https://mediaindonesia.com/read/detail/236505-pragmatisme-pendidikan


 /*Pragmatisme Pendidikan*/

Penulis: *Dedy Ibmar Pegiat Kajian Logika dan Filsafat Pojok Inspirasi Ushuluddin (Piush) UIN Jakarta * Pada: Senin, 20 Mei 2019, 02:10 WIB Opini <https://mediaindonesia.com/opini> <https://www.facebook.com/share.php?u=https://mediaindonesia.com/read/detail/236505-pragmatisme-pendidikan>  <https://twitter.com/home/?status=Pragmatisme Pendidikan https://mediaindonesia.com/read/detail/236505-pragmatisme-pendidikan via @mediaindonesia>

Pragmatisme Pendidikan <https://disk.mediaindonesia.com/thumbs/1200x-/news/2019/05/90779d32dc1dc25f869643579fab6cba.jpg>

/MI/Seno/
Ilustrasi Opini

MENGAPA setiap manusia saat ini seolah-olah menjadikan pendidikan sebagai jalan keluar bagi segala hal? Bagi keluarga dengan perekonomian mapan, pendidikan dapat menjadi ajang untuk meningkatkan status dan reputasi keluarga. Dengan catatan, sang anak benar-benar mendapat pekerjaan dengan status yang tinggi di masyarakat.

Sementara itu, bagi keluarga dengan ekonomi menengah ke bawah, pendidikan merupakan salah satu jalan paling memungkinkan untuk keluar dari kemiskinan. Dengan pendidikan, anak dapat memiliki cukup pengetahuan untuk beradaptasi pada sistem mapan yang sedang berkuasa lantas menanggalkan status kemiskinannya.

Paradigma dan stereotip pragmatis akan kebutuhan pendidikan ini, tentu berdampak pada reduksi proses belajar yang akhirnya juga terjebak dalam kepentingan pragmatis. Belajar, kini lebih tepat menjadi sebuah kata suruhan, bukan ajakan. Kita akan lebih sering mendengar 'belajar!' dan 'ayo belajar!' justru dengan nada tinggi. Bisa dibayangkan apabila kata 'main' yang diberi imbuhan 'ber' menjadi ungkapan suruhan dan dengan tanda seru, 'Bermain!', barangkali akan ada banyak anak yang tidak mau bermain. Sederhananya belajar bukan lagi suatu hal yang menyenangkan, melainkan terlalu 'berkepentingan'.

*Pendidikan yang pragmatis*

Saat ini universitas hanya kamuflase menjaring kelas pekerja. Mahasiswa berpredikat summa cum laude dari fakultas eksak sekalipun, kadang bernasib lebih tragis ketimbang rekan seangkatan mereka, yang indeks prestasinya di bawah angka dua. Terdapat banyak kasus yang mana sebagian mahasiswa cerdas jenius itu mati bunuh diri. Putus asa dengan dirinya yang jadi anomali di masyarakat. Bahkan, sudah jadi pemahaman umum, banyak sarjana tak tahu cara menerapkan ilmunya dalam kehidupan. Mereka kehilangan arah sedari dalam diri sendiri.

Sementara itu, anak-anak didik berperangai tak lazim, bisa serta-merta didepak dari sekolah lantaran dianggap mengganggu ketenangan belajar. Hanya segelintir pesantren yang masih mau menerima santri paling nakal, onar, dan banyak polah, lantas mengarahkan bakat mereka sedemikian rupa.

Sekolah atau kampus yang gagal mengerti keunikan potensi manusia, baru menyadari kesalahannya beberapa tahun kemudian, pascamenjatuhkan keputusan sepihak pada anak-anak jenius yang luar biasa sulit dikendalikan. Gus Dur, Steve Jobs, dan Mark Zuckerberg ialah para teladan terbaik dalam anekdot ini.

Muaranya jelas, kita terlalu pragmatis memandang pendidikan hingga esensi pendidikan itu habis terkuras. Yang tersisa hanyalah formalitas normatif. Padahal, pada sistem masyarakat liberal-kapitalis, struktur sosial dan kultur pendidikan sangat jelas disusun sedemikian rupa agar tetap menjaga keberlangsungan produksi. Kita dipersepsi sedemikian rupa agar selalu menganggap pendidikan sebagai satu-satunya harapan untuk dapat keluar dari kemiskinan. Karena itu, pendidikan yang dinilai dapat mendulang kekayaan modal ekonomi dengan mudah, laris manis menjadi pilihan. Akhirnya, kita bagaikan tak diberi pilihan lain selain menjadi alat produksi, pekerja yang bahkan hampir serupa robot.

*Pragmatisme semu*

Tentu saja, pendidikan atas kepentingan pragmatis, dalam beberapa sudut pandang tak melulu harus salah. Pertanyaannya, benarkah pendidikan benar-benar memberi dampak pragmatis ekonomi? Sayangnya tak selalu demikian, justru cenderung lebih banyak sebaliknya. Pola pendidikan di Indonesia hanya selesai di atas kertas, tidak benar-benar memberi efek ekonomi. Salah satu buktinya ialah Indonesia masih saja kesulitan mengejar industrialisasi sumber daya alam, bahkan hingga sekarang.

Hampir seluruh sektor industri, seperti industri elektronik, otomotif, pertahanan (alutsista dan senjata), konstruksi, alat rumah tangga, hingga barang kemasan, bahan bakunya berasal dari sumber daya alam (mineral logam). Indonesia punya bahan baku, meski bukan yang terbesar, cukup diperhitungkan. Hanya, pemanfaatannya masih lemah. Mineral mentah diekspor dan kemudian kembali impor 'produk jadi'.

Upaya mengolah mineral di dalam negeri terus ditempuh. Lembaga penelitian negara, seperti LIPI, Batan, dan Tekmira banyak berhasil menemukan cara pemrosesan mineral menjadi produk yang memiliki nilai tambah. Penelitian ternyata sukses membuktikan teknologi tertentu dapat diaplikasikan. Namun sayang, aktualisasinya tak kunjung datang.

Masih jauh panggang dari api, merupakan kalimat yang pantas disematkan pada program hilirisasi produk hasil penelitian dari lembaga penelitian hingga berbagai perguruan tinggi di Indonesia. Bukan hanya pada bidang mineral, bidang-bidang lain pun ikut wabah yang sama. Hingga saat ini masih sangat sedikit jumlahnya dan bahkan tidak terlihat produk hilir hasil penelitian dan rekayasa perguruan tinggi dan lembaga penelitian dimanfaatkan di industri dan masyarakat.

Hal itu dapat dilihat dari rendahnya indeks daya saing yang dirilis World Economic Forum (WEF) dalam The Global Competitiveness Report akhir 2018 yang menyebutkan bahwa posisi daya saing Indonesia hanya berada di peringkat 45. Sementara itu, Singapura berada di peringkat pertama, Malaysia ke-25, dan Thailand ke-38. Hal itu menegaskan bahwa di level ASEAN pun kita harus bekerja keras mengatasi ketertinggalan.

Dengan demikian, pendidikan dalam hal ini penelitian, jelas hanya sampai pada pembuktian teknologi, tanpa adanya lanjutan ke aspek pragmatis komersial, sulit diproduksi secara massal. Artinya, pendidikan kita sesungguhnya hanya menerapkan kepentingan pragmatis yang semu, tanggung, bahkan utopis.

*Penyucian diri*

Berapa banyak guru yang berani 'mengajak' muridnya berpikir dengan melempar suatu pertanyaan tentang hal baru yang belum diketahui dan yang tidak ada di buku cetak? Pun bila ada, seberapa besar persentase murid yang mau menanggapi dan menganggap serius pertanyaan yang diajukan?

Berapa banyak murid, mati-matian belajar bahasa Inggris hanya untuk lolos TOEFL yang ia anggap pengorbanan supaya nantinya, 'bisa dapat kerja'? Berapa banyak murid yang pandai sekali belajar IPA sekadar karena ada anggapan, 'supaya cari universitasnya gampang'. Fenomena itu menggambarkan suatu kutipan, "i studied but i didn't learn anything."

Akhirnya, menuntut ilmu memang memerlukan semacam pembersihan diri. Penyingkiran berbagai macam distraksi, segala hal yang mengakibatkan ikhtiar kita menjadi tidak fokus. Memang sejatinya pendidikan menghendaki 'kemabukkan' yang menyenangkan. Bertukar banyak hal tanpa takut dicap bodoh, tak dapat pekerjaan, dan menjadi miskin jadi cita-cita yang sudah sepatutnya kita perjuangkan.

Pendidikan ialah harapan, perjuangan, dan perlawanan pada ketidaktahuan kita akan kondisi nyata kehidupan. Belajar itu menembus batas. Bahkan, tak berhenti sampai liang lahat. Pada puncak pencapaian itu, kita akan mengerti untuk apa semua ini diadakan Tuhan.

<https://www.facebook.com/share.php?u=https://mediaindonesia.com/read/detail/236505-pragmatisme-pendidikan>  <https://twitter.com/home/?status=Pragmatisme Pendidikan https://mediaindonesia.com/read/detail/236505-pragmatisme-pendidikan via @mediaindonesia>

*TAGS:*#Opini <https://mediaindonesia.com/tag/detail/opini>







Kirim email ke