res : Menjadi primitif artinya mudah dibodohkan untuk digiring seperti kambing 
di padang tandus. Bisakah dipikirkan siapa yang menarik keuntungan? hehehehehe

http://jurnalindonesia.id/sumanto-al-qurtuby-saudi-menjadi-modern-sementara-indonesia-menjadi-primitif/

Sumanto Al Qurtuby: Saudi Menjadi Modern, Indonesia Menjadi “Primitif”

 24 January 2017 

Masyarakat Islam Saudi kini telah bergeliat menuju “umat modern”, sementara 
(sebagian) kaum Muslim Indonesia justru sedang bereuforia menjadi “masyarakat 
klasik”. 

Oleh: Sumanto Al Qurtuby*

Sejak beberapa tahun terakhir mengajar di sebuah universitas riset di Arab 
Saudi, saya melihat ada perubahan sosio-kultural-keagamaan yang sangat 
fundamental di negara-kerajaan ini. Mungkin perubahan ini luput dari pengamatan 
para peneliti, sarjana, akademisi, jurnalis, maupun pembuat kebijakan publik.

“Wajah kultural” Saudi dulu dan kini sudah sangat berbeda, setidaknya di 
kawasan urban bukan di countryside atau di “daerah pedesaan”.

Dulu, ketika membicarakan hal-ikhwal yang berkaitan dengan Saudi, kita langsung 
membayangkan Afganistan di zaman Taliban. Tapi sejak dekade terakhir, banyak 
perubahan positif dan signifikan di negara yang kini dipimpin oleh Raja Salman.

Perubahan sosio-kultural itu terjadi hampir di semua sektor dan isu: 
pendidikan, ketenagakerjaan, perekonomian, perbankan, peranan perempuan, 
tata-busana, bahasa, makanan-minuman, interaksi sosial, persepsi keagamaan, dsb.

Beberapa kali saya mengadakan survei ditambah dengan wawancara dan obrolan 
dengan ratusan warga Saudi, kesimpulannya juga sama: “wajah kultural” Saudi 
sedang mengalami perubahan besar.

 
Sumanto al Qurtuby
Fenomena menarik 

Ada beberapa fenomena menarik yang bisa dijadikan sebagai alat ukur perubahan 
sosial ini. Misalnya, dulu tradisi berpakaian disini memang sangat 
“tradisional”. Yang laki-laki mengenakan jubah putih panjang (thaub) lengkap 
dengan kain penutup kepala dan kadang-kadang dilengkapi dengan pedang seperti 
penggunaan keris untuk pelengkap busana bagi orang Jawa jaman dulu. Desain 
jubah dan penutup kepala ini bermacam-macam. Masing-masing daerah dan suku di 
Saudi memilki adat dan tata-cara berbusana yang berlainan.

Tapi sekarang pemandangan ini sudah susah didapat, kecuali mungkin di 
kampung-kampung atau di daerah pinggiran yang belum terjamah oleh globalisasi 
dan modernisasi. Masyarakat laki-laki Saudi, khususnya generasi tua, sekarang 
lebih suka mengenakan “jubah nasional” ketimbang “jubah suku” mereka. Sementara 
kalangan mudanya lebih memilih pakaian kasual seperti jeans, kaos, kemeja, 
“katok-kolor” alias celana training, dsb.

Yang perempuan juga sama. Dulu, kaum perempuan Saudi, jika di area publik, 
hanya berbusana abaya hitam gelombor lengkap dengan kain penutup wajah, baik 
itu bernama niqab, burqa atau khimar. Kini, perempuan Saudi mengenakan 
bermacam-macam desain dan jenis busana.

Abaya tidak lagi melulu berwarna hitam polos tapi warna-warni (colorful), dan 
bahkan dilengkapi dengan pernak-pernik bordir yang sangat menawan. “Abaya 
bordir” yang warna-warni ini menjadi trend perempuan Saudi modern. Bahkan kini 
banyak desain abaya yang dibuat “slim fit” seukuran tubuh, tidak lagi gelombor 
ala “jilbab Syahrini”. Menurut murid-murid Saudiku, desain abaya slim fitini 
supaya tampak lebih modern, gaul, dan seksi tentunya.

Bukan hanya itu, banyak perempuan Saudi yang kini hanya mengenakan abaya dan 
hijab (kain penutup kepala) saja tanpa dilengkapi dengan kain penutup wajah, 
khususnya mereka yang tinggal di Jeddah atau kota-kota metropolitan mini di 
Provinsi Ash-Sharqiyah. Jika mereka sedang liburan ke manca negara, baik di 
Arab Teluk (khususnya Uni Emirat Arab) apalagi ke negara-negara Barat, banyak 
dari mereka yang bahkan tidak mengenakan abaya, apalagi kain penutup kepala dan 
penutup wajah, melainkan pakai celana panjang “pantalon” atau “busana perempuan 
modern” lain.

 
Deena Abdulaziz Al-Saud, Salah satu Putri dari Kerajaan Arab Saudi.

Fenomena ini sudah menjadi “rahasia umum”. Tentu saja masih banyak juga yang 
tetap memelihara tradisi berbusana “ala Saudi” meskipun berada di luar Saudi.

Kebangkitan perempuan

Contoh perubahan sosial lain adalah tentang “gerakan feminisme” yang cukup 
menggeliat sejak dekade terakhir.

Memang dibanding dengan negara-negara Arab Teluk lain seperti Uni Emirat Arab 
atau Qatar, Arab Saudi agak terlambat menanggapi isu-isu peranan perempuan ini. 
Tetapi bukan berarti tidak ada perubahan sama sekali menyangkut hak-hak kaum 
perempuan Saudi. Misalnya, sudah sejak Raja Faisal, kaum perempuan mendapatkan 
kesempatan menuntut ilmu sampai perguruan tinggi, bukan hanya di bangku-bangku 
madrasah. Saudi bahkan memiliki “kampus perempuan” terbesar di dunia bernama 
Princess Nora University.

Sejak Raja Abdullah bertahta, kaum perempuan memiliki kesempatan dan posisi 
lebih besar. Bukan hanya menikmati dunia pendidikan saja tetapi juga kesempatan 
bekerja di semua sektor publik (kecuali kemiliteran). Bahkan sejumlah perempuan 
menjadi penggerak dunia bisnis, industri, penerbitan, teknologi, dlsb. Sejumlah 
elit perempuan juga menjadi anggota “Shura Council” yang bertugas memberi 
nasehat dan masukan-masukan kepada raja terkait berbagai isu menyangkut 
pemberdayaan perempuan.

Kolegaku Mark Thompson, spesialis kajian Arab Saudi dari Inggris, menyatakan 
bahwa kelompok elit perempuan inilah yang berada di balik perubahan sosial 
menyangkut hak-hak kaum perempuan Saudi.

Mark Thompson telah menulis sebuah buku berjudul Saudi Arabia and the Path to 
Political Changeyang merekam dengan baik proses-proses perubahan 
sosial-politik-kultural di Saudi.

Peran elit agama dipreteli, polisi syariat dipangkas fungsinya

Wajah keagamaan juga mengalami perubahan besar. Kelompok Islam 
konservatif-radikal-ekstrimis semakin terisolasi dan kehilangan pengaruh publik.

Sejak mendiang Abdullah bin Abdulaziz Al Saud memegang tapuk kekuasaan dan 
kendali pemerintahan, baik saat menjadi Putra Mahkota di era Raja Fahd maupun 
ketika menjadi raja, berbagai reformasi pemikiran dan praktik keagamaan serta 
kebijakan publik dilakukan untuk mendorong terwujudnya wajah keislaman yang 
modern, toleran, moderat, dan damai. Beliaulah yang memprakarsai dialog 
kultural-nasional dengan para tokoh dan komunitas Syiah. Beliau jugalah yang 
membuka peluang lebar-lebar bagi warga Syiah Saudi untuk bekerja di semua 
sektor publik.

Beliau juga yang “memereteli” pengaruh dan peran sejumlah elit agama 
konservatif serta memangkas fungsi “Polisi Syariat” yang dulu sangat dominan 
mengontrol “kesalehan publik”. Berbagai kebijakan Raja Abdullah tersebut 
dilanjutkan dan bahkan ditingkatkan ritmenya oleh Raja Salman saat ini. Sejak 
beberapa tahun terakhir, Saudi juga memerangi kaum teroris-ekstrimis yang 
sering berbuat onar dan menganggu stabilitas politik-ekonomi negara.

Putra Mahkota Muhammad Bin Nayef menjadi aktor utama yang memimpin langsung 
perang melawan “terorisme gobal” dan “kekerasan domestik”. Sehingga dengan 
begitu tidak memberi ruang secuilpun pada kelompok radikal-ekstrimis untuk 
berkembang biak dan melampiaskan kekerasan di jalan-jalan dan arena publik lain.

Saudi adalah negara yang sangat mementingkan “keamanan dan kenyamanan nasional” 
sehingga segala tindakan massa dan “kekerasan sipil” yang dipandang mengganggu 
atau berpontensi mengancam stabilitas kerajaan dan masyarakat akan ditindak 
tegas.

Kontras dibanding Indonesia

Sejumlah fenomena perubahan sosio-kultural di Saudi dewasa ini cukup kontras 
dengan dinamika perkembangan di Indonesia belakangan ini, khususnya sejak 
lengsernya Presiden Suharto dari kursi kepresidenan. Sejumlah kelompok Islam di 
Indonesia bukannya menjadi lebih modern, progresif, toleran, dan damai tetapi 
justru semakin “kolot”, konservatif, intoleran, dan keras.

Wajah keislaman di Indonesia dewasa ini, khususnya di Jakarta dan beberapa 
kawasan urban, dipenuhi dengan munculnya berbagai ormas Islam ekstrim yang 
serba anti dengan minoritas agama: Syiah, Ahmadiyah, non-Muslim, dan berbagai 
sekte agama lain, termasuk agama-agama dan kepercayaan lokal.

Sejumlah aksi kekerasan, verbal maupun fisik, yang dilakukan oleh sejumlah 
kelompok Islam atas kaum minoritas beserta properti keagamaan mereka juga 
menjamur di berbagai daerah. “Polisi Syariat” yang sudah dipreteli wewenangnya 
di Saudi malah berkembang biak di Indonesia, bukan hanya di Aceh saja tetapi 
juga di berbagai daerah di Jawa Barat, Banten, dan lainnya.

Sejumlah massa dan kelompok sipil yang mengatasnamakan agama dan umat Islam 
juga bertebaran di sejumlah daerah. Mereka begitu gagah dan “pede”-nya mengaku 
sebagai “asisten Tuhan” untuk memusnahkan apa yang mereka anggap dan yakini 
sebagai “kemaksiatan” dan “kemungkaran”.

Fenomena “kekerasan kolektif” yang diprakarsai oleh sejumlah ormas Islam ini 
“genuine” Indonesia yang tidak pernah saya temukan di Saudi yang memang 
melarang keras warganya untuk melakukan tindakan kekerasan komunal.

Berbagai elemen ormas Islam dan tokoh-tokoh Muslim juga bereuforia dengan 
“simbol-simbol keislaman” klasik, termasuk simbol-simbol kebudayaan Arab zaman 
dulu yang kini sudah ditinggalkan oleh masyarakat Arab kontemporer seperti 
tradisi tata-busana yang saya sebutkan di atas. Pula, sejumlah umat Islam, 
khususnya kaum Muslim kota, bereuforia dengan Bahasa Arab yang menurut mereka 
sebagai “bahasa agamis” dan “bahasa surga” seraya “mengkafirkan” Bahasa 
Inggris. Padahal di Saudi sendiri (dan juga kawasan Arab Teluk lain), 
penggunaan Bahasa Inggris kini telah berkembang pesat, bukan hanya di dunia 
pendidikan saja tetapi juga di sektor bisnis-perekonomian dan komunikasi 
sehari-hari.

Apakah berbagai fenomena sosial-kultural yang cukup kontras terjadi di kedua 
negara berpenduduk mayoritas Muslim ini menunjukkan bahwa masyarakat Islam 
Saudi kini telah bergeliat menuju “umat modern”, sementara (sebagian) kaum 
Muslim Indonesia justru sedang bereuforia menjadi “masyarakat klasik” dan 
bahkan “komunitas primitif” — khususnya mereka yang hobi melakukan tindakan 
barbar dan kekerasan? Wallahu ‘alam bi-shawab.



--------------------------------------------------------------------------------

Tulisan ini pertama kali publish di DW.com

Tentang Penulis:

Sumanto Al Qurtuby

Dosen Antropologi Budaya dan Kepala Scientific Research in Social Sciences, 
King Fahd University of Petroleum and Minerals, Arab Saudi. Ia memperoleh gelar 
doktor dari Boston University. Ia telah menulis lebih dari 17 buku, antara lain 
Religious Violence and Conciliation in Indonesia (London & new York: Routledge, 
2016). 

Kirim email ke