-- 
j.gedearka <j.gedea...@upcmail.nl>



https://mediaindonesia.com/editorials/detail_editorials/2111-pilkada-tanpa-politik-identitas



Rabu 09 September 2020, 05:00 WIB 

Pilkada tanpa Politik Identitas 

Administrator | Editorial 

  PEMILIHAN kepala daerah (pilkada) belum pernah lepas dari praktik politik 
uang, politik identitas, penyebaran hoaks, ujaran kebencian, dan kampanye 
hitam. Kalaupun kelimanya tidak muncul sekaligus dalam satu waktu pelaksanaan 
pesta demokrasi setidaknya dua, yakni politik uang dan politik identitas selalu 
ada. Dari praktik politik identitas pula kemudian dapat terwujud hoaks, ujaran 
kebencian, dan kampanye hitam sebagai turunannya. Politik identitas bersandar 
pada SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan). Atribut-atribut itu 
sesungguhnya tidak berhubungan dengan kualitas calon pemimpin. Namun, itu 
mudahnya dipakai untuk mengaburkan pemilih dari objektivitas. Dampak paling 
ekstrem dari politik identitas ialah perpecahan di masyarakat hingga 
menimbulkan konflik-konflik sosial. Kohesi yang terbangun oleh spirit Bhinneka 
Tunggal Ika rontok hingga perlu waktu lama untuk pulih. Politik uang dan 
politik identitas tidak ubahnya mental korup dalam berdemokrasi yang sudah 
begitu mengakar sehingga sulit dikikis. Akan tetapi, bukan berarti lantas kita 
menyerah dan melakukan pembiaran. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang 
Pilkada telah mengatur larangan atas praktik politik identitas. Pasal 69 huruf 
(b) menyebut kampanye dilarang menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan 
calon gubernur dan atau juga partai politik. Pun Pasal 69 huruf (c) mengatur 
larangan untuk melakukan kampanye berupa menghasut, memfitnah, mengadu domba 
partai politik, perseorangan, dan atau juga kelompok masyarakat. Sanksi tegas 
pun diatur dalam Pasal 187 ayat (2). Setiap orang yang dengan sengaja melanggar 
ketentuan larangan pelaksanaan kampanye sebagaimana dimaksud pada Pasal 69 dan 
seterusnya dipidana dengan pidana penjara paling singkat tiga bulan atau paling 
lama 18 bulan dan atau dengan denda paling sedikit Rp600.000 atau maksimal 
Rp6.000.000. Lalu mengapa politik identitas masih tetap marak bahkan sempat 
menjadi brutal seperti pada Pilkada DKI Jakarta 2017 dan Pemilu 2019? Tentu 
pembuatan aturan saja tidak cukup. Perlu penegakan hukum untuk bisa meredam 
praktik yang mencoreng demokrasi. Sanksi jangan sampai hanya menghiasi lembaran 
peraturan hingga irit dijatuhkan. Ini semua merupakan kerja yang berkelanjutan 
dari penyelenggara pemilu dan aparat penegak hukum. Hal itu pun membutuhkan 
partisipasi masyarakat untuk ikut mengawasi sekaligus wawas diri. Pilkada 2020 
dengan pemungutan suara yang jatuh pada 9 Desember mendatang bukan hanya 
menghadapi kerawanan politik uang dan politik identitas. Pandemi covid-19 
menyeruak ke posisi paling atas kerawanan pilkada. Artinya, kerja 
penyelenggaraan dan pengawasan pilkada semakin berat. Di sisi lain, pemilih 
mendapatkan momentum memilih calon pemimpin daerah yang paling mumpuni 
menghadapi krisis semacam wabah penyakit. Para pasangan calon harus tampil 
dengan gagasan-gagasan yang inovatif, terutama untuk menangani pandemi 
covid-19. Tugas pemilih mempelajari betul rekam jejak para pasangan calon dan 
menyimak gagasan-gagasan mereka. Bukannya malah menyibukkan diri larut dalam 
hasutan berbasis SARA, dan yang lebih buruk lagi: ikut menyebarkan. Pilkada 
2020 harus bebas dari politik identitas yang dapat membahayakan persatuan dan 
kesatuan. Karena itu, tidak boleh dibiarkan penggunaan bahasa, penggunaan 
narasi, penggunaan simbol-simbol yang membahayakan persatuan dan kesatuan 
masyarakat.  

Sumber: 
https://mediaindonesia.com/editorials/detail_editorials/2111-pilkada-tanpa-politik-identitas






Kirim email ke