Solusi yang diberikan "menggunakan akal dan nalar dalam menafsirkan teks-teks 
keagamaan tersebut, sesuai dengan konteks zaman dan waktu" walaupun bagus 
tetapi menjadi tidak mungkin dengan adanya UU Penodaan Agama, pada saat 
seseorang menyatakan pemikirannya didepan umum orang tsb menjadi vulnerable dan 
dengan gampang jadi tersangka/terdakwa penodaan agama. UU Penodaan Agama itu 
harus dicabut, UU itu pada kenyataanya menjadi legalitas sikap2 intoleransi dan 
radikalisme.
---Demikian juga survei nasional yang dilakukan Pusat Pengkajian Islam dan 
Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menemukan fakta mengejutkan. 
Bahwa, dari 2.181 responden, 37,71% di antaranya setuju bahwa jihad adalah 
berarti perang (qital) dan membunuh orang lain, 23,35% membenarkan tindakan bom 
bunuh diri sebagai salah satu bentuk jihad, serta 33,34% mengaku tidak masalah 
jika ada tindakan intoleran terhadap kelompok minoritas (PPIM, 2017).
....Moderasi beragama menjadi sangat penting karena misi utamanya adalah 
mencari jalan tengah (tawassuth) agar teks-teks agama, baik dalam tradisi 
Islam, Kristen, Hindu, Buddha, dan lainnya tetap menjadi rujukan seseorang 
dalam menjalani kehidupan sosial keagamaannya, tapi di sisi lain juga tetap 
menggunakan akal dan nalar dalam menafsirkan teks-teks keagamaan tersebut, 
sesuai dengan konteks zaman dan waktu.


---In GELORA45@yahoogroups.com, <j.gedearka@...> wrote :





https://news.detik.com/kolom/d-4019970/bara-dalam-sekam?

_ga=2.202645843.394764072.1526324644-595836727.1526324644

Senin 14 Mei 2018, 16:38 WIB
Kolom

Bara dalam Sekam
Oman Fathurahman - detikNewsOman Fathurahman Share 0  Tweet  Share 0  2 
komentarIlustrasi: Instagram   Jakarta - Teror bom kembali terjadi di 
Indonesia. Kali ini bom bunuh diri menyasar rumah-rumah ibadah umat Kristiani 
di Surabaya (13/5) yang menewaskan setidaknya 13 orang, dan puluhan lainnya 
luka. Tragisnya, tindakan teror bom atas nama agama ini melibatkan satu 
keluarga yang terdiri dari ayah, istri, dan keempat putra-putrinya.

Investigasi awal aparat Kepolisian mengkonfirmasi bahwa sang ayah, Dita 
Fukrianto, adalah Ketua Jemaah Ansharud Daulah (JAD) yang bersama keluarganya 
baru kembali dari Suriah setelah bergabung dengan Negara Islam Irak dan Suriah 
(ISIS). Beberapa hari sebelumnya, napi aktivis JAD juga terlibat kerusuhan di 
Rutan Mako Brimob yang menewaskan 5 anggota Polisi.

Belum selesai kita menangis untuk Surabaya, bom kembali meledak 'sebelum 
waktunya' di Rusunawa Sidoarjo malam harinya.

Menyikapi tindakan-tindakan teror seperti ini, para elite negara dan tokoh 
agama sering menyampaikan ungkapan: "Terorisme sama sekali tidak ada 
hubungannya dengan ajaran agama apa pun. Kalau mengatasnamakan agama, 
sebenarnya agama hanya digunakan untuk kepentingan-kepentingan tertentu." 
Benarkah demikian?

Intoleran

Kita semua sepakat bahwa secara normatif terorisme bukanlah bagian dari ajaran 
agama apa pun. Titik! Tapi, secara empirik fakta di lapangan mengkonfirmasi 
bahwa aksi-aksi teror dan bom bunuh diri sering terkait dengan jenis pemahaman 
dan tafsir ajaran agama yang intoleran, radikal, dan ekstrem.

Alih-alih menyelesaikan masalah, menyangkal aksi teror sebagai tidak ada 
kaitannya sama sekali dengan (tafsir) agama ibarat menyimpan bara dalam sekam.. 
Kita akan baru tahu benar-benar ada kejahatan yang merusak saat sang bara 
keluar dari lubangnya.

Selain akibat adanya pemahaman keliru atas teks-teks normatif keagamaan, 
aksi-aksi teror atas nama agama juga masih terus terjadi karena sebagian kita 
masih suka 'excuse' atas nama 'konspirasi politik', dan bersikap permisif atas 
perilaku intoleransi beragama.

Saat sejumlah lembaga riset merilis hasil survei dan penelitian beberapa waktu 
lalu tentang cukup tingginya intoleransi beragama dan radikalisme di kalangan 
muslim Indonesia, tidak sedikit komentar miring yang menganggap bahwa survei 
semacam itu bertujuan untuk memojokkan kelompok agama tertentu, dan 
berseberangan dengan fakta bahwa mayoritas muslim Indonesia bersikap moderat.

Survei yang dilakukan oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI) bersama UN Women dan 
Wahid Foundation (2017) misalnya, mengingatkan bahwa dari 1.500 responden 
sebanyak 57,1% di antaranya bersikap intoleran terhadap kelompok-kelompok lain 
yang tidak disukai, termasuk di dalamnya umat Yahudi, Kristen, Ateis, Cina, 
Wahabi, Katolik, dan Buddha.

Demikian juga survei nasional yang dilakukan Pusat Pengkajian Islam dan 
Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menemukan fakta mengejutkan. 
Bahwa, dari 2.181 responden, 37,71% di antaranya setuju bahwa jihad adalah 
berarti perang (qital) dan membunuh orang lain, 23,35% membenarkan tindakan bom 
bunuh diri sebagai salah satu bentuk jihad, serta 33,34% mengaku tidak masalah 
jika ada tindakan intoleran terhadap kelompok minoritas (PPIM, 2017).

Ini lebih dari cukup untuk menjelaskan bahwa kita memang punya pekerjaan rumah 
yang belum selesai terkait dengan sosialisasi pentingnya moderasi beragama yang 
kini giat dikumandangkan oleh Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin..

Moderasi beragama menjadi sangat penting karena misi utamanya adalah mencari 
jalan tengah (tawassuth) agar teks-teks agama, baik dalam tradisi Islam, 
Kristen, Hindu, Buddha, dan lainnya tetap menjadi rujukan seseorang dalam 
menjalani kehidupan sosial keagamaannya, tapi di sisi lain juga tetap 
menggunakan akal dan nalar dalam menafsirkan teks-teks keagamaan tersebut, 
sesuai dengan konteks zaman dan waktu.

Saya sendiri lebih ingin melihat survei-survei semacam itu sebagai peringatan 
dini atas adanya potensi intoleransi keagamaan dan radikalisme yang dapat 
merusak sendi-sendi kebinekaan, kesatuan, dan demokrasi kita. Tapi, kita juga 
harus adil melihat bahwa intoleransi dan radikalisme niscaya ada dalam semua 
tradisi agama, bukan hanya Islam, jadi survei yang dilakukan seyogianya juga 
mencakup umat beragama lain.

Sikap Kita

Tagar #PrayForSurabaya, #BersatuLawanTerorisme, dan #KamiTidakTakutTeroris di 
linimasa media sosial sudah cukup menggambarkan kemarahan dan keprihatinan kita 
semua dalam sepekan ini atas tindakan biadab, jahat, dan destruktif yang 
dilakukan oleh pelaku teror sejak di Rutan Mako Brimob, Gereja Surabaya, hingga 
Rusunawa Sidoarjo.

Tapi, marah dan prihatin saja jelas tidak cukup. Kita perlu memiliki sistem 
peringatan dini yang efektif untuk mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan 
terjadinya lagi teror-teror yang menjijikkan itu. Sistem peringatan dini ini 
dapat berupa perangkat keras seperti Undang-undang Antiterorisme, maupun 
perangkat lunak seperti program deradikalisasi yang lebih menyeluruh, 
terintegrasi antarlembaga, serta menyentuh sisi-sisi kemanusiaan mereka yang 
telanjur terdampak paham radikal.

Kita perlu bersama-sama mendesak lebih keras lagi agar DPR segera mengesahkan 
revisi Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana 
Terorisme yang sudah lebih dari satu tahun tak kunjung selesai. Para anggota 
dewan yang terhormat tidak sepatutnya menjadikan revisi UU Antiterorisme ini 
sebagai alat tarik ukur kepentingan politik sesaat; juga tidak perlu berpikir 
bahwa undang-undang ini akan memojokkan kelompok agama tertentu, karena yang 
sedang kita perangi adalah kejahatan kemanusiaan, sama sekali bukan kejahatan 
keagamaan!

Dan, yang tidak kurang pentingnya, kita perlu menjadikan momentum ini untuk 
kembali merajut kebersamaan kita yang sempat terkoyak akibat perbedaan pilihan 
politik. Dalam salah satu cuitan di akun Twitter kemarin, saya berpesan: "Mari 
tidak nyinyir sejenak. Segenap rakyat Indonesia perlu bersatu padu bersama-sama 
melawan ideologi teroris, terlepas dari partainya apa, dan ideologi 
keagamaannya apa."

Jangan biarkan bara menjadi api! 

Oman Fathurahman Guru Besar Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam 
Negeri (UIN) Jakarta


(mmu/mmu)














Kirim email ke