Wajah Ideal Amien Rais sang Bapak Reformasi 
https://kumparan.com/tio/wajah-ideal-amien-rais-sang-bapak-reformasi-nasional 
Wajah Ideal Amien Rais sang Bapak Reformasi 

 kumparan
Jumat 02 Juni 2017 - 17:02 
https://kumparan.com/tio/wajah-ideal-amien-rais-sang-bapak-reformasi-nasional
 



 
 


 
Amien Rais saat memberi keterangan di rumahnya (Foto: Aditia 
Noviansyah/kumparan)
 “Saudara sekalian, tolong jangan dipelintir ya. ‘Amien Rais terlihat sayu dan 
pucat,’ jangan, wong saya tidak pucat,” ucapnya.

 Diapit anak laki-lakinya, Hanafi Rais, dan mantan petinggi partai yang 
didirikannya, Drajad Wibowo, laki-laki berumur 73 tahun itu kembali menjadi 
episode utama politik nasional.

 [Baca juga: Pernyataan Lengkap Amien Rais Soal Aliran Dana dari Soetrisno 
Bachir 
https://kumparan.com/rini-friastuti/pernyataan-lengkap-amien-rais-soal-aliran-dana-dari-sutrisno-bachir?ref=body]

 Beberapa waktu terakhir, persona Amien Rais kembali menguat sebagai pihak yang 
vokal mengkritik jalannya pemerintahan. Memang, namanya tak pernah benar-benar 
hilang dari pemberitaan media.

 Amien berkali-kali muncul, seperti pada aksi-aksi yang menuntut proses hukum 
Ahok berjalan lancar. Sejak Oktober tahun lalu, Amien konsisten mengikuti 
hampir semua aksi bertajuk 212, 112, dan 313 tersebut.

 [Baca juga: Arti Ayatullah yang Disematkan Prabowo ke Amien Rais 
https://kumparan.com/wisnu-prasetyo/arti-ayatullah-yang-disematkan-prabowo-ke-amien-rais?ref=body]

 Namun, nama Amien Rais betul-betul kembali menjadi target pertanyaan beberapa 
hari terakhir, meski bukan untuk alasan yang membanggakan.

 Ia diduga menerima uang senilai Rp 600 juta yang bersumber dari dana alat 
kesehatan. Rangkaian kasus tersebut terjadi sekitar 10 tahun yang lalu.

 Apabila tuduhan tersebut ternyata benar, sungguh ironis mengingat perjalanan 
dan citra yang selama ini dibangun Amien sebagai aktivis yang anti kebobrokan 
politik.

 [Baca juga: Saat Siti Fadilah Bantah, Amien Rais Malah Mengaku Terima Uang 
https://kumparan.com/taufik-rahadian/saat-siti-fadilah-bantah-amien-rais-malah-mengaku-terima-uang?ref=body]

 
Amien Rais (kiri) saat bersama Gus Dur. (Foto: Wikimedia Commons)
 Putra Muhammadiyah

 Sedari muda, Amien Rais sudah menunjukkan obsesi berorganisasi dan menjadi 
unggul di dalamnya. Saat masih menjadi mahasiswa, Amien Rais tergabung dalam 
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan dipercaya menjabat sebagai sekretaris 
Lembaga Dakwah Mahasiswa Islam (LDMI) HMI Yogyakarta. 

 Pilihan politik mudanya yang selalu dekat dengan Muhammadiyah ini dapat 
dimengerti. Ia berasal dari keluarga yang memang dekat dengan kelembagaan 
Muhammadiyah. Lahir dari pasangan Suhud Rais dan Sudalmiyah, Amien dididik 
disiplin lewat nilai-nilai Islam yang kental. 

 Ibunda Amien, Sudalmiyah, adalah seorang guru, mengajar di Sekolah Guru 
Kepandaian Putri (SGKP) dan Sekolah Bidan Aisyiyah Surakarta. Sementara kakek 
Amien, Wiryo Soedarmo, adalah salah satu pendiri Muhammadiyah di Gembong, Jawa 
Tengah. Maka tak heran, Amien menghabiskan bangku Sekolah Dasar hingga SMA di 
sekolah Muhammadiyah.

 Langkah politik pertamanya pun tak jauh-jauh dari Muhammadiyah. Tak hanya 
tergabung dalam HMI, Amien Rais yang berkuliah di Universitas Gadjah Mada, 
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, ini juga salah seorang pendiri Ikatan 
Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) saat masih mahasiswa.

 Ketika berkuliah, Amien juga cukup aktif di dunia pers mahasiswa. Sembari 
berkuliah ganda di IAIN Sunan Kalijaga untuk tetap dekat dalam keilmuwan 
Islamnya, Amien merupakan penulis kolom rutin tabloid mingguan Mahasiswa 
Indonesia di Bandung dan Harian Kami di Jakarta. Amien dikenal sebagai penulis 
yang produktif dan cukup tajam dalam menyikapi berbagai hal.

 [Baca juga: Perisai Lahir Batin Amien Rais 
https://kumparan.com/hanum-rais/perisai-lahir-batin-amien-rais?ref=body]

 




 Akademisi Sejati

 Usai menyelesaikan pendidikan sarjana, Amien Rais melanjutkan pendidikan 
S2-nya di University of Notre Dame, Indiana, Amerika Serikat. Selepas itu, ia 
juga pernah mengenyam pendidikan di Al Azhar University, Kairo, Mesir. Gelar 
Ph.D dalam ilmu politik ia dapatkan kemudian di Chicago University, Amerika 
Serikat. Tahun 1988-1989, ia juga mengikuti program post-doctoral degree di 
George Washington University, AS. 

 Menjadi akademisi memang pilihan Amien Rais --agaknya melanjutkan tradisi 
turun-temurun dari orang tuanya. Sekembalinya dari S2, Amien Rais berkarier 
sebagai dosen di almamaternya sendiri, UGM. Profesi tersebut ia teruskan hingga 
bertahun-tahun setelahnya, hingga ia menjadi guru besar di kampus rakyat 
tersebut.

 Meski begitu, Amien Rais di masa produktifnya sama idealisnya dengan saat 
berada di masa-masa perkuliahan. Amien tak hanya berdiri di menara gading. 

 Ia masih meneruskan kegiatan ber-Muhammadiyah-nya, yaitu menjadi pengurus 
Pimpinan Pusat Muhammadiyah, menjadi wakil ketua di tahun 1991, dan pada 
akhirnya ditunjuk menjadi ketua pada tahun 1995 hingga 2000. Ia juga aktif 
menjadi peneliti senior di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). 

 Amien juga mengelola Pusat Pengkajian Strategi dan Kebijakan (PPSK), sebuah 
lembaga pengkajian dan penelitian yang mencermati masalah strategis bangsa dari 
perspektif masyarakat lemah. Dari sinilah Amien disebut-sebut turut merancang 
lahirnya Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) --yang mengikutsertakan 
nama-nama kondang seperti Moeljoto Djojomartono hingga Ahmad Syafi’i Maarif.

 Di masa-masa ini pulalah pemikiran Amien yang tajam itu berkembang. Salah satu 
yang paling mencolok adalah gagasan suksesi yang mulai ia publikasikan sejak 
1993. Sederhananya, gagasan tersebut lahir dari kosakata Bahasa Inggris, 
succession, yang diartikannya sebagai penyegaran dan pergantian unsur-unsur 
kepemimpinan nasional, menyangkut presiden hingga orang-orang yang berada di 
kursi legislatif.

 Gagasan ini tergolong berani pada konteks tahun tersebut. Amien melemparkan 
ide menggunakan rumus dasar balance sheet, menimbang-nimbang: lebih berat mana 
antara kebaikan yang dibawa pembangunan selama 30 tahun kekuasaan Soeharto, dan 
keburukannya. Meski mengakui ada kebaikan-kebaikan yang diraih, Amien menyoroti 
beberapa drawback seperti kemiskinan, pengangguran, korupsi, dan melempemnya 
proses demokratisasi. 

 Meski sempat dingin usai Sidang Umum MPR tahun 1993 yang antiklimaks, di mana 
Harmoko masih mengajukan Soeharto sebagai calon presiden dari Golkar --yang 
jelas tak bisa dikalahkan dengan keadaan legislatif masa itu, konsepsi suksesi 
Amien Rais makin kuat menemukan relevansinya dari tahun ke tahun.

 Puncaknya adalah di tahun 1997-1998, di mana kondisi ekonomi Indonesia semakin 
memburuk bersama datangnya krisis di Asia, dan bangunan politik Soeharto yang 
kuat itu perlahan-lahan mulai runtuh.

 [Baca juga: Senja Terakhir Soeharto Memimpin Negeri 
https://kumparan.com/anggi-kusumadewi/senja-terakhir-soeharto-memimpin-negeri?ref=body]
 

 
Amien Rais saat Reformasi 1998 (Foto: Istimewa)
 Lokomotif Reformasi

 Saat masyarakat luas turun ke jalan menuntut perubahan, Amien Rais sudah 
berdiri di depannya. Amien yang memang sangat fasih berbicara soal sosial 
politik, ditambah lagi dengan bekal keilmua dan konsepsi suksesi yang sudah ia 
bawa sejak lama, membuatnya mudah diterima berbagai golongan yang menuntut 
turunnya Soeharto. 

 Hasilnya, terjadi proses simbolisasi gerakan masyarakat dalam melawan Soeharto 
di diri Amien Rais. Berkali-kali ia mendapatkan ancaman dari berbagai pihak. 
Meski begitu, Amien tetap berada di tengah masyarakat --menjadi satu dari yang 
banyak, menjadi perwakilan dari masyarakat luas.

 Sampai akhirnya Soeharto turun, muncullah foto legendaris itu. Amien yang 
duduk di atas mobil di depan Gedung DPR, diarak mahasiswa yang 
mengelu-elukannya. Sampai detik itu, Amien Rais berhasil memertahankan ideal 
ideologinya, menjadi mata badai dalam pergolakan politik yang, meski 
menggairahkan, tak jelas bakal ke mana lari dan tersungkurnya.

 Itu, tentu saja, cerita dulu...







 

Kirim email ke