https://tirto.id/wiranto-tantang-kivlan-zen-apa-tujuan-sumpah-pocong-digunakan-dhYr
Wiranto Tantang Kivlan Zen: Apa
Tujuan Sumpah Pocong Digunakan?
Menkopolhukam Wiranto memberi keterangan terkait perkembangan penanganan
bencana alam gempa bumi dan tsunami yang melanda Palu dan Donggala, di
Kantor Kemenkopolhukam, Jakarta, Senin (1/10/2018). ANTARA FOTO/Aprillio
Akbar
<https://tirto.id/wiranto-tantang-kivlan-zen-apa-tujuan-sumpah-pocong-digunakan-dhYr>
Menkopolhukam Wiranto memberi keterangan terkait
perkembangan penanganan bencana alam gempa bumi dan tsunami
yang melanda Palu dan Donggala, di Kantor Kemenkopolhukam,
Jakarta, Senin (1/10/2018). ANTARA FOTO/Aprillio Akbar
Oleh: Irfan Teguh - 28 Februari 2019
Dibaca Normal 4 menit
/Ada embel-embel kematian dan ucapan mengerikan, sumpah pocong kerap
menjadi solusi dalam mengatasi konflik di beberapa kalangan masyarakat./
tirto.id <https://tirto.id/> - Dua pensiunan jenderal TNI berseteru.
Kivlan Zen menuding Wiranto sebagai dalang kerusuhan 1998 dalam acara
“Para Tokoh Bicara 98
<https://nasional.tempo.co/read/1179867/kivlan-zen-ajak-wiranto-berdebat-soal-dalang-kerusuhan-1998>”
di Gedung Ad Premier, Jakarta Selatan, Senin (25/2/2019). Wiranto
merespons tudingan dengan menantang Kivlan untuk melakukan sumpah pocong
<https://tirto.id/dituding-jadi-dalang-98-wiranto-tantang-kivlan-sumpah-pocong-dhPP>.
“Oleh karena itu saya berani untuk sumpah pocong saja, 98 itu yang
menjadi bagian dari kerusuhan itu saya atau Prabowo atau Kivlan Zein?
Sumpah pocong kita. Siapa yang sebenarnya dalang kerusuhan itu, biar
terdengar ke masyarakat, biar jelas masalahnya, jangan asal menuduh
saja,” ucapnya.
Sejumlah kalangan mengkritisi ucapan Wiranto. Mereka mengatakan, Wiranto
seharusnya menempuh jalur hukum bukan lewat sumpah pocong.
“Perdebatan Pak Wiranto dan Pak Kivlan Zein mengenai apa yang terjadi
pada 1998 lebih baik diletakkan dalam narasi penegakkan hukum,” kata
Komisioner Komnas HAM, Choirul Anam.
Hal serupa disampaikan oleh Juru Bicara Amnesty Internasional, Haeril
Halim. Menurutnya, kedua pensiunan tentara ini sebaiknya memberikan
keterangan di Komnas HAM atau Jaksa Agung.
Jika ditarik ke pusaran politik Pilpres 2019
<https://tirto.id/hadapi-kivlan-wiranto-mestinya-pakai-hukum-bukan-sumpah-pocong-dhSj>,
kali ini kedua kubu pendukung capres dan cawapres satu suara. Mereka
mendorong Wiranto untuk sebaiknya menempuh langkah-langkah hukum
daripada sumpah pocong.
*Ada Apa dengan Sumpah Pocong?*
Sumpah pocong adalah sumpah yang dilakukan oleh seseorang dalam keadaan
dibungkus kain kafan, seperti layaknya orang yang telah meninggal dunia.
Sumpah ini dilakukan di hadapan orang ramai, di dalam masjid, dan
kepalanya dipayungi Alquran, dengan tujuan demi meyakinkan orang lain
bahwa pelaku sumpah pocong tidak bersalah seperti yang didakwakan orang
kepadanya.
“Sumpah pocong dilaksanakan dengan keyakinan bahwa apabila seseorang
telah berbohong, Tuhan sendirilah yang akan menghukumnya di alam baka
nanti,” tulis M.C. Ricklefs dalam /Mengislamkan Jawa: Sejarah Islamisasi
di Jawa dan Penentangnya dari 1930 sampai Sekarang/ (2013).
Di sejumlah daerah di Indonesia, sumpah pocong masih hidup dalam
keseharian masyarakat untuk menyelesaikan pelbagai konflik. Sulit
dilacak kapan sumpah pocong pertama kali dilakukan. Namun, berdasarkan
atribut yang dihadirkan dalam setiap pelaksanaan sumpah ini, tradisi
Islam sangat dominan.
Kaum Islam modernis atau pembaharu yang membabat praktik-praktik yang
menurut mereka bid’ah, jelas tidak memperbolehkan praktik ini. Namun, di
kalangan Islam tradisional, sumpah pocong diterima sebagai salah satu
instrumen untuk menyelesaikan konflik.
Dalam penelitiannya, Ricklefs melihat bahwa praktik sumpah pocong
terjadi di beberapa kalangan Islam tradisional, sejalan dengan
praktik-praktik lainnya yang supernatural. Supernatural seperti kebal
senjata tajam, perdukunan, dan lainnya tentu adalah kategori bid’ah dari
perspektif Islam modernis.
Baca juga:
* Kivlan Zen vs Wiranto: Perang Buka Kartu Jenderal Orde Baru
<https://tirto.id/kivlan-zen-vs-wiranto-perang-buka-kartu-jenderal-orde-baru-dhSf>
Ricklefs melihat bahwa sumpah pocong lahir, hidup, dan masih bertahan
sampai hari ini di kalangan Islam tradisional. Prinsip dan pemahaman
keagamaan mendukung untuk praktik sumpah macam ini.
Sementara Azlinda Azman dan kawan-kawan dalam /Wacana Warisan,
Pelancongan dan Seni dalam Kearifan Tempatan/ (2015) menyampaikan, meski
sulit diketahui dari mana sumpah pocong bermula, tapi berdasarkan
sejumlah informasi yang mereka terima, sumpah pocong diyakini berawal
dari Pandhalungan, Jember, Jawa Timur.
Sumpah ini membidik sisi psikologis, menekan mental, dan pembuktian
keberanian para pengucap sumpah, dengan menghadirkan pelbagai atribut
agama dan kata-kata sumpah yang mengerikan.
Para pengucap ini bersedia dilaknat Allah jika mereka berbohong. Namun,
dengan dijalaninya sumpah pocong, ia akan terbebas dari tuduhan-tuduhan
yang menyeretnya, dan masyarakat akan kembali tenang karena konflik
telah terselesaikan.
“Pada saat masyarakat mengalami situasi konflik yang sukar dibuktikan
secara undang-undang, misalnya didakwa sebagai penyebab sakitnya orang
lain, didakwa mencuri, atau didakwa melakukan perselingkuhan dengan
orang lain, maka sumpah pocong merupakan alternatif yang boleh
ditawarkan untuk membuktikan bahwa dakwaan tersebut tidak benar,” tulis
mereka.
Maksud dari “penyebab sakitnya orang lain” yang ditulis Azlinda Azman
dan kawan-kawan adalah santet. Kasus dukun santet adalah pemicu paling
tinggi dalam praktik sumpah pocong di Indonesia.
Saat peristiwa pembunuhan terhadap orang-orang yang dituduh dukun santet
merebak di Jawa Timur setelah 1998, sumpah pocong menjadi salah satu
media yang menyelamatkan para tertuduh.
Baca juga:
* Soal Kasus 1998, OSO: Wiranto Tegakkan Hukum Bukan Sumpah Pocong
<https://tirto.id/soal-kasus-1998-oso-wiranto-tegakkan-hukum-bukan-sumpah-pocong-dhSh>
Lutfi Ahmad, seorang warga asal Desa Cangkring, Kecamatan Jenggawah,
Jember, Jawa Timur bahkan dijuluki “juru selamat” karena ia tak pernah
absen dalam setiap sumpah pocong yang dilakukan warga yang ketakutan
karena dituding sebagai dukun santet. Ia yang telah menggelar lebih dari
1.000 sumpah pocong dipuja warga.
“Hampir saban hari ia melakukan penyumpahan. Sekali upacara tak jarang
diikuti sampai tujuh orang yang dituding sebagai tukang santet. Hasilnya
ampuh. Warga yang telah disumpah dengan mengenakan kain kafan bak
jenazah itu selamat dari amukan warga,” tulis /Gatra/
<http://arsip.gatra.com/2003-12-05/majalah/artikel.php?pil=23&id=34296>.
Sementara Heru Saputra dalam /Memuja Mantra: Sabuk Mangir dan Jaran
Goyang Masyarakat Suku Using Banyuwangi/ (2007) mencatat, praktik sumpah
pocong juga kerap dilakukan warga Using, Banyuwangi. Menurutnya, sebelum
geger pembantaian dukun santet terjadi, budaya /Using/ tidak mengenal
pembunuhan terhadap dukun dengan cara pembantaian.
Mekanisme sumpah pocong yang dipimpin seorang kiai di bawah kitab suci
Alquran di dalam sebuah masjid atau langgar, melegitimasi kejujuran
seseorang yang dituduh sebagai dukun santet.
“Mekanisme budaya seperti itu merupakan salah satu model penyelesaian
kekerasan dan sekaligus merupakan refleksi bahwa budaya Using tidak
menyukai kekerasan, setidak-tidaknya kekerasan secara terbuka,” imbuhnya.
Infografik Sumpah Pocong
Namun, menurut Nicholas Herriman dalam /Negara vs Santet/ (2013), sumpah
pocong justru hanya menjadi instrumen sementara bagi meredakan
ketegangan antara warga dengan orang yang dituduh sebagai dukun santet.
Setelah sumpah pocong digelar, warga kembali diserang hal-hal
supernatural sehingga praktik sumpah tersebut dianggap tidak efektif.
Sementara dari sisi orang yang dituduh sebagai dukun santet, cara lain
untuk menyelamatkan nyawanya adalah meninggalkan desa tempat mereka
tinggal. Dan pada akhirnya, warga yang terus-menerus tak mendapatkan
solusi atas pelbagai kasus dukun santet, mengambil kesimpulan bahwa
satu-satunya cara yang efektif untuk mengatasi dukun santet adalah
dengan membunuhnya.
Meski dalam catatan Nicholas Herriman sumpah pocong dianggap tidak
efektif dalam menyelesaikan kasus sumpah pocong, tapi mayoritas praktik
sumpah ini dapat mengatasi konflik. Hal ini kemudian kerap hadir dalam
persidangan kasus perdata.
Badriyah Harun dalam /Tata Cara Menghadapi Gugatan/ (2010) menjelaskan,
terdapat tiga jenis sumpah yang dijadikan alat bukti keperdataan, yakni
sumpah pelengkap, sumpah pemutus, dan sumpah penaksiran.
Ia menambahkan, ketiga sumpah tersebut bersifat memberikan keterangan
untuk meneguhkan sesuatu apakah benar atau tidak, atau berjanji untuk
melakukan sesuatu atau tidak.
Menurutnya sumpah pemutus adalah sumpah yang diminta oleh pihak lawan
pada pihak lainnya. Menolak untuk melakukan sumpah pemutus mengakibatkan
dikalahkannya bukti, baik itu dari tergugat maupun penggugat.
“Sumpah pemutus dikenal dengan sumpah pocong, sumpah kelenteng, ataupun
sumpah mimbar/gereja,” tulisnya.
Hal serupa ditulis Nur Muhammad Wahyu Kuncoro dalam /Jangan Panik Jika
Terjerat Kasus Hukum/ (2011). Ia menyampaikan, dalam sumpah pemutus,
pihak yang memerintahkan kepada lawan untuk bersumpah disebut
/defferent/. Sumpah ini harus /litis dicissoir/, artinya harus bersifat
menentukan. Dan sumpah ini salah satunya dapat berupa sumpah pocong yang
dilakukan di masjid.
Sementara pendapat berbeda disampaikan Wahyu Muljono dalam /Teori dan
Praktik Peradilan Perdata di Indonesia/ (2012). Ia menilai sumpah pocong
bukan termasuk sumpah pemutus karena tidak diatur dalam pelbagai aturan.
“Tidak ada aturannya […] penulis beranggapan bahwa sumpah pocong ataupun
sumpah kelenteng itu bukan sumpah pemutus. Karena baik aturan kelenteng
maupun aturan hukum Islam, tak mengatur masalah tersebut, juga KHU
Perdata tidak mengenalnya,” terangnya.
Meski sumpah pocong disebut-sebut kerap hadir dalam ranah hukum
khususnya perdata, tapi tentu saja “ranah hukum” yang mesti ditempuh
dalam konteks perseteruan Wiranto dan Kivlan Zen bukan yang seperti ini.
Wiranto dan Kivlan Zen, dua pensiunan tentara itu, bukan dukun santet,
bukan pula orang yang terjerat dalam persoalan keseharian rakyat kecil.
Mereka para elite, tahu bahwa Indonesia adalah negara hukum. Untuk
membuktikan apakah mereka terlibat atau tidak dalam peristiwa yang
tonggak penting sejarah Indonesia, tentu tak sepatutnya dibuktikan atau
diselesaikan dengan sumpah pocong. Perseteruan Wiranto dan Kivlan,
sekaligus menunjukkan siapa diri sebenarnya elite tersebut.
Baca juga artikel terkait KERUSUHAN MEI 98
<https://tirto.id/q/kerusuhan-mei-98-hPv?utm_source=Tirtoid&utm_medium=Lowkeyword>
atau tulisan menarik lainnya Irfan Teguh
<https://tirto.id/author/irfanteguh?utm_source=Tirtoid&utm_medium=Lowauthor>
(tirto.id - Sosial Budaya)
Penulis: Irfan Teguh
Editor: Suhendra
Tak patut bila sumpah pocong dijadikan instrumen untuk mengadili para
mantan perwira dalam kerusuhan Mei 1998