organisasi, bangsa Indonesia perlahan mulai menyadari pentingnya
rasa persatuan dan kesatuan untuk mewujudkan kemerdekaan.
"Apakah cara baru itu? Cara baru itu ialah cara mengejar sesuatu maksud
dengan alat organisasi politik, cara berjuang dengan cara perserikatan
dan perhimpunan politik—cara berjuang dengan tenaga persatuan.
Organisasi perserikatan inilah (Boedi Oetomo) jalan yang utama untuk
memenuhi ajaran rukun agawe santosa. Persatuan membuat kekuatan," ujar
Soekarno saat berpidato pada 20 Mei 1952.
Menurut Soekarno, perkembangan organisasi dan partai politik tidak perlu
dibatasi. Dia menilai demokrasi telah membangun situasi di mana setiap
orang memiliki hak untuk berserikat.
Namun, dalam pidatonya itu, Soekarno menegaskan bahwa seluruh organisasi
dan partai politik yang ada harus berlandaskan pada persatuan dan
mengutamakan kepentingan bangsa di atas kepentingan organisasi.
"Ini bukan berarti saya tak mengerti pertumbuhan partai dan organisasi
dalam alam demokrasi. Ini pun tidak berarti saya meremehkan partai dan
organisasi yang sekarang ada, sama sekali tidak," kata Sang Proklamator.
"Ini hanya berarti saya mengatakan bahwa bagi Negara haruslah primer.
Tidak mungkin partai dan organisasi kita bergerak seperti sekarang ini
kalau tidak ada Negara Republik kita!" tegasnya.
Soekarno tidak menampik demokrasi telah memberikan kemerdekaan berpikir
dan berpendapat. Akan tetapi, setiap orang pun harus bisa membatasi diri.
Baginya, demokrasi merupakan satu dasar dan jalan bagi sebuah bangsa
untuk mencapai kesejahteraan dan kemakmuran masyarakatnya.
Dengan demikian, kata Soekarno, demokrasi juga telah menciptakan ikatan
dalam melaksanakan pembangunan nasional.
"Jadi saudara-saudara kesimpulan kita ialah marilah kita benar-benar
suci bersatu, marilah kita sama-sama mengutamakan Negara, marilah kita
bekerja konstruktif dalam arti benar-benar melaksanakan pembangunan
nasional," ujar Sang Bung Besar.
<javascript:void(0);>
<javascript:void(0);>
<javascript:void(0);>
PenulisKristian Erdianto
EditorSandro Gatra
Tag:
* Kebangkitan Nasional <http://indeks.kompas.com/tag/Kebangkitan.Nasional>
Berita Terkait