https://news.detik.com/kolom/d-4690109/solusi-taktis-konflik-papua
Senin 02 September 2019, 12:50 WIB
Kolom
Solusi Taktis Konflik Papua
Trisno Yulianto - detikNews
<https://connect.detik.com/dashboard/public/pembebasansemuabangsa1>
Trisno Yulianto
<https://connect.detik.com/dashboard/public/pembebasansemuabangsa1>
Share *0*
<https://news.detik.com/kolom/d-4690109/solusi-taktis-konflik-papua#>
Tweet
<https://news.detik.com/kolom/d-4690109/solusi-taktis-konflik-papua#>
Share *0*
<https://news.detik.com/kolom/d-4690109/solusi-taktis-konflik-papua#> 0
komentar
<https://news.detik.com/kolom/d-4690109/solusi-taktis-konflik-papua#>
Solusi Taktis Konflik Papua Pendekatan keamanan di Papua perlu ditinjau
kembali (Foto: Antara)
*Jakarta* - Propaganda rasis yang dilakukan kelompok massa dari aliansi
ormas di Surabaya saat mengepung Asrama Mahasiswa Papua telah memantik
aksi protes berujung kerusuhan di beberapa kota di Papua serta Papua
Barat. Kerusuhan yang terjadi di Manokwari, Fakfak, Jayapura, dan
sebagainya menimbulkan korban jiwa dari kubu demonstran dan aparat keamanan.
Isu referendum Papua pun kembali menguat. Isu ini tak lain langkah
taktis menuju isu kemerdekaan Papua senantiasa menjadi "bara" dalam
sekam hubungan masyarakat Papua dengan pemerintah pusat. Gagasan
referendum sendiri merupakan "residu politik" dari politisasi Pepera
(Penentuan Pendapat Rakyat) pada 1969. Dimana proses politik
pengintegrasian Irian Barat ke pangkuan NKRI tidak menggunakan cara-cara
demokratis yang menghormati hak asasi masyarakat Papua.
Pepera adalah pemaksaan masuknya Papua (Irian Barat) ke Republik
Indonesia yang lebih didominasi kepentingan modal asing dan elite
kekuasaan Jakarta. Pasca-Pepera sumber daya alam Papua dikuras habis
oleh kepentingan eksploitasi modal korporasi asing semacam Freeport yang
masuk melalui regulasi UU No 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing
(PMA).
Kelompok anti-Pepera melakukan perjuangan politik melalui gerakan
politis di luar negeri melalui Organisasi Papua Merdeka dengan
memanfaatkan momentum isu pelanggaran HAM berat di Papua dan tindakan
represif-militeris pemerintah pusat terhadap masyarakat lokal/asli Papua.
Pada era Orde Baru (Orba), penggunaan pendekatan keamanan melalui
kebijakan Daerah Operasi Militer (DOM) gagal menyelesaikan resistensi
masyarakat Papua yang dimiskinkan oleh kebijakan pusat yang anti-HAM dan
mengabaikan hak sosial dasar masyarakat papua. Ratusan bahkan ribuan
korban jiwa masyarakat Papua selama DOM hampir 19 tahun menyisakan luka
perih bagi martabat masyarakat Papua.
Kebijakan politik keamanan terhadap masyarakat Papua sangat paradoks
dengan kebijakan pemerintah pusat pada era Orba yang menguras kekayaan
dan sumber daya alam papua untuk kepentingan korporasi asing. Demikian
kekuatan politis dan faksi kepentingan militer di Papua selama Orba
menjadi kekuatan-kekuatan rakus yang mengambil untung dari
tereksploitasinya sumber daya alam papua.
Masyarakat Papua sampai tahun 90-an dipaksa tunduk kepada kepentingan
Jakarta yang berwatak sentralis-otoritarian kapitalistik. Namun
masyarakat Papua dimiskinkan tanpa diberikan secuil hak mengelola sumber
daya alam yang tersisa. Masyarakat dan banyak suku di Papua yang hidup
dalam pemiskinan kolektif tanpa uluran kebijakan yang pro-rakyat.
Runtuhnya kediktatoran Orba, di bawah kepemimpinan Presiden ke-3 yakni
Abdurrahman Wahid (Gus Dur), masyarakat Papua mendapatkan "obat penawar"
luka politik yang mereka alami puluhan tahun. Gus Dur yang memahami
betul perasaan emosional masyarakat Papua dan juga tokoh aktivis HAM
yang paham betul cara menghormati hak asasi sebuah bangsa (masyarakat)
melakukan langkah "radikal" terhadap masyarakat Papua.
Nama Irian Jaya yang beraroma "kolonialistik" diganti menjadi Papua
untuk menghormati identitas kolektif masyarakat yang mengalami
kolonialisasi hampir 25 tahun. Gus Dur juga mengesahkan pembentukan
Majelis Rakyat Papua dan mempersilakan pengibaran bendera Bintang Kejora
sebagai identitas sosio-kultural masyarakat Papua. Gus Dur menginisiasi
gagasan otonomi khusus Papua dengan konsekuensi pada pemberian dana
khusus yang seharusnya digunakan untuk pembangunan Papua dan bagi
kesejahteraan masyarakat Papua.
Gus Dur adalah pemimpin yang dicintai masyarakat Papua dengan pendekatan
humanis dan partisipatifnya. Sayang sekali kebijakan Gus Dur tidak
diikuti langkah seirama para bawahannya dan juga penerus tongkat
kekuasaan. Pendekatan keamanan masih diberlakukan di Papua sampai saat
ini. Pendekatan keamanan yang memiliki paradigma bahwa masyarakat Papua
dianggap sebagai ancaman dan kekuatan politik pro-kemerdekaan dianggap
"pembangkang".
Implikasi sosiologis paradigma keamanan dan memandang "rendah" martabat
masyarakat Papua adalah; pertama, memperkuat eksistensi
kelompok-kelompok perjuangan bersenjata masyarakat Papua yang diberi
label sebagai KKB (Kelompok Kriminal Bersenjata) --meski mereka
melakukan gerakan bersenjata bukan untuk kriminal namun melawan aparatus
keamanan negara. Mereka semakin kuat dan eksis jika ditekan dengan
pendekatan keamanan.
Kedua, melanggengkan ideologi pro-kemerdekaan Papua yang diorganisasi
oleh OPM di luar negeri, dan meningkatkan militansi jaringan gerakan
masyarakat dan mahasiswa anti-Jakarta seperti jaringan KNPB dan AMP.
Ketiga, mendorong kondisi pemiskinan struktural dan kultural masyarakat
Papua, yang akhirnya menjadi pemicu ketidakpuasan atas kebijakan
pemerintah pusat.
Pemerintahan Joko Widodo yang kiranya belajar dari Gus Dur mencoba
melakukan pendekatan yang agak berbeda, yakni melakukan politik
pembangunanisme di Papua dan program-program populis yang belum
sepenuhnya diterima dan hasilnya belum dirasakan oleh masyarakat Papua.
Kebijakan BBM satu harga tidak dinikmati oleh masyarakat adat dan
masyarakat multi-suku di pedalaman Papua.
Demikian pula pembangunan jalan trans Papua tidak menyentuh aspek
kepentingan dasar masyarakat Papua, dan justru semakin mendegradasi
lingkungan dan konservasi hutan. Padahal masyarakat papua membutuhkan
pelayanan di bidang pendidikan dan kesehatan yang merupakan wujud
layanan sosial dasar yang paling dibutuhkan.
Protes dan reaksi atas politik pembangunanisme di era pemerintahan Joko
Widodo ditunjukkan kelompok-kelompok perjuangan bersenjata yang selalu
"mengganggu" prosesi pembangunan sarana dan prasarana transportasi serta
komunikasi di Papua. Kasus pembunuhan pekerja infrastruktur saat
pembangunan jembatan penghubung di Nduga yang menimbulkan korban jiwa 21
orang adalah salah satu contohnya.
Masyarakat Papua sebenarnya banyak yang mendukung kebijakan pembangunan
pemerintah pusat dan kebijakan non infrastruktur. Meskipun banyak
kekuatan politik anti-Jakarta berupaya penuh menyabotase langkah
pemajuan Papua. Mereka menolak pembangunan dan kebijakan program
pro-Papua karena memang tujuan politisnya adalah kemerdekaan Papua
--Papua dan Papua Barat harus lepas dari pangkuan NKRI.
Penguatan basis gerakan pro-kemerdekaan memang terjadi di basis kalangan
muda terpelajar Papua yang menempuh studi di berbagai kota di seluruh
Indonesia. Penguatan basis tersebut mirip dengan pengorganisasian
gerakan mahasiswa yang terpapar paham radikalisme. Mudah menancap
menjadi kesadaran ideologis melalui pendidikan politik di asrama-asrama
mahasiswa Papua. Secara politis hal itu yang wajar; yang tidak wajar
adalah upaya aparat keamanan yang selalu merepresi dan mengawasi
perilaku atau gerakan mahasiswa Papua seolah dengan pemikiran yang asing.
Untuk menyelesaikan problem Papua yang kini masyarakatnya semakin
terluka oleh propaganda rasis dari kelompok-kelompok yang sebetulnya
anti-NKRI --semacam HTI-- dibutuhkan pendekatan yang komprehensif. Bukan
hanya dengan tindakan politik keamanan dengan mengirimkan ribuan tentara
dan polisi ke Papua dengan alasan memadamkan kerusuhan sosial. Ada
beberapa langkah jangka pendek yang harusnya dilakukan oleh pemerintah
pusat.
Pertama, menegakkan hukum atas tindakan rasis terhadap masyarakat Papua,
termasuk yang dilakukan terhadap mahasiswa Papua di Surabaya beberapa
waktu lalu. Tidak cukup menghukum korlap aksi pengepungan asrama
mahasiswa yang ternyata kader parpol yang selama ini anti-pemerintah.
Namun pemerintah perlu membubarkan ormas yang selama ini selalu
mendengungkan propaganda rasis dan intoleransi.
Kedua, mengambil langkah tegas menangkap dan menghukum aktor intelektual
pencipta kerusuhan di Papua yang ditengarai berasal dari kelompok "sakit
hati politik" dan kelompok jaringan kepentingan asing. Pemerintah harus
berani mengambil langkah tegas menegakkan hukum atas provokasi dan
tindakan yang ingin memecah belah masyarakat.
Ketiga, menyelenggarakan dialog setara-partisipatif antara pemerintah
pusat dengan tokoh-tokoh dan representasi masyarakat papua untuk
menemukan strategi pemecahan masalah yang terjadi di Papua. Serta,
mengakomodasi aspirasi seluruh kelompok kepentingan yang ada di Papua.
Keempat, berkomitmen dan mengaplikasikan program penegakan HAM dan
perlindungan hak sosial dasar masyarakat Papua. Pemerintah wajib
meninggalkan paradigma politik yang menempatkan masyarakat papua sebagai
objek eksploitasi sumber daya alam.
Kelima, menurunkan tensi kebijakan militerisme dalam penanganan Papua.
Militerisme hanya akan melahirkan perlawanan bersenjata yang lebih
militan dari kelompok-kelompok yang menolak kebijakan pembangunan dan
pemberdayaan masyarakat yang gencar dilakukan oleh pemerintah pusat.
Pendekatan dalam penyelesaian Papua adalah mengambil hati masyarakat
Papua dan merumuskan resolusi yang /win-win solution/. Pemerintah pusat
wajib menjaga martabat dan kehormatan masyarakat Papua yang selama kurun
30-an tahun termarjinalisasi oleh politik keberpihakan terhadap
kepentingan modal asing.
Hargai hak sosiokultural masyarakat Papua. Papua telah berjasa
menggerakkan turbin anggaran negara melalui pajak sumber daya alam yang
dieksploitasi korporasi. Papua masyarakatnya beradab dan menghargai
entitas masyarakat yang lain. Muliakan mereka dengan program dan
kebijakan yang memiliki /sense/ pemanusiaan manusia.
*Trisno Yulianto* /pemerhati geopolitik/
*(mmu/mmu)*
*
*
*
*
*
*
*
*