https://news.detik.com/kolom/d-4737818/populisme-dan-kebangkitan-demokrasi-kosong
Selasa 08 Oktober 2019, 13:10 WIB
Kolom
Populisme dan Kebangkitan "Demokrasi Kosong"
Yayan Hidayat - detikNews
<https://connect.detik.com/dashboard/public/yayan.hidayat1>
yayan hidayat <https://connect.detik.com/dashboard/public/yayan.hidayat1>
Share *0*
<https://news.detik.com/kolom/d-4737818/populisme-dan-kebangkitan-demokrasi-kosong#>
Tweet
<https://news.detik.com/kolom/d-4737818/populisme-dan-kebangkitan-demokrasi-kosong#>
Share *0*
<https://news.detik.com/kolom/d-4737818/populisme-dan-kebangkitan-demokrasi-kosong#>
0 komentar
<https://news.detik.com/kolom/d-4737818/populisme-dan-kebangkitan-demokrasi-kosong#>
Populisme dan Kebangkitan Demokrasi Kosong Aksi mahasiswa di Gedung DPR
(Foto: Grandyos Zafna)
*Jakarta* -
Belakangan demokrasi sedang tercekik secara perlahan. /The Economist/
baru saja merilis video dokumenter berjudul "H/ow bad is the crisis in
democracy?"/ yang mengulas upaya pembajakan dan pelemahan demokrasi di
dunia berlangsung secara sistemik.
Apakah demokrasi kita dalam bahaya? Itu pertanyaan yang tak pernah
terbayangkan akan terlontar.
Selama Perang Dingin, kudeta menyebabkan hampir tiga dari empat negara
mengalami kehancuran demokrasi. Demokrasi di Argentina, Brazil, Ghana,
Guatemala, Nigeria, Pakistan, Peru, Republik Dominika, Thailand, Turki.
Uruguay, dan Yunani mati dengan cara seperti itu. Kudeta militer
menggulingkan Presiden Muhammad Mursi di Mesir pada 2013 dan Perdana
Menteri Yingluck Shinawatra di Thailand pada 2014.
Di semua kasus itu, demokrasi hancur secara spektakuler melalui kekuatan
militer dan pemaksaan. Namun ada cara lain menghancurkan demokrasi.
Kurang dramatis tapi sama destruktifnya. Demokrasi bisa mati bukan di
tangan jenderal, melainkan di tangan pemimpin terpilih.
/The Economist/ mengungkapkan dua hal utama yang membuat merosotnya
kualitas demokrasi di berbagai negara. Pertama, kekecewaan masyarakat
berkaitan dengan implementasi demokrasi di negara mereka. Kedua,
terabaikannya hak asasi manusia dalam sebuah negara berpengaruh terhadap
kualitas demokrasi.
Dari 167 negara, hanya 30 negara yang benar-benar menjunjung tinggi
kebebasan berpendapat. Dikeluarkannya banyak aturan terkait pembatasan
berekspresi, bahkan ragam peraturan membuat politisi seakan menjadi
kebal hukum. Kekecewaan itu memicu gelombang demonstrasi yang hari ini
tengah berlangsung di beberapa belahan dunia.
Demonstrasi rompi kuning terjadi di Prancis, untuk menyebut puluhan ribu
warga yang turun ke jalan menentang kenaikan pajak bahan bakar, upah,
kesetaraan dan partisipasi warga dalam pemerintahan. Gerakan itu telah
mengungkap bagaimana jutaan masyarakat Prancis hidup di bawah
ketimpangan. Mereka kecewa karena keputusan Macron menghapus pajak
kesejahteraan bagi orang kaya, tak lama setelah memenangkan kursi
kepresidenan tahun lalu.
Gerakan rompi kuning tidak memiliki pemimpin dan tidak selalu sepakat
mengenai isu-isu tertentu. Meski begitu, gerakan ini meluas menjadi
politis. Pemimpin fraksi sayap kanan hingga sayap kiri memanfaatkan
gerakan ini untuk melawan Macron.
Gelombang demonstrasi pun gencar terjadi di belahan dunia bagian Asia,
dari Hong Kong hingga Indonesia. Sudah empat bulan belakangan unjuk rasa
pro-demokrasi dilakukan di Hong Kong, protes tidak menunjukkan
tanda-tanda akan berhenti. Pada mulanya gerakan ini muncul untuk
menentang rancangan undang-undang ekstradisi. RUU ini belakangan "telah
mati". Tetapi sekarang aksi telah meluas menjadi tuntutan reformasi
demokrasi.
Hal yang hampir sama terjadi di Indonesia, ribuan mahasiswa turun ke
jalan untuk menuntut pembatalan RUU Pertanahan, RKUHP, UU KPK dan UU
lainnya. Unjuk rasa merebak di sejumlah kota, pemicunya adalah cedera
janji pemerintah dan DPR. Kegairahan pemerintah dan DPR mengesahkan
ragam rancangan undang-undang yang dianggap semakin memberi ruang untuk
tindakan korupsi dan membuat politisi seakan kebal hukum. Lebih buruk,
Indonesia dilanda problem pelumpuhan deliberasi yang diidap oleh
ketertutupan proses legislasi.
Gerakan mahasiswa muncul secara organik, berlangsung tanpa pemimpin
gerakan. Meski, ragam elite menuding gerakan ini telah ditunggangi oleh
kelompok populis yang tujuan akhirnya adalah menggagalkan pelantikan
presiden dan wakil presiden terpilih.
Besarnya protes mahasiswa nyaris tidak mempunyai relasi sebab-akibat,
dan korelasi apapun dengan penunggangan oleh kekuatan politik partisan.
Aksi ini adalah sebuah kesadaran politik untuk merespons serangan
mematikan elite terhadap jalannya Reformasi.
Dari rentetan gerakan yang tengah berlangsung, menandakan bahwa /liberal
democracy/ perlahan mulai runtuh dan terjerembab ke dalam fenomena
/illiberal democracy/ atau yang biasa kita sebut dengan 'demokrasi
kosong'. Situasi dimana sistem pemerintahan tetap melaksanakan pemilu,
namun mengekang dan represif terhadap kebebasan sipil, sehingga warga
tidak mengetahui aktivitas pemegang kekuasaan yang sesungguhnya.
Dari situasi itu kita juga dapat melihat upaya kelompok populis untuk
membajak demokrasi melalui ragam gerakan sosial yang terjadi.
*Anti-Politik*
Populisme tidak pernah memperkuat demokrasi. Kerumunan itu bersuara atas
nama demokrasi, tetapi sesungguhnya tidak pernah demokratis. Populisme
adalah sebuah anti-politik dengan dua alasan. Pertama, gerakan populis
naik ke panggung politik bukan dengan argumentasi yang rasional,
melainkan dengan slogan-slogan dan alasan sentimental untuk memancing
emosi kerumunan.
Kedua, dalam populisme politik disempitkan pada figur pemimpin, sehingga
politik tidak lebih daripada gerakan yang terkait figur bersangkutan.
Politisasi sentimen yang berujung pada privatisasi politik membuat
gerakan itu berbahaya bagi pertumbuhan rasionalitas publik.
Di sini, perlu ditarik garis pembeda antara gerakan populis dan gerakan
demokratis masyarakat. Gerakan masyarakat muncul secara organik
berdasarkan inisiatif para individu sebagai warga negara, gerakan
populis digerakkan dari luar oleh pemimpin beserta para provokator aksi.
Gerakan mahasiswa di Indonesia misalnya, kelompok populis berusaha
memanipulasi substansi dan memanfaatkan gerakan ini untuk menggulingkan
pemerintahan Jokowi. Padahal, gerakan tersebut adalah sebuah kesadaran
kolektif untuk merespons pelumpuhan deliberasi dan serangan elite
terhadap jalannya reformasi di Indonesia.
Hasil jajak pendapat Lembaga Survei Indonesia (LSI) menyatakan bahwa
sebanyak 46.8 persen publik percaya bahwa dalam demonstrasi yang
berlangsung, terdapat dua kelompok yang berbeda yakni demonstrasi
mahasiswa dan demonstrasi kelompok anti Jokowi dan keduanya terpisah.
Dapat kita lihat bagaimana gerakan populis bekerja. Mereka membajak
proses demokrasi dengan mengerdilkan substansi gerakan yang hanya
terkait figur pemimpin.
Mereka meracuni ruang publik dengan manipulasi dan /resentiment/.
Memanfaatkan jejaring digital untuk terus memproduksi sentimental dan
merongrong kewibawaan demokrasi. Kondisi ini yang memicu kebangkitan
demokrasi /illiberal. /
*Meredam Populisme*
Salah satu cara untuk menyelamatkan demokrasi di belahan dunia mana pun
adalah dengan meredam potensi kemunculan gerakan populis, bukan
membungkam gerakan masyarakat. Tindakan pemerintah yang reaksioner dan
represif terhadap gerakan masyarakat justru semakin memproduksi gerakan
populis.
Pemerintah harus memperbaiki kanal-kanal komunikasi dengan
kelompok-kelompok masyarakat untuk membangun konsolidasi nasional. Ini
adalah cara untuk terus mereproduksi kekuatan politis pemerintahan
demokratis yang dapat berhasil hanya jika didukung oleh berbagai elemen
masyarakat.
Tanpa dukungan itu dan jika loyalitas kepada pemerintah melemah, gerakan
populis justru akan meraih peluang untuk mendelegitimasi pemerintah.
Akibatnya, badai sentimen yang diembuskan para populis justru akan
merongrong demokrasi dari dalam, yaitu merusak sampai ke institusi
politis dan militer, sehingga terbuka celah untuk menjatuhkan pemerintahan.
Demokrasi bisa mati di tangan pemimpin terpilih, namun patut kita akui
bahwa melalui tangan pemimpin terpilih kita dapat terselamatkan dari
ambang runtuhnya demokrasi.
*Yayan Hidayat* /Pengurus Besar Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN)
/
*(mmu/mmu)*
*
*
*
*
*
*
*
*
*
*