https://tirto.id/warga-dunia-makin-menggemari-golput-masyarakat-indonesia-pun-sama-ddJF
Warga Dunia Makin Menggemari
Golput, Masyarakat Indonesia pun
Sama
Kolase foto tangan warga yang golput saat Pilpres 2014. Zabur
Karuru/Antara Foto.
<https://tirto.id/warga-dunia-makin-menggemari-golput-masyarakat-indonesia-pun-sama-ddJF>
Kolase foto tangan warga yang golput saat Pilpres 2014.
Zabur Karuru/Antara Foto.
Oleh: Akhmad Muawal Hasan - 8 Januari 2019
Dibaca Normal 4 menit
/Sejak 1990-an jumlah pemilu legislatif di tingkat nasional naik
drastis, tapi hampir seluruh negara penganut demokrasi di dunia juga
mengalami penurunan tingkat partisipasi pemilu secara signifikan./
tirto.id <https://tirto.id/> - Isu golput (golongan putih) hampir tak
mungkin untuk tidak mencuat jelang pemilihan umum. Termasuk ajakan untuk
absen dalam pemilihan umum presiden (pilpres) bulan April 2019, yang
mendadak ramai di media sosial pada beberapa bulan yang lalu.
Penyebabnya adalah terpilihnya Ma’ruf Amin sebagai pendamping Joko
Widodo. Penggagas golput disinyalir sebagai pendukung Basuki Tjahaja
Purnama (Ahok). Mereka kecewa karena Ma’ruf pernah menjadi saksi yang
memberatkan Ahok, pasangan Jokowi selama memimpin DKI Jakarta
(2012-2014), pada kasus penodaan agama.
Imbauan agar masyarakat tetap berpartisipasi dalam pilpres kemudian
muncul dari peserta, pegiat, penyelenggara, hingga pengawas pemilu. Isu
golput membesar bak bola salju, dan memunculkan kekhawatiran soal
kemungkinan tingginya angka golput pada pilpres mendatang.
Kekhawatiran tersebut wajar, mengingat penggemar golput di Indonesia
makin banyak dari pemilu ke pemilu. Komisi Pemilihan Umum (KPU) mencatat
datanya (*PDF
<https://media.neliti.com/media/publications/45223-ID-desain-partisipasi-masyarakat-dalam-pemantauan-pemilu.pdf>*)
dengan mendasarkan golput pada pengertian tingkat partisipasi pemilih
untuk datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS).
Tingkat golput pada Pemilu 1955 sebesar 8,6 persen, lalu turun menjadi
3,4 persen pada 1971. Istilah golput tercatat pertama kali muncul pada
Pemilu 1971 tersebut. Merujuk laporan /Tirto/
<https://tirto.id/bagaimana-golput-muncul-pertama-kali-dalam-sejarah-indonesia-cS9E>
sebelumnya, gerakan golput dikumandangkan generasi muda, terutama
mahasiswa, yang saat itu memprotes penyelenggaraan Pemilu.
Mereka mendeklarasikan gerakan ini pada awal Juni 1971, sebulan sebelum
pemilu pertama Orba itu. Tidak ada partai politik yang dianggap mampu
mewakili aspirasi mereka, termasuk Golkar. Ajakannya adalah untuk
“menjadi penonton yang baik” selama rakyat mencoblos ke kotak-kotak suara.
Salah satu tokoh sentralnya saat itu adalah Arief Budiman. Ia tidak
masuk lingkaran kekuasaan seperti aktivis 1966 lain. Pada dasarnya Arief
menilai demokrasi telah dilanggar karena ada pembatasan jumlah parpol,
pembentukan Golkar oleh pemerintah, dan ketidakbebasan dalam berserikat
serta berpolitik.
Kelompok pemuda membuat semacam simbol golput bikinan seniman Balai
Budaya. Bentuknya gambar segi lima hitam di atas dasar berwarna putih
polos. Mereka kemudian memasang pamflet berisi simbol tersebut di
sejumlah titik di Jakarta, dan benar-benar menimbulkan masalah pada
pelaksanaan Pemilu 1971.
Baca juga: Bagaimana Golput Muncul Pertama Kali dalam Sejarah Indonesia?
<https://tirto.id/bagaimana-golput-muncul-pertama-kali-dalam-sejarah-indonesia-cS9E>
Selama era Orde baru, ada lima pemilu lain di mana tingkat golputnya
awalnya stagnan, lalu naik. Tingkat golput pemilu 1977 dan 1982 sebesar
3,5 persen, naik jadi 3,6 persen pada pemilu 1987, naik jadi 49 persen
pada pemilu 1992, dan pada pemilu 1997 menjadi 6,4 persen.
Di Pemilu 1999, atau yang pertama di era reformasi, angkanya masih naik
sedikit ke 7,3 persen. Lonjakan signifikan hingga lebih dari dua kali
lipat terjadi pada Pemilihan Legislatif (Pileg) 1994. Tingkat golputnya
mencapai 15,9 persen.
Angkanya menjadi 21,8 persen pada Pilpres 2004 putaran pertama, 23,4
persen di putaran kedua, dan rekor tertinggi pecah pada Pileg 2009 di
mana tingkat golput mencapai 29,1 persen.
Pilpres 2009 mencatatkan penurunan menjadi 28,3 persen. Demikian juga
Pileg 2014, di mana tingkat golput kembali ke kisaran 24,89 persen.
Namun pada Pilpres 2014, pertarungan yang mengangkat Jokowi ke kursi
kepresidenan, tingkat golputnya kembali naik drastis ke angka 29,01 persen.
Indonesia tidak sendirian. Makin tidak bergairahnya orang untuk
mengikuti “pesta demokrasi” memang sedang menggejala secara global.
Beberapa lembaga menemukan membaca tren tersebut, terutama dalam
beberapa dekade terakhir.
Laporan Perkembangan Dunia yang diterbitkan Bank Dunia pada tahun 2017
memaparkan partisipasi warga dalam pemilu di berbagai negara turun
sebanyak 10 persen dalam 25 tahun terakhir atau sejak 1990, demikian
yang dilaporkan /Quartz/
<https://qz.com/899586/global-voter-turnout-is-dropping-dramatically-across-the-world/>.
Sejak 1990 pula jumlah penyelenggaraan pemilu terus naik. Terhitung pada
tahun 2015, misalnya, terhadap hampir 50 pemilu legislatif tingkat
nasional yang digelar di 46 negara di berbagai benua. Namun tingkat
partisipasi warga ternyata mengalami tren penurunan selama periode tahun
1950 hingga 2015.
Pada awal dekade 1950-an tingkat partisipasi warga dunia dalam pemilu
sempat hampir mencapai 80 persen. Ini pencapaian tertinggi sebelum
berangsur-angsur turun. Pada akhir 1960-an angkanya sudah di kisaran 75
persen. Rata-rata ini bertahan hingga akhir 1980-an—masa keemasan
ekonomi di banyak negara maju.
Mulai awal 1990-an tingkat partisipasinya mulai turun secara drastis.
Rata-ratanya turun hingga kisaran 70 persen pada akhir 1990-an.
Sepanjang 2000-an tren golput masih terus naik. Pemilu makin tidak
diminati. Hingga pada 2015 rata-rata partisipasi pemilu global hanya di
angka 65 persen lebih sedikit.
Baca juga: Gelombang Golput yang Tak Pernah Surut
<https://tirto.id/gelombang-golput-yang-tak-pernah-surut-cVnc>
Pada 2016, Institute for Democracy and Electoral Assistance (IDEA)
menerbitkan riset berjudul /Voter Turnout Trends around the World
<https://www.idea.int/sites/default/files/publications/voter-turnout-trends-around-the-world.pdf>/.
Mereka menemukan bahwa jumlah negara yang mengadakan pemilihan parlemen
langsung telah meningkat secara signifikan sejak 1990-an.
Di Eropa alasan utamanya adalah berakhirnya Perang Dingin yang
merangsang proses demokratisasi di negara-negara bekas Uni Soviet.
Demokratisasi di Afrika juga berkembang terutama sejak penerapan sistem
multi-partai. Hanya ada sedikit negara yang kini tidak mengadakan
pemilu, misalnya Brunei Darussalam, Cina, Arab Saudi, Vatikan, dan
beberapa lainnya.
Terlepas dari pertumbuhan populasi pemilih global dan jumlah negara yang
menyelenggarakan pemilu, IDEA mencatat jumlah golput justru naik sejak
awal 1990-an. Hasil risetnya dengan demikian menguatkan temuan Bank Dunia.
IDEA melanjutkan jumlah pemilih global cukup stabil antara tahun 1940-an
hingga 1980-an. Hanya ada penurunan sedikit dari 78 persen menjadi 76
persen selama empat dekade tersebut. Kemudian, memasuki 1990-an,
angkanya tiba-tiba turun menjadi 70 persen. Trennya berlangsung hingga
2011-2015, di mana rata-rata pemilih global tinggal 66 persen.
Tren golput paling kentara di Eropa. Rata-rata pemilihnya turun dalam
persentase yang paling signifikan dibandingkan di wilayah lain. Di Asia
dan Amerika tren partisipasi pemilih tampak lebih stabil dari
waktu-waktu. Namun tetap saja persentase di kedua wilayah tersebut jauh
di bawah rata-rata pemilih global.
Afrika secara umum memiliki tingkat partisipasi pemilu terendah dalam
tiap dekade sejak 1950-an. Namun perlu dicatat bahwa IDEA hanya memiliki
data dari tiga negara pada 1950-an. Jumlahnya naik ke 10 negara pada
1960-an, 11 pada 1970-an, dan 16 pada 1980-an. Pada 1990-an, jumlahnya
“meledak” menjadi 43 negara di Afrika yang menyelenggarakan pemilu
legislatif nasional.
Kondisi yang sama terjadi untuk wilayah Oseania karena baru Australia
dan Selandia Baru yang mengadakan pemilu pada 1940-an dan 1950-an.
Pemilu baru ada di Papua Nugini mulai pertengahan 1960-an, dan tingkat
partisipasinya juga masih rendah.
Baca juga: Membedah Potensi Gelombang Golput di Pilpres 2019
<https://tirto.id/membedah-potensi-gelombang-golput-di-pilpres-2019-cRYi>
Di beberapa negara yang mewajibkan warganya memilih di pemilu, seperti
Australia, golput adalah sesuatu yang asing. Dalam diskursus ilmu
politik dan kenegaraan, golput berkenaan dengan kebebasan.
Mengutip pendapat mantan Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan
Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Haris Azhar dalam /Hukum Online/
<https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt530ef7ca24424/golput-bukan-tindakan-pidana>,
golput di Indonesia bukan tindakan kriminal. Ia dianggap sah secara
hukum karena dijamin Pasal 28 UUD dan Pasal 23 UU tentang HAM.
Pasal 28 UUD berisi apa-apa saja yang dianggap hak asasi tiap manusia.
Pasal 23 UU HAM berisi: "(1) Setiap orang bebas untuk memilih dan
mempunyai keyakinan politiknya; (2) Setiap orang bebas untuk mempunyai,
mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara
lisan dan atau tulisan melalui media cetak maupun elektronik dengan
memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan
umum, dan keutuhan bangsa."
Infografik Makin lama makin golput
Meski demikian, tren golput tidak hanya dipengaruhi oleh aturan hitam di
atas putih. IDEA menjabarkannya secara luas sekaligus kompleks. Ada yang
didorong faktor sosio-ekonomi, yang berkaitan dengan ukuran dan
stabilitas populasi, juga pembangunan ekonomi.
Ada faktor politik meliputi relevansi pemilu terhadap nasib seseorang,
persepsi soal kebijakan negara yang akan berubah setelah pemilu, biaya
kampanye pasangan calon (paslon), dan fragmentasi politik terutama dari
jumlah partai yang bertarung.
Terkait aturan penyelenggaraan pemilu, faktor pendorong golput bisa
terkait sistem elektoral yang berlaku dalam pemilu, hari
diselenggarakannya pemilu, kewajiban mengikuti pemilu, syarat pemilih,
dan perihal teknis lain tentang bagaimana panitia menjalankan pemungutan
suara.
Baca juga: Klaim Trump Menang karena Golput: Tepatkah untuk Pilpres
2019?
<https://tirto.id/klaim-trump-menang-karena-golput-tepatkah-untuk-pilpres-2019-cSpm>
Di luar perkara yang sifatnya makro, IDEA menambahkan faktor-faktor
individual seperti usia, tingkat pendidikan, dan ketertarikan politik
warga. IDEA juga menggarisbawahi bahwa minat menggunakan hak pilih
ditentukan oleh persepsi warga terhadap tingkat korupsi pemerintah, juga
integritas penyelenggara pemilu.
Beberapa ilmuwan politik memberikan lebih banyak jawaban alternatif
mengenai rendahnya tingkat partisipasi pemilu. Untuk konteks Indonesia,
peneliti LIPI Sri Yunarti pernah menulis di /Jurnal Penelitian Politik/
<http://ejournal.politik.lipi.go.id/index.php/jpp/article/view/519/327>
bahwa golput didorong oleh satu faktor yang disebut dalam riset IDEA
maupun Bank Dunia: kepercayaan (/trust/) politik.
Kepercayaan tersebut merujuk pada lembaga-lembaga politik seperti partai
politik, parlemen, lembaga eksekutif dan yudikatif. Tanpa kepercayaan,
warga tidak bisa menaruh harapan pada lembaga-lembaga tersebut dan
merasa tidak mempunyai kepentingan datang ke bilik suara.
Kepercayaan tidak bisa terbangun jika warga negara tidak puas dengan
kinerja parpol yang dianggap hanya berorientasi kekuasaan, lanjut Sri
Yunarti. Hal ini selaras dengan pendapat Direktur Eksekutif Indonesia
Political Review (IPR) Ujang Komarudin yang berbincang kepada /Tirto/
<https://tirto.id/membedah-potensi-gelombang-golput-di-pilpres-2019-cRYi>
pada pertengahan Agustus 2017.
"Ancaman tingginya golput bisa saja diembuskan karena kekecewaan
sebagian masyarakat terhadap kandidat," kata Ujang.
Masyarakat merasa tidak benar-benar mampu memilih kandidat, lanjutnya.
UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu memang menggarisbawahi bahwa
pengusulan capres-cawapres hanya bisa dilakukan parpol peserta pemilihan
periode sebelumnya. Parpol yang bersangkutan pun mesti lolos aturan
ambang batas.
"Rakyat tidak diberi kesempatan untuk mengusulkan calonnya sendiri.
Golput juga dipengaruhi karena sikap apolitis masyarakat. Padahal
seluruh hidup dan kehidupan rakyat ditentukan oleh itu," kata Ujang.
Baca juga artikel terkait PEMILU 2019
<https://tirto.id/q/pemilu-2019-f3?utm_source=internal&utm_medium=lowkeyword>
atau tulisan menarik lainnya Akhmad Muawal Hasan
<https://tirto.id/author/akhmadmuawal?utm_source=internal&utm_medium=topauthor>
(tirto.id - Politik)
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Windu Jusuf
Golput di Indonesia naik tajam sejak Reformasi. Pileg 2009 pecah rekor:
golput mencapai 29,1%.
#Pilpres 2019
<https://tirto.id/topik/pilpres-2019-579ae0469e4788144b31cb6a>
*Populer*
Perda Manokwari Kota Injil: Demo Menolak Pembangunan Masjid1
<https://tirto.id/perda-manokwari-kota-injil-demo-menolak-pembangunan-masjid-ddsl?utm_source=Tirtoid&utm_medium=Popular>
Menghapus Dendam Kepada Soeharto Tak Segampang Permintaan Megawati2
<https://tirto.id/menghapus-dendam-kepada-soeharto-tak-segampang-permintaan-megawati-ddHB?utm_source=Tirtoid&utm_medium=Popular>
Solskjaer di Antara Pengaruh Fergie dan Wibawa Mike Phelan3
<https://tirto.id/solskjaer-di-antara-pengaruh-fergie-dan-wibawa-mike-phelan-ddtZ?utm_source=Tirtoid&utm_medium=Popular>
Kisah Penculikan dan Penyekapan Andi Arief4
<https://tirto.id/kisah-penculikan-dan-penyekapan-andi-arief-ddyo?utm_source=Tirtoid&utm_medium=Popular>
Galileo Dikucilkan Gereja Karena Membela Sains5
<https://tirto.id/galileo-dikucilkan-gereja-karena-membela-sains-dc8v?utm_source=Tirtoid&utm_medium=Popular>
Prabowo-Sandiaga Merugi Sebelum Bertanding di Pilpres 2019
<https://tirto.id/prabowo-sandiaga-merugi-sebelum-bertanding-di-pilpres-2019-c7K9?utm_source=Tirtoid&utm_medium=Popular>