Saksi Ahli Pemerintah Disindir Hakim

HUKUM  SELASA, 16 MEI 2017 , 16:20:00 WIB | LAPORAN: TANGGUH SIPRIA RIANG
| 2SHARES |  |

Foto: RMOLRMOL. Pemerintah punya alasan khusus tetap owel untuk memberikan 
ganti rugi kepada warga korban penggusuran.

Owel merupakan istilah bahasa jawa yang berarti keras kepala atau tidak mau 
mengalah.

"Owel bahasa Jawanya. Nikmat-nikmat tapi keberatan, gitu kan?" timpal 
Suhartoyo, salah satu hakim persidangan ke sembilan judicial review (uji 
materi) larangan pemakaian tanah di Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta Pusat, 
Selasa (16/5).

Menurut saksi ahli dari pemerintah, Nurhasan Ismail, watak negara saat ini 
sudah berubah. Apalagi, korupsi bisa menjadi ancaman bagi sejumlah instansi 
pemerintah.

Sehingga dirinya memaklumi, jika pihak Badan Pertanahan Negara (BPN), tidak 
dapat memberikan ganti rugi begitu saja kepada warga. Khususnya, warga korban 
penertiban larangan pemakaian tanah alias penggusuran.

Pertimbangannya, BPN akan menjadi target pihak Kejaksaan atau Komisi 
Pemberantasan Korupsi (KPK) jika memberikan ganti rugi lahan.

"Jadi, saya paham betul kekhawatiran teman-teman di BPN. Meskipun memberi 
kepada rakyat, tapi akan menjadi pelanggaran aturan. Kemudian bermasalah. 
Mereka khawatir jadi objek dari Jaksa atau KPK, jika memberikan fasilitas itu," 
papar Nurhasan.

Pemaparan tersebut disampaikan Nurhasan dalam menanggapi pertanyaan Suhartoyo. 
Khususnya, terkait alasan pemerintah yang tidak memberikan ganti rugi kepada 
warga.

Selain Suhartoyo, sidang tersebut juga dihadiri enam hakim lainnya. Antara 
lain, Arief hidayat selaku majelis hakim ketua, I Dewa Gede Palguna, Wahduddin 
Adams, Aswanto, Manahan MP Sitompul dan Saldi Isra.

Arief bahkan memperhatikan, jika Nurhasan kerap memberikan keterangan seolah 
dirinya berada di tengah. Antara pemerintah dan warga. Padahal, dirinya 
berstatus sebagai saksi ahli pemerintah.

"Saksi ahli Nurhasan ini, ahli pemerintah, tapi keterangannya selalu ada di 
tengah," sindir Arief.

Seperti diketahui, sidang tersebut merupakan pengujian Peraturan Pemerintah 
Pengganti Undang-undang (Perppu) No. 51 tahun 1960 tentang larangan pemakaian 
tanah tanpa ijin yang berhak atau kuasanya. Pemohon sekaligus korban dalam uji 
materi itu, merupakan aktivis senior Ignatius Sandyawan Sumardi. Pemohon 
mewakili diri sendiri sebagai korban penggusuran paksa Bukit Duri, Jakarta 
Selatan.[wid]

Kirim email ke