Utang Terus Terbang - Oleh : Edy Mulyadi, Direktur Program Centre for Economic 
and Democracy Studies (CEDeS) 
http://www.neraca.co.id/article/111381/utang-terus-terbang-oleh-edy-mulyadi-direktur-program-centre-for-economic-and-democracy-studies-cedes
 
 Oleh: agus mansur Sabtu, 12/01/2019
 

 

 Dari sini, saya coba paparkan kegagalan Jokowi dalam membangun kesejahteraan 
rakyat Indonesia. Indikatornya, antara lain jebloknya prestasi di bidang 
pengentasan kemiskinan (rakyat makin miskin), ketimpangan yang ekstrim, dan 
pembangunan indeks manusia (IPM) yang justru merosot.
 Dari sisi makro, kegagalan Jokowi juga ditandai dengan meroketnya utang luar 
negeri. Pada Oktober 2014 utang Pemerintah berjumlah Rp2.608 triliun. Lalu 
membengkak jadi Rp4.253 triliun pada Juli 2018. Artinya, ada kenaikan Rp1.645 
triliun atau 63%. Sebaliknya, pertumbuhan PDB pada periode yang sama hanya naik 
sekitar 32%. Dengan kata lain, utang pemerintah melonjak hampir2 kali lipat 
ketimbang peningkatan PDB. Angka ini juga jauh melampaui kenaikan pendapatan 
pajak dan pertumbuhan PDB. Yang membuat miris, para menteri ekonomi bagai tidak 
peduli, bahwa utang ribuan triliun tadi menjadi beban rakyat hari ini dan anak 
cucunya di masa depan.
 Bukti lain kegagalan Jokowi adalah, dalam empat tahun kekuasaannya, Jokowi 
‘sukses’ membawa Indonesia menjadi salah satu negara paling oligarkis. Jeffrey 
Winters (2017) dan Arif Budimanta (2018) menyebut, setiap 1 dari 40 orang 
terkaya memiliki aset 584.478 kali lipat dari rata-rata pendapatan per orang. 
Mereka bukan cuma memonopoli penguasaan aset ekonomi, tapi juga merambah 
struktur politik di pelbagai tingkat, baik di eksekutif maupun legislatif. 
Akibiatnya, korupsi merajalela dan ketimpangan semakin parah.
 Pada seri ke-2 kali ini, pembahasan akan ditekankan pada utang yang jumlahnya 
sudah amat mengkhawatirkan. Para ekonom yang masih punya nurani sudah lama 
berteriak utang Indonesia sudah memasuki fase berbahaya. Rizal Ramli, ekonom 
senior yang juga Menko Perekonomian era Presiden Abdurrahman Wahid, setidaknya 
sejak setahun silam menyatakan utang Indonesia sudah lampu kuning.
 Kendati demikian, Menteri Keuangan Sri Mulyani selalu abai dengan berbagai 
peringatan itu. Dia bahkan berkali-kali mengklaim utang Indonesia masih aman 
karena rasionya masih jauh dari 60% PDB. Dengan enteng, dia juga menyatakan 
mampu mengelola APBN denganprudent.
 Padahal sepanjang periode 2014-2017, rasio utang luar negeri terhadap PDB 
mengalami tren naik. Pada 2014, rasionya 32,95% dan menjadi 34,79% pada 2017. 
Bahkan pada 2015, angkanya melonjak jadi 36,09%.
 Pemerintah selalu saja menjadikan rasio utang dengan PDB sebagai dalih bahwa 
negeri ini baik-baik saja. UU Keuangan Negara no 17/2003 memang memberi batas 
maksimal rasio utang dan PDB sebesar 60%. Jadi, kalau hari ini rasionya masih 
di kisaran 30%, wajar jika Pemerintah merasa masih aman.
 Batasan rasio utang terhadap PDB yang 60% itu benar-benar menjadi area 
superlega bagi Pemerintah untuk bermanuver menangguk utang, lagi dan lagi. 
Statistik Utang Luar Negeri Indonesia (SULNI) yang dirilis Bank Indonesia (BI) 
pada Desemnber 2018, menyebut jumlah utang luar negeri (ULN) kita sampai akhir 
Oktober 2018 tercatat US$360,5. Dengan kurs BI hari ini (Rabu, 2/1) yang 
Rp14.465, total utang itu setara dengan Rp5.215 triliun.
 
 Rp5.215 triliun tentu bukan angka yang kecil. Ini adalah jumlah yang teramat 
besar. Dengan populasi penduduk yang sekitar 260 jiwa, maka tiap WNI menanggung 
utang tidak kurang dari 20 juta.

Kirim email ke