-- 
j.gedearka <j.gedea...@upcmail.nl>



https://news.detik.com/kolom/d-4993150/zero-covid-19-harus-jadi-tekad-bersama?tag_from=wp_cb_kolom_list



Kolom

Zero COVID-19 Harus Jadi Tekad Bersama

Bambang Soesatyo - detikNews
Senin, 27 Apr 2020 16:28 WIB
0 komentar
SHARE URL telah disalin
Ketua MPR Bambang Soesatyo (Bamsoet)
Foto: Istimewa
Jakarta -

Semua orang akhirnya harus sampai pada kesadaran bersama bahwa pandemi COVID-19 
yang berlarut-larut tak hanya memenjarakan, tetapi juga merampas kebebasan 
setiap individu. Lebih dari itu, jika tidak tumbuh kesadaran dan keinginan 
bersama memutus rantai penularannya, pandemi COVID-19 akan menuntun semua orang 
ke dalam perangkap kebuntuan yang menyebabkan penderitaan berkepanjangan.

Tanpa dipaksa dan sekadar diimbau, miliaran orang di berbagai belahan dunia 
patuh dan memilih 'memenjarakan diri' di rumah karena takut tertular COVID-19. 
Kendati menyandang status manusia merdeka, namun demi tetap sehat dan selamat, 
semua orang bahkan rela kebebasannya 'direnggut' oleh virus yang satu ini. 
Keluar rumah atau bepergian dibatasi. Pintu-pintu gerbang pemukiman ditutup. 
Mudik dilarang. Alih-alih berangkulan, jabat tangan pun tidak diperkenankan. 
Virus ini pun 'memberangus' kebebasan berkumpul, termasuk untuk beribadah 
sekali pun. Bekerja di kantor atau belajar di sekolah juga tidak diperkenankan. 
Hingga hari kedua atau ketiga, diam di rumah saja itu mungkin masih 
menyenangkan. Ceritanya menjadi sangat berbeda ketika masuk pekan kedua. Bagi 
banyak orang yang terbiasa aktif dan menekuni kegiatan-kegiatan produktif 
seperti komunitas pekerja, berlarut-larutnya keharusan diam di rumah justru 
dirasakan cukup menyiksa. Mahasiswa dan pelajar yang terbiasa bergerak dinamis 
pun merasakan hal yang sama.

Pertanyaannya, sampai berapa lama lagi kehidupan tak menyenangkan seperti 
sekarang ini akan berlangsung? Pertanyaan seperti ini mungkin belum waktunya 
dikedepankan sekarang, karena memang belum ada yang mampu memberi jawaban 
meyakinkan. Di ruang publik, yang muncul hanya perkiraan dengan versi sangat 
beragam. Sedangkan upaya para ahli menghadirkan vaksin COVID-19 belum 
membuahkan hasil. Jerman, Israel, Inggris, Iran, Tiongkok hingga Rusia 
mengklaim sudah melakukan uji coba klinis Vaksin dimaksud. Masih butuh waktu 
cukup lama sebelum vaksin itu diperkenankan untuk mengobati manusia.

Sebaliknya, fakta yang mengemuka justru mendorong dan mengharuskan semua orang 
tetap dan terus waspada agar tidak terinfeksi COVID-19. Bagi masyarakat 
Indonesia misalnya, tren pandemi COVID-19 bisa dilihat dan dipahami dari data 
resmi yang dipublikasikan pemerintah setiap harinya. Tak kalah pentingnya 
adalah menyimak dan mencermati pernyataan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) 
serta kecenderungan di negara lain. Pada pekan keempat April 2020, WHO merilis 
sebuah perkiraan yang sangat patut diwaspadai. Menurut WHO, virus Corona masih 
akan terus berada di dunia untuk waktu yang lama. Sebab, banyak negara yang 
saat ini masih berada dalam tahap awal pandemi. "Jangan salah, kita masih harus 
menempuh jalan panjang. Virus ini akan bersama kita untuk waktu yang lama," 
kata Direktur Jenderal WHO, Tedros Adhanom Ghebreyesus, dalam konferensi pers 
virtual di Jenewa, Swiss, Kamis (23/4).

Sebelumnya, WHO Asia Tenggara memublikasikan media briefing sebagai peringatan 
dan saran kehati-hatian untuk negara-negara di Asia Tenggara, termasuk 
Indonesia. Menurut WHO, gelombang episentrum wabah Corona dari Amerika Serikat 
(AS) dan Eropa akan menuju Asia Tenggara. Potensi pergeseran gelombang 
episentrum wabah Corona ke kawasan Asia Tenggara bisa jadi sangat besar jika 
tidak dikendalikan dari sekarang.

Dalam konteks global, tren pandemi COVID-19 memang masih memprihatinkan. 
Menurut hasil pengumpulan data oleh Universitas Johns Hopkins, hingga pekan 
keempat April 2020, total pasien positif COVID-19 di seluruh dunia mencapai 2,8 
juta, dengan jumlah meninggal 200.000 pasien. Kecenderungan di Amerika Serikat 
(AS) dan Inggris sangat memilukan. Hingga akhir pekan lalu, data yang 
dikumpulkan dari semua RS di Inggris mencatat 20.319 kematian, sementara total 
pasien meninggal di AS sudah menyentuh angka 51.000. Berdasarkan kecenderungan 
di AS dan Inggris, serta menjadikan pernyataan WHO sebagai pijakan, semua 
negara, termasuk Indonesia, tentu harus tetap waspada.

Target Bersama

Sangat penting untuk terus menerus mengingatkan masyarakat tentang urgensi 
menerapkan pembatasan sosial dengan konsisten di semua daerah. Hanya dengan 
cara itu, cegah-tangkal penularan COVID-19 bisa efektif, terutama karena 
penularannya lebih ditentukan oleh aktivitas mereka yang sudah terinfeksi. Jika 
konsistensi pembatasan sosial terjaga, patut untuk diyakini bahwa Indonesia 
tidak akan menjadi episentrum pandemi COVID-19. Sekali lagi, peran semua kepala 
daerah dan partisipasi masyarakat menjadi faktor kunci. Zero pasien COVID-19 
harus menjadi tekad bersama dan sebisa mungkin diwujudkan dengan cepat.

Sebab, sangat berbahaya jika penerapan pembatasan sosial atau PSBB (pembatasan 
sosial berskala besar) menjadi berlarut-larut. Durasi pembatasan sosial yang 
berkepanjangan tidak hanya memenjarakan masyarakat di rumah masing-masing, 
tetapi juga akan menuntun semua orang ke dalam perangkap kebuntuan yang 
menyebabkan penderitaan berkepanjangan. Saat ini, situasinya mungkin belum 
layak disebut buntu karena semua orang masih berharap pandemi COVID-19 segera 
berakhir dalam jangka dekat, dan dinamika kehidupan bisa segera pulih, termasuk 
menggerakkan mesin perekonomian di semua sektor dan sub-sektor. Penderitaan 
akibat menurun atau hilangnya nilai penghasilan komunitas pekerja masih bisa 
diatasi dengan jaringan pengaman sosial yang disediakan pemerintah, walaupun 
nilainya terbilang minimalis.

Akan tetapi, jika pandemi COVID-19 tidak segera bisa diakhiri, pembatasan 
sosial dengan ragam ketentuan pengetatan tentunya harus berlanjut. Misalnya, 
kegiatan produksi di pabrik harus dihentikan. Kantor-kantor ditutup. Kegiatan 
distribusi dibatasi dan diperketat. Layanan transportasi masal dikurangi dalam 
skala ekstrim. Pusat belanja (mal) dan restoran harus tutup. Konsekuensinya, 
pemutusan hubungan kerja (PHK) pun tak terhindarkan. Pembatasan yang 
berlarut-larut akan memerangkap semua orang pada kebuntuan. Tidak ada lapangan 
kerja yang tersedia walaupun semua orang ingin bekerja untuk mendapatkan 
penghasilan atau upah. Pada gilirannya, yang terjadi kemudian adalah 
menggelembungnya jumlah warga miskin.

Kalau Bali berpotensi rugi hingga Rp 135 triliun akibat pandemi COVID-19, 
berapa banyak pekerja yang tidak lagi berpenghasilan karena tidak bekerja. 
Maskapai penerbangan lokal mencatat rugi lebih dari Rp 2 triliun. Tentu sangat 
banyak karyawan yang dirumahkan atau berkurang pendapatannya. Di Jawa Tengah 
dan Yogyakarta, tidak kurang dari 30 ribu pekerja sektor pariwisata terancam 
kehilangan pekerjaan. Sementara itu, dilaporkan juga bahwa petani dan buruh 
sawit terancam kelaparan karena tidak memiliki akses atas komoditas pangan. Hal 
ini terjadi karena ekspor sawit melambat. Bantuan sosial (bansos) sembako dari 
pemerintah tidak diterima oleh para petani dan buruh sawit. Ini adalah 
penggalan dari keseluruhan penderitaan yang dialami masyarakat akibat pandemi 
COVID-19 yang mengharuskan diterapkannya pembatasan sosial dengan ketat.

Masyarakat Indonesia perlu melihat negara lain untuk sekadar dijadikan contoh. 
Untuk menghindari kebuntuan, sejumlah negara mulai melonggarkan ketentuan 
penguncian atau lockdown. Pemerintah Tiongkok telah mencabut status isolasi 
provinsi Hubei dan Wuhan. Begitu juga dengan Korea Selatan. Di Eropa, mulai 
dari Italia, Spanyol, Jerman, Prancis, Denmark hingga Austria dan Ceko juga 
melakukan hal yang sama. Sejumlah kegiatan produktif masyarakat mulai bergeliat 
lagi.

Masyarakat Indonesia pun harus berambisi segera memulihkan dinamika kehidupan 
bersama. Syaratnya, harus ditumbuhkan kesadaran dan keinginan bersama memutus 
rantai penularan Covid-19 guna menghindari kebuntuan akibat terhentinya 
aktivitas perekonomian.

Bambang Soesatyo, Ketua MPR RI
(prf/ega)






Reply via email to