http://mediaindonesia.com/news/read/134147/separuh-tki-bekerja-tanpa-lewat-jalur-resmi/2017-11-28
Separuh TKI Bekerja Tanpa Lewat Jalur resmi Selasa, 28 November 2017 12:28 WIB Penulis: *Gabriela Jessica Restiana Sihite * <http://mediaindonesia.com/files/news/2017/11/tki-ilegal.jpg> <http://mediaindonesia.com/files/news/2017/11/tki-ilegal.jpg> Tenaga kerja Indonesia (TKI) ilegal tiba di Pelabuhan Tunon Taka Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara, Kamis (20/4)---ANTARA/M Rusman BANK Dunia menyatakan sebanyak 50% pekerja migran atau tenaga kerja Indonesia (TKI) bekerja di luar negeri tanpa jalur resmi (prosedural). Lebih dari separuh pekerja nonprosedural tersebut merupakan pekerja laki-laki yang bekerja ke Malaysia. Senior Economist Bank Dunia Ririn Salwa mengatakan kebanyakan pekerja tersebut memanfaatkan lokasi perbatasan Entikong untuk bekerja ke Malaysia. Mereka mayoritas bekerja di sektor konstruksi dan perkebunan. "Pekerja migran kita yang bekerja secara nonprosedural ada 50%. Padahal, bila mereka bekerja sesuai prosedural, mereka bisa maksimal memanfaatkan peluang menjadi pekerja migran," ucap Rini dalam sebuah diskusi di Jakarta, Selasa (28/11). Sebagai akibatnya, pekerja migran laki-laki di Malaysia kerap mengalami permasalahan penahanan upah, upah tidak dibayar, dan upah dibayar tidak tepat waktu. Adapun total TKI yang bekerja di luar negeri pada 2016 mencapai 9 juta orang dengan menyumbang remitensi ke negara sebesar Rp118 triliun. Dari jumlah tersebut, sebanyak 15% TKI yang bekerja tidak dengan jalur resmi mengalami peningkatan beban kerja dan 12% mengalami penganiayaan. "Itu cukup signifikan," tukas Rini. Ia pun menilai biaya yang mahal dan lambatnya prosedur yang harus dilalui menjadi alasan para pekerja migran akhirnya ke luar negeri tanpa jalur resmi. Biaya dalam mengurus dokumen secara resmi lebih mahal hingga 52% dan tahapannya rumit mencapai 22 tahapan. Selain itu, waktu untuk mengurus seluruh dokumen resmi memakan waktu 5-6 bulan lebih lama daripada yang tidak menggunakan jalur resmi. Rini mengatakan pemerintah Indonesia bisa belajar dari Filipina yang kini menjadi contoh sukses dalam memberangkatkan para pekerja migrannya. Filipina dinilai berhadil merampingkan prosedurnya sehingga tidak merumitkan para calon pekerja migran dan sudah terintegrasi dengan sistematis. "Menjadi prosedural adalah langkah kunci membuka peluang dari manfaat para pekerja migran. Pemerintah harus bisa memaksimalkan peluang tersebut," paparnya. Di samping itu, Bank Dunia juga menekankan pemerintah untuk terus meingkatkan keterampilan para calon pkerja migran. Sebab, peluang pekerja migran ke beberapa negara mitra Indonesia malah tidak dioptimalkan. Ia mencontohkan Korea Selatan yang sudah bekerja sama dengan skema G to G dan memberikan kuota bagi pekerja migran Indonesia per tahunnya. Pekerja yang diberangkatkan ke Negeri Gingseng tersebut tidak pernah sesuai kuota karena minimnya kualitas TKI. Bank Dunia juga berharap ada transparansi informasi bagi para caon pekerja migran. Para pekerja migran harus bisa mengakses informasi dengan mudah dan lengkap, sehingga mereka bisa memilih pekerjaan yang sesuai dengan keinginan dan keahlian, bukan dipilih oleh para agen. Dari catatan Bank Dunia, sebanyak 10% pekerja migran yang memiliki kontrak kerja, tetapi harus memutuskan kontrak kerjanya karena pekerjaannya ternyata tidak sesuai informasi yang diberikan. "Artinya, mereka sudah terlanjur ke luar negeri. Untuk kembali ke Tanah Air mereka sudah malu dan akhirnya mereka bekerja secara serabutan di negeri orang tanpa perlindungan dan kontrak kerja. Di sini, pemerintah harus menyelesaikan masalah efisiensi prosedural dan transparansi informasi. Itu yang terpenting," papar Rini. Di kesempatan yang sama, Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri mengakui masih banyak TKI yang bekerja di luar negeri tanpa jalur resmi. Padahal, menurut dia, TKI yang bekerja sesuai prosedur bisa lebih terlindungi secara hukum dan bisa mendapatkan manfaat ekonomi yang lebih tinggi. Hanif menyebut pihaknya sudah mulai berupaya melakukan berbagai pelatihan ke 'desa migran produktif' atau desa yang menjadi kantong TKI. "Kami juga sudah menolak negara yang ingin para TKI kita bisa multitasking dan mau menurunkan jumlah pekerja domestik. Kami sadar menangani prosedur belum cukup, tetapi harus ada pengelolaan yang profesional," imbuhnya. Sementara itu, Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI (BNP2TKI) Nusron Wahid menilai persiapan sebelum keberangkatan harus diperkuat. Informasi tentang pekerjaan, upah, dan prosedur harus transparan, sehingga para pekerja migran bisa melindungi dirinya sendiri saat bekerja di luar negeri. "Tidak bisa negara melindungi 9 juta pkerja migran seluruhnya. Lebih bagus kalau persiapan sebelumnya, terutama informasi yang harus diperkuat," pungkas Nusron. (OL-7)