Mengapa kubu pengpeng menggunakan kata "Demokrasi Kebablasan"? Dengan
menyebutkan Demokrasi Oligarki, kan arahnya punya arti senjata makan
tuan donk. 
Tabik bung Jokowi. Hihihi. 



Am Wed, 1 Mar 2017
12:26:49 +0800 schrieb "'Chan CT' sa...@netvigator.com [nasional-list]"
<nasional-l...@yahoogroups.com>:

> From: B.DORPI P. 
> Sent: Wednesday, March 1, 2017 6:44 AM
> 
> http://indoprogress.com/2017/02/demokrasi-oligarki-bukan-demokrasi-kebablasan/
> 
> 
> 27 February 2017  
> Harian IndoPROGRESS
> Demokrasi Oligarki! Bukan Demokrasi Kebablasan
> Haris Samsuddin  
> 
> 
> 
> BARU-baru ini, Presiden Joko Widodo mengatakan bahwa “demokrasi kita
> sudah terlalu kebablasan”. Selanjutnya Jokowi mengatakan, “praktik
> penyimpangan demokrasi politik telah membuka peluang terjadinya
> artikulasi politik yang ekstrim seperti liberalisme, radikalisme,
> fundamentalisme, sektarianisme, terorisme serta ajaran lain yang
> bertentangan dengan ideologi Pancasila. Penyimpangan praktik
> demokrasi, Jokowi memisalkan adanya politisasi suku, agama, dan ras”.
> Di samping isinya yang kontradiktif, saya berpendapat pernyataan
> Jokowi ini agak terburu-buru dan karena itu perlu dikritisi.
> Sebaliknya, menurut saya bukan “demokrasi kita telah kebablasan”,
> tetapi “demokrasi kita telah terpenjara oleh oligarki”. Sehingga,
> praktik penyimpangan demokrasi yang dikeluhkan Jokowi itu, bukan
> disebabkan oleh demokrasi itu sendiri melainkan oleh oligarki yang
> menunggangi sistem demokrasi tersebut. Dengan demikian, kita perlu
> mengetahui apa itu “Demokrasi Oligarki”.
> 
> Demokrasi oligarki merupakan istilah yang digunakan oleh Yuki Fukuoka
> (2013),[1] yang merujuk pada suatu tatanan demokrasi di mana
> pertarungan politik didominasi oleh koalisi kepentingan yang
> predatoris serta mendorong peminggiran kekuatan masyarakat sipil.
> Gagalnya konsolidasi demokrasi pasca runtuhnya rejim otoritarianisme
> Soeharto membawa implikasi negatif bagi iklim demokrasi di era
> reformasi. Kebanyakan masyarakat terjebak pada eforia reformasi yang
> membuat mereka lupa bahwa runtuhnya Orde Baru tidak disertai
> melenyapnya kekuatan oligarki yang dibesarkan oleh rezim Soeharto.[2]
> Justru, kekuatan oligarki yang semula bersenggama dengan rezim
> Soeharto kembali mengonsolidasi diri (beradaptasi) dengan rezim
> reformasi yang jauh lebih menguntungkannya.
> 
> Kenyataan bahwa Indonesia pasca tumbangnya Orde Baru kembali dikuasai
> oleh para oligark telah berulang kali dinyatakan, terutama oleh Vedi
> R. Hadiz. Ia dengan sangat jelas dan tegas mengatakan bahwa
> “keuntungan terbesar bagi para konglomerat barangkali adalah bahwa
> proses reformasi terjadi di dalam aparatur negara yang masih
> didominasi oleh hubungan-hubungan kekuasaan predatoris serta berbagai
> tokoh yang sama yang pernah mendominasi rezim lama”.[3] Upaya
> pembacaan yang dilakukan Hadiz di atas bisa saja berbeda menurut
> masing-masing penafsir. Namun, satu hal pasti, bahwa kenyataan rezim
> politik hari ini benar-benar ada di bawah kuasa para oligark sulit
> dinafikan. Oligarki sendiri sebagai suatu aliansi cair yang
> menghubungkan kepentingan para konglomerat kaya raya selalu lihai
> dalam beradaptasi dengan sistem apapun, baik otoratirianisme maupun
> demokrasi.
> 
> Coba amati, kebanyakan penguasa yang kini menempati posisi strategis
> di berbagai institusi publik hingga partai politik rata-rata adalah
> petarung lama. Tidak ada yang baru sama sekali. Para pimpinan (elite)
> partai, penguasa media mainstream, para pejabat pemerintahan yang
> berada di jajaran kabinet Jokowi, sampai pada seluruh jabatan
> strategis lainnya di dalam birokrasi pemerintahan saat ini hanyalah
> sirkulasi elit-elit lama yang selalu berotasi di dalam lingkar
> kekuasaan oligarki. Para oligark di atas, termasuk orang-orang yang
> pernah diistimewakan di rezim kepemimpinan Soeharto melalui relasi
> patron-client. Hubungan kekuasaan lama yang penuh muslihat dan tipu
> daya semasa Orde Baru, belakangan setelah runtuhnya “Soeharto”,
> tampil sebagai pejuang demokrasi berkedok populis. Inilah wajah
> anomali demokrasi pasca otoritarianisme Soeharto. Kebanyakan orang
> tertipu dengan politik pencitraan yang terus dipolesi oleh media,
> yang juga notabene adalah milik mereka (baca: oligark).
> 
> Dominasi oligarki dalam ranah politik Indonesia terjadi karena
> kenaifan asumsi reformasi institusional neoliberal yang percaya akan
> primasi pengelolaan institusi rasional. Kenaifan ini mengabaikan
> keberadaan relasi ekonomi politik oligarki yang menyejarah. Kemampuan
> oligarki untuk menaklukkan kekuasaan negara serta melakukan
> disorganisasi atas kekuatan oposisi masyarakat sipil, membuat proses
> reformasi institusional neoliberal tidak memiliki basis sosial dan
> politik yang kuat. Hal inilah yang kemudian menyebabkan oligarki
> dapat mempertahankan dominasi politiknya, yang dengannya merepresi
> kemungkinan bagi munculnya agensi politik non-oligarki.[4]
> 
> Harus disadari bahwa reformasi politik yang beriringan dengan
> reformasi ekonomi pasca Orde Baru, tidak sama sekali menghancurkan
> relasi oligarki ini. Kenyataan bahwa lemahnya kekuatan civil society
> belakangan ini dalam membendung gurita oligarki semakin membuktikan
> tesis Richard Robison dan Vedi R Hadiz bahwa penguasaan atas politik
> negara sekaligus disertai disorganisasi kekuatan oposisional yang
> tercakup dalam elemen masyarakat sipil menjadi dasar historis bagi
> dominasi oligarki terhadap kekuatan politik non-oligarki. Hal ini
> sekaligus membuktikan bahwa perseteruan politik di era reformasi
> kembali meneguhkan posisi elit lama.[5]
> 
> Jeffrey Winters, salah seorang penggagas tesis oligarki terkemuka
> lewat bukunya Oligarchy (2011), mengemukakan bahwa pembacaan terhadap
> dinamika kekuasaan politik harus didasarkan pada konsentrasi sumber
> daya kekuasaan yang dimiliki setiap oligark. Tulisnya, “oligark
> didefinisikan oleh tipe dan ukuran sumber daya kekuasaan yang
> dikendalikannya”.[6] Winters membagi sumber daya kekuasaan mencakup
> hak politik formal, jabatan resmi (baik di dalam maupun di luar
> pemerintahan), kuasa pemaksaan (coercive power), kekuatan mobilisasi
> (mobilizational power), dan kekuasaan material (material power).
> Khusus untuk sumber daya kekuasaan yang terakhir (kekuasaan material)
> merupakan basis kekuasaan oligark.
> 
> Oligark adalah aktor yang diberdayakan oleh kekayaan (sumber daya
> paling menonjol di antara bentuk-bentuk kekuasaan lainnya).[7]
> Oligark berbeda dengan kaum elit pada umumnya yang cenderung
> menggunakan kekuasaan non-material. Oligark lebih cenderung
> menggunakan basis sumber daya material dalam melangsungkan manuver
> politiknya. Dalam konteks demokrasi, kaum oligark memanfaatkan
> situasi ketimpangan sumber daya material sebagai peluang memenangkan
> konstestasi politik (pemilu/pemilukada). Mahalnya biaya politik
> ditambah mentradisinya politik transaksional belakangan ini semakin
> mempermudah para oligark dalam menggeser rival politiknya yang tidak
> memiliki basis material yang memadai.
> 
> Hemat saya, tesis oligarki Winters yang melihat kondisi
> ketidaksetaraan kekayaan yang ekstrem antar-warga senantiasa mengarah
> pada ketidaksetaraan politik yang juga ekstrem menemukan relevansinya
> di Indonesia saat ini. Hal ini terbukti di mana momentum
> pemilu/pemilukada tereduksi semata-mata sebagai ajang pertarungan
> kepentingan para oligark, bukan urusan menyeleksi wakil rakyat yang
> kompeten dan berintegritas secara fair dan demokratis. Dalam
> demokrasi oligarki, rakyat (voters) tidak memilih apa yang mereka
> kehendaki, melainkan telah dipilihkan oleh segelintir elit kekuasaan
> yang memegang peran dominatif di dalam institusi demokrasi.
> 
> Bagaimana dikatakan pilihan rakyat, jika calon pemimpin/penguasa baik
> di pusat maupun di daerah, melewati suatu saringan politik di
> internal partai (kecuali calon independen) yang sarat dengan
> kalkulasi kapital tanpa melalui usulan publik (rakyat) dianggap
> pilihan rakyat? Nalar sehat macam apa yang melihat fakta politik
> demikian sebagai logika publik yang mengafirmasi diri dalam bentuk
> pilihan rasional? Bukankah itu yang selama ini kita sebut kegilaan di
> atas kegilaan? Alias ketidakwarasan yang cenderung diafirmasi secara
> terus-menerus tanpa refleksi.
> 
> 
> 
> Penutup 
> 
> Kembali ke penyataan Jokowi, sudah jelas bahwa jika Jokowi
> menghendaki demokrasi berjalan sebagaimana esensinya, yakni sebagai
> kekuasaan rakyat, maka ia harus mengambil langkah-langkah politik dan
> ekonomi untuk membendung atau membonsai kekuasaan oligarki yang
> mendominasi lapangan permainan politik saat ini.
> 
> Jokowi dan para penasehatnya harus ingat bahwa “politisasi suku,
> agama, dan ras”, yang disebutnya sebagai “penyakit demokrasi”
> bukanlah hal yang baru muncul sekarang ini. Ia sudah bertunas dan
> berkecambah sejak 10 tahun kepemimpinan presiden Susilo Bambang
> Yudhoyono dan memuncak pada masa Pilpres 2014 lalu. Penyakit ini
> semakin berbiak karena tidak ada langkah-langkah politik dan ekonomi
> yang strategis untuk membendungnya.
> 
> Bagi gerakan sosial, mandegnya agenda demokratisasi, selain karena
> cengkeraman oligarki yang terus bertahan, juga menandakan betapa
> lemahnya konsolidasi kekuatan civil society. Adalah naif belaka untuk
> mengharapkan Jokowi mau membonsai kekuatan oligarki. Dialektika
> hubungan kekuasaan seperti inilah yang mesti kita sadari dan jabarkan
> dalam lapangan politik yang konkret dan terukur capaiannya. Dengan
> demikian, kita memang perlu mengkritisi dan menentang langkah-langkah
> politik-ekonomi Jokowi yang pro oligarki, yang tidak memiliki
> imajinasi politik di luar kenyataan ekonomi-politik warisan rezim
> Orde Baru ini. Tetapi kita juga harus jujur sejujur-jujurnya bahwa
> kita tidak cukup serius membangun gerakan sosial-politik yang
> terorganisasi secara ideologi, politik dan organisasi untuk melawan
> demokrasi oligarki ini.***
> 
> 
> 
> Penulis adalah Anggota Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya
> Alam (FNKSDA) Malang dan Peneliti di Intrans Institute
> 
> 
> 
> ————-
> 
> [1] Yuki Fukuoka, “Oligarchy and Democracy in Post-Soeharto”,
> Political Studies Review II, no. I, 2013: 52-64.
> 
> [2] Terkait pembiakan para kapitalis domestik yang kemudian tumbuh
> bersama dengan koalisi kepentingan ekonomi politik di era Orde Baru
> dapat dilihat melalui karya Richard Robison, Soeharto & Bangkitnya
> Kapitalisme Indonesia, ditejemahkan oleh Harsutejo dari judul asli
> Indonesia: The Rise of Capital, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2102).
> Lingkar konglomerat domestik yang dibesarkan dari hasil persenggamaan
> kekuasaan otoriter Soeharto inilah yang di kemudian hari setelah
> runtuhnya Soeharto mengambil alih kekuasaan baik di tingkat nasional
> maupun lokal dan membentuk lingkaran kekuasaan oligarkis.
> 
> [3] Vedi R Hadiz, Dinamika Kekuasaan: Ekonomi Politik Indonesia
> Pasca-Soeharto. Diterjemahkan oleh A Zaim Rofiqi dan Dahris Setiawan,
> (Jakarta: LP3ES, 2005), 149-150.
> 
> [4] Muhammad Ridha, “Oligarki dan Agensi Politik Indonesia di Era
> Neoliberal: Evaluasi Kritis Tesis Oligarki Robison-Hadiz”, Jurnal
> Indoprogress, no. 6, vol. II, 2016, 9.
> 
> [5] Richard Robison dan Vedi R Hadiz, Reorganising Power in
> Indonesia: The Politics of Oligarchy in an Age of Markets, (London:
> Routledge Curzon, 2004).
> 
> [6] Jeffrey Winters, Oligarki. Diterjemahkan oleh Zia Anshor,
> (Jakarta: PT Gramedia, 2011), 17.
> 
> [7] Jefrey A Winters, “Oligarki dan Demokrasi di Indonesia”, Majalah
> Prisma, no. 1, vol. 33, 2014, 14.
> 
> 
> 
> 
> 
> 
> 
> 

Kirim email ke