-- 
j.gedearka <j.gedea...@upcmail.nl>

https://mediaindonesia.com/podiums/detail_podiums/1736-virus-kebencian



Rabu 29 Januari 2020, 05:10 WIB

Virus Kebencian

Usman Kansong Dewan Redaksi Media Group | podium
 
Virus Kebencian

MI/Ebet
Usman Kansong Dewan Redaksi Media Group

APA yang lebih berbahaya daripada virus korona yang hingga kemarin siang 
menewaskan 106 orang? Virus kebencian jawabannya.

Pekan lalu saya menulis tentang Uighur di laman Facebook saya. Saya ingin 
menyajikan berbagai pandangan atau perspektif tentang Uighur, baik positif, 
netral, maupun negatif.

Saya menuliskannya berdasarkan kunjungan saya ke Xinjiang, provinsi tempat 
etnik muslim Uighur menetap di Tiongkok. Saya juga menuliskan sejumlah 
pemberitaan negatif tentang perlakuan pemerintah Tiongkok kepada etnik Uighur. 
Pun saya menuliskan dua hasil penelitian tentang Uighur yang saya baca dari dua 
buku berbahasa Inggris.

Tiba-tiba ada yang berkomentar bahwa virus korona ialah balasan dari langit 
untuk rezim komunis RRT atas perlakuan mereka terhadap muslim Uighur. Komentar 
ini jelas berperspektif langitan atau berperspektif hukum karma yang jelas 
tidak didasarkan pada keilmiahan, tetapi pada kebencian.

Dia yang berkomentar seperti itu telah terjangkit sekaligus menularkan virus 
kebencian. Celakanya virus kebencian lebih berbahaya daripada virus korona atau 
virus-virus lain yang pernah ada atau kelak ada di muka bumi.

Penyebaran virus kebencian memakan lebih banyak korban jika dibandingkan dengan 
virus korona. Itu karena bila virus korona berjangkit melalui interaksi 
fisikal, virus kebencian berjangkit melalui interaksi virtual di media sosial.

Virus korona menyerang tubuh, sedangkan virus kebencian menyerang kewarasan, 
akal sehat. Oleh karena itu, orang terjangkit virus korona bisa disembuhkan 
dengan vaksin yang kelak ditemukan, tetapi mereka yang terjangkit virus 
kebencian sulit disembuhkan sampai tujuh turunan bahkan dengan vaksin 
rekonsiliasi sekalipun.

Virus kebencian juga menyebar melalui komentar atau analisis asal-asalan bahwa 
orang Tiongkok terserang virus korona karena doyan makan sup kalelawar dan 
ular, dan keduanya makanan haram. Akan tetapi, saya membaca artikel di The 
Guardian yang dipublikasikan enam tahun lalu dan menginformasikan kemungkinan 
virus korona menjadi pandemi berikutnya.

Informasi The Guardian itu didasarkan temuan seorang virolog yang menyebutkan 
adanya seorang pasien yang terjangkit virus yang kemudian diduga korona itu di 
satu rumah sakit di Jeddah, Arab Saudi.

Rasanya kecil kemungkinan pasien tersebut gemar mengonsumsi sup kelelawar atau 
ular. Para ahli menduga virus berasal dari hewan ternak setempat.

Saya membayangkan, si komentator tadi akan mengatakan bahwa informasi 
kemungkinan virus korona berasal dari hewan ternak di Timur Tengah ialah 
konspirasi asing-aseng. Namanya juga akal sehatnya sudah terjangkit virus 
kebencian. Karena kebencian, si komentator serupa menyoraki wabah yang diderita 
warga Tiongkok.

Meski sulit, virus kebencian sesungguhnya bukan tidak bisa disembuhkan sama 
sekali. Sedikit empati semestinya bisa menyingkirkan virus kebencian. Bila 
tidak bisa berempati atas nama kebangsaan, berempatilah atas nama kemanusiaan.

Empati ialah menempatkan posisi kita pada orang lain, pada korban virus korona. 
Dengan berempati, kita seolah merasakan bahwa terjangkit virus korona itu 
menderita dan sengsara. Kita tentu tidak menginginkan terjangkit virus korona 
sehingga kita mau tidak mau berupaya mencegahnya. Itu artinya berempati bisa 
mencegah kita terserang virus korona.





Kirim email ke