Serba-serbi aktivitas masyarakat hari ini.
Lusi.

1.:

Mahasiswa UKI Bolos Kuliah untuk Perjuangkan Nasib Rakyat

Selasa, 24 September 2019 – 14:35 WIB

jpnn.com, JAKARTA - Gedung DPR masih dikepung ribuan mahasiswa, Selasa
(24/9) siang. Mereka menggelar aksi unjuk rasa untuk menolak pengesahan
Revisi UU KPK, menolak RKUHP, dan menolak kenaikan iuran BPJS.

Satu di antara massa yang hadir yakni Yunarto Sihotang. Pria 23 tahun
itu ialah mahasiswa Universitas Kristen Indonesia atau UKI. 

Yunarto datang dengan menumpangi sebuah bus. Pria Batak itu datang
bersama puluhan rekannya sesama Fakultas Hukum UKI.

"Tadi datang naik bus. Ya, jadi naik angkutan umum, sebagian naik
motor. Cuma kami tidak menyewa bus secara khusus," kata Yunarto ditemui
JPNN.com di depan Gedung DPR, Jakarta.

Yunarto mengaku perkuliahan di UKI tetap beraktivitas normal saat aksi
demonstrasi berlangsung di DPR. Namun, dia mengaku lebih memilih ikut
aksi bersama rekan mahasiswa di depan Gedung DPR, ketimbang masuk kelas
untuk mengikuti perkuliahan.

"Kuliahnya di DPR. Apabila ada mahasiswa menganggap dirinya terlalu
tinggi dan enggan turun aksi, lebih baik rebahan dan dikafani saja
mereka," ucap dia.

Beberapa alasan diungkapkan Yunarto dengan memilih ikut aksi ketimbang
kuliah di kelas. Alasan pertama, kata dia, terdapat ilmu yang
didapatkan mahasiswa ketika ikut aksi.

"30 persen ilmu didapat di bangku kuliah. Sisanya 70 persen ilmu
didapat dari yang seperti ini (ikut aksi)," lanjut dia. Selain itu,
kata dia, pilihan untuk mengikuti aksi di depan Gedung DPR ialah
panggilan nurani sebagai mahasiswa. Dia ingin berjuang menyejahterakan
rakyat yang terimbas kebijakan pemerintah menaikkan BPJS Kesehatan.

"Ya, rakyat Indonesia kelas rendah. Itu ngos-ngosan karena BPJS
dinaikkan. Sudah begitu, DPR juga berupaya memadamkan KPK melalui
Revisi UU KPK," tutur dia. (mg10/jpnn)


2.:

Sebaiknya Pak Jokowi Keluarkan Perppu Pembatalan UU KPK ketimbang
Dipaksa Turun Takhta

Selasa, 24 September 2019 – 15:25 WIB

jpnn.com, JAKARTA - Pengamat politik Dedi Kurnia menyarankan kepada
Presiden Joko Widodo agar segera menerbitkan peraturan pemerintah
pengganti undang-undang (perppu) untuk membatalkan UU Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) hasil revisi.

Menurut Dedi, perppu bisa menjadi solusi bagi presiden yang beken
disapa dengan panggilan Jokowi itu agar tak terus-menerus menghadapi
gelombang demonstrasi yang makin luas.

Dedi mengatakan, gelombang demonstrasi yang terus membesar bisa
membahayakan Jokowi. Sebab, bisa saja akhirnya tuntutan peserta aksi
adalah melengserkan Jokowi dari kursi kepresidenan.

Menurut Dedi, gerakan pengunjuk rasa sudah muncul sejak polemik seleksi
calon pimpinan KPK. Selanjutnya, gelombang pengunjuk rasa menguat
setelah Presiden Jokowi dan DPR menyetujui pengesahan RUU KPK.

“Sementara pemerintah dan parlemen abai terhadap benih gerakan yang
berturut terjadi di KPK. Dan inilah hasil mobilisasi mahasiswa yang
sering dianggap tidak ada selama ini," kata Dedi kepada jpnn.com,
Selasa (24/9).

Lebih lanjut Dedi mengatakan, gerakan unjuk rasa yang terus bergulir
bisa melahirkan dua agenda. Pertama, kelompok pengunjuk rasa yang fokus
pada tuntutan pembatalan UU KPK dan penghentian pembahasan RKUHP.

Kedua, ada potensi gerakan ini melebar ke isu mosi tidak percaya.
“Berujung tuntutan presiden turun takhta," kata dia.

Dedi menilai potensi kedua harus diwaspadai oleh mahasiswa dan
pemerintah. Sebab, bisa saja ada kelompok lain yang menyusupkan agenda
terselubung.

"Menghadapi gerakan mahasiswa ini pemerintah harus bijak, harus
mengambil sikap berani mengakui kesalahan dengan gulirkan perppu
pembatalan UU KPK, karena dengan bersikeras, gerakan punya potensi
membesar, dan tentu isu bisa bergeser, dari soal perundangan, beralih
ke tuntutan presiden mundur," jelas dia.(tan/jpnn)

"Menghadapi gerakan mahasiswa ini pemerintah harus bijak, harus
mengambil sikap berani mengakui kesalahan dengan gulirkan perppu
pembatalan UU KPK, karena dengan bersikeras, gerakan punya potensi
membesar, dan tentu isu bisa bergeser, dari soal perundangan, beralih
ke tuntutan presiden mundur," jelas dia.(tan/jpnn)



3.

Cukong Pembakar Lahan Belum Tersentuh, Eh..Kakek Pembakar Jerami Ini
Langsung Ditahan 

R24/saut
Selasa, 24 September 2019 | 10:34 WIB

RIAU24.COM -  Kebakaran hutan dan lahan yang menyebabkan kabut asap
memang telah menimbulkan korban yang sangat banyak. Baik warga yang
menderita sakit, bahkan sampai meninggal dunia. Wajar jika kemudian
masyarakat meminta pelaku pembakar lahan dihukum berat.

Pihak kepolisian memang sudah banyak menangkap pelaku pembakaran lahan.
Namun sayangnya, para pelaku yang ditangkap kebanyakan hanya di level
operator lapangan, bukan pemberi perintah atau cukong pemilik lahan.
Bahkan, ada juga warga yang sebenarnya hanya membakar semak belukar
setelah membersihkan lahan ikut ditangkap.

Hal inilah yang dialami kakek Afendi (65 tahun), warga Desa Suka Damai,
Kecamatan Pedamaran, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera
Selatan. Pria yang sudah mempunyai dua orang cucu itu kini harus
meringkuk di jeruji besi setelah ditetapkan sebagai tersangka kasus
kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Sumsel.

Pengakuan Afendi, ia tak punya niat untuk membakar lahan, apalagi
sampai berurusan dengan aparat kepolisian. Semua peristiwa tersebut
menurutnya terjadi karena ketidaktahuannya ada larangan membakar lahan.

Kisah duka Afendi, bermula pada Juli 2019, saat itu ia berencana untuk
menanam mentimun di lahan seluas 20 meter persegi milik Lukman, sang
pemilik lahan. Lahan tersebut merupakan area persawahan yang baru
selesai masa panen. "Lahan itu saya sewa Rp 800 ribu dari Lukman,
karena sambil menunggu masa tanam lahan itu biasanya tidak
dimanfaatkan. Nah, saya rencananya mau tanam mentimun di lahan itu,"
katanya saat ditemui di Kepolisian Daerah (Polda) Sumsel, Senin (23/9)
seperti dilansir kumparan.

Sebelum lahan bisa ditanami, ia membersihkan sisa-sisa jerami di lahan
tersebut terlebih dahulu. Kemudian, ia menempatkan jerami tersebut
dalam satu tumpukan lalu membakarnya. "Jadi dibersihkan dulu, setelah
itu baru bisa ditanami," katanya.

Karena hari sudah sore, ia pun memilih beristirahat di pondok tak jauh
dari lokasi, sembari menunggu pembakaran tumpukan jerami padam. Namun
setelah magrib, Afendi didatangi sejumlah orang yang mengaku dari
kepolisian. Saat itu api sudah padam.

"Saya lupa ada berapa orang yang datang waktu itu. Mereka datang dan
bilang kalau saya sudah melakukan kesalahan karena membakar lahan. Saya
juga diminta ikut mereka ke kantor polisi," terangnya.

Hal itu pun membuat Afendi kaget dan serta bingung, karena sepanjang
umurnya baru pertama kali ini berurusan dengan pihak kepolisian.
"Ya mau bagaimana lagi. Takdirnya sudah seperti ini," katanya.

Suami dari Banui ini mengaku, di awal penahanan dirinya sempat stres
dan tidak makan hingga dua hari. Hal itu karena ia memikirkan nasib
keluarganya setelah ia ditahan. Apalagi, kedua anaknya berada jauh dari
kampung halaman.

Afendi hanya bisa berharap agar proses hukum yang diterima dapat adil.
"Kalau memang yang saya lakukan itu salah. Saya bersedia menerima
hukuman tersebut," katanya. ***

R24/bara


4.:

Ini 8 Tuntutan DPRD Papua dan Papua Barat ke Jokowi, Nomor 6 Terkait
Pelanggaran HAM

R24/saut 

RIAU24.COM -  Forum Pimpinan DPRD Kabupaten/Kota dan se-Papua dan Papua
Barat menyampaikan delapan tuntutan terkait situasi Papua kepada
Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk ditindaklanjuti.

Surat tuntutan itu disampaikan Ketua DPRD Kabupaten Maybrat Ferdinando
Solossa melalui Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko, Selasa (24/9).

Menurut Ferdinando, delapan tuntutan yang pihaknya sampaikan berbeda
dari 61 tokoh Papua yang sebelumnya sudah bertemu Jokowi beberapa waktu
lalu dengan difasilitasi Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Budi
Gunawan.

"Apa yang disampaikan tokoh-tokoh itu pada prinsipnya baik. Tinggal
hanya disayangkan adalah minimal melakukan komunikasi konsolidasi
kepada semua stakeholder di sana. Pemerintah ini kan ada wakil
pemerintah pusat di daerah, dan ada DPRD sebagai representasi rakyat,"
kata Ferdinando di Kantor Staf Kepresidenan, seperti dilansir
cnnindonesia.

Ia berharap tuntutan yang diajukan para wakil rakyat di Papua ini bisa
diakomodir pemerintah pusat karena merupakan aspirasi rakyat Papua.
"Sehingga apa yang disampaikan itu bukan sepotong-potong, tapi lengkap
persoalan yang terjadi di tanah Papua," ujarnya.

Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko mengaku telah menerima delapan
tuntutan dari forum pimpinan DPRD Kabupaten/Kota se-Papua dan Papua
Barat. Ia berjanji segera menyampaikan tuntutan itu kepada Jokowi.
"Dari teman-teman anggota DPRD tadi menyampaikan poin-poin yang akan
disampaikan ke presiden melalui saya, dan nanti segera akan kami
sampaikan kepada bapak presiden," ujarnya.

Berikut delapan tuntutan kepada Jokowi:

1. Dialog antara pemerintah pusat dan tokoh-tokoh Papua, khususnya
tokoh-tokoh yang dipandang memiliki ideologi yang konfrontatif atau
berseberangan seperti United Liberation Movement for West Papua (ULMWP)
dan Komite Nasional Papua Barat (KNPB).

2. Mendesak kepada pemerintah pusat untuk segera melakukan revisi
terhadap Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Daerah Otonomi
Khusus Papua.

3. Menarik pasukan non-organik TNI dan Polri di Papua dan Papua Barat.

4. Mendorong pembentukan pemekaran daerah otonomi baru khusus bagi
provinsi Papua dan Papua Barat.

5. Meminta kepada Presiden Indonesia melalui Menteri Dalam Negeri dan
Kapolri memfasilitasi pertemuan dengan beberapa kepala daerah yang
wilayahnya menjadi pusat pendidikan pelajar mahasiswa Papua dan Papua
barat untuk mendapatkan jaminan keamanan.

6. Mendorong terbentuknya komisi kebenaran, keadilan, dan rekonsiliasi
(KKKR) guna menyelesaikan sejumlah kasus pelanggaran HAM di tanah Papua.

7. Meminta Mendagri memfasilitasi pertemuan gubernur, bupati/walikota,
MRP/MRPB, DPR daerah pemilihan Papua dan Papua barat, pimpinan DPRD
provinsi, pimpinan DPRD kabupaten/kota se-provinsi Papua dan Papua
Barat dengan Presiden untuk menyampaikan permasalahan yang terjadi di
tanah Papua.

8. Penegakan hukum yang transparan, terbuka, jujur, dan adil terhadap
pelaku rasisme di Surabaya, Malang, dan Makassar.




5.:

Disebut Moeldoko Jadi Penghambat Investasi, KPK Balas Dengan Jawaban
Menohok Ini

R24/wan

Selasa, 24 September 2019 | 09:57 WIB

RIAU24.COM -  Di tengah maraknya aksi menolak revisi Undang-undang
tentang KPK, Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko, malah menyebutkan
lembaga antirasuah itu sebagai penghambat investasi di Tanah Air.

Pernyataan itu langsung direspon juru bicara KPK, Febri Diansyah.
Selain menyayangkan pernyataan itu, dengan tegas ia menyatakan
pernyataan Moeldoko tersebut merupakan analisa tanpa dan dan tidak
konsisten sama sekali.

“Kami (KPK) sangat menyayangkan pernyataan tersebut,” ujar Febri dalam
pesan singkatnya, Senin (23/9/2019) tadi malam.

Dilansir republika, Febri tak ingin menganggap tuduhan kepada KPK itu
dianggap sebagai upaya pemerintah untuk membiarkan kembali maraknya
prilaku korupsi di lini bisnis dan investasi di Indonesia.

Namun ia juga tak menampik, tudingan yang disebut Moeldko tersebut
memang terkesan memberikan legitimasi praktik korupsi hanya demi
kemajuan ekonomi. Atau pemerintah terkesan seperti memaklumi praktik
koruptif, demi alasan investasi.

“Oleh karena itu, perlu data yang valid sebelum terburu-buru
menyimpulkan sesuatu,” tambahnya.

Menurutnya, pernyataan Moeldoko itu bukan hanya tak berdasar, melainkan
juga menggambarkan inkonsistensi penilaian pemerintah sendiri terkait
dengan investasi di Indonesia.

Ia kemudian mengutip pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani pernah
menyampaikan tentang indeks kemudahan berbisnis dan berinvestasi di
Indonesia yang terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Selain
itu, data Badan Kordinasi Penanaman Modal (BPKM) justru menunjukkan
adanya peningkatan realisasi investasi dari tahun ke tahun.

Padahal selama penilaian itu berjalan, penindakan yang dilakukan KPK
tetap berjalan normal.
“Pertanyaannya (kepada Moeldoko) investasi apa dan yang mana yang
dimaksud terhambat?” tandasnya.

Bahkan sebaliknya, justru para ekonom dan investor semakin yakin
berinvestasi dengan adanya KPK. Sebab, investor butuh analisis tentang
kepastian hukum, terutama dalam sistem hukum pemberantasan budaya
koruptif.

Apalagi, kata Febri, investor tersebut berasal dari negara dengan
peringkat antikorupsi yang tinggi. Itu sebabnya, tudingan Moeldoko
tersebut jadi sangat tidak relevan. ***



6.:

Jokowi Tolak Cabut UU KPK, ICW: Janji-janji Selama Ini Hanya Halusinasi

Kompas.com - 24/09/2019, 15:13 WIB

Penulis Nur Rohmi Aida | Editor Inggried Dwi Wedhaswary 

JAKARTA, KOMPAS.com – Peneliti Indonesia Corruption Watch Kurnia
Ramadhana mengkiritisi sikap Presiden Joko Widodo yang menolak tuntutan
untuk mencabut UU tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atau UU
KPK versi revisi. 

Menurut dia, sikap itu menunjukkan bahwa janji penguatan pemberantasan
korupsi dan penguatan KPK bersifat semu. 

Pada Senin (23/9/2019), Presiden Jokowi menyatakan menolak tuntutan
mencabut UU KPK yang disampaikan dalam sejumlah aksi yang berlangsung
sejak kemarin hingga hari ini, Selasa (24/9/2019). 

“Ini sudah berkali-kali terjadi. Sikap yang menunjukkan
ketidakberpihakan pada pemberantasan korupsi. Pertama, Jokowi langsung
menyerahkan nama-nama capim KPK yang kita pandang bermasalah. Soal
revisi UU KPK, ia punya waktu 60 hari tetapi langsung setuju. Kini saat
ada opsi Perppu, Jokowi kembali menolak,” kata Kurnia, saat dihubungi
Kompas.com, Selasa siang. 

Ia menyayangkan sikap penolakan ini disampaikan Jokowi saat berbagai
elemen melakukan aksi di berbagai wilayah di Indonesia. 

"Padahal aksi tersebut bukanlah aksi tanpa argumentasi yang jelas. Di
mana beberapa legislasi yang disetujui oleh pemerintah dan DPR tersebut
benar-benar mengebiri demokrasi, khususnya terkait KPK dan
pemberantasan korupsi," papar dia. 

Dengan kata lain, menurut dia, sikap Jokowi menunjukkan komitmen
antikorupsi di pemerintahannya belum terbukti. 

“Janji-janji yang selama ini diucapkan hanya halusinasi belaka. Karena
sudah jelas banyak tokoh bicara ini, tapi rasanya Jokowi tak menganggap
penting untuk mendengarkan aspirasi masyarakat,” kata Kurnia. 

Kurnia menilai, saat ini solusi yang bisa ditempuh hanya melalui jalur
konstitusional yaitu judicial review di Mahkamah Konstitusi. 

Sejumlah lembaga, termasuk ICW telah bersiap untuk mengajukan judicial
review ke MK.

“Kami (ICW) meyakini MK akan dibanjiri judicial review Undang-Undang
KPK,” kata dia. 

Menurut dia, jika itu terjadi, pemerintah dan DPR seharusnya malu.

“Kalau sampai seperti itu, harusnya mereka malu karena kualitas
legislasi yang mereka buat dengan serampangan dan dalam waktu
yang tak panjang memiliki kualitas buruk hingga harus dilakukan uji
materi di MK,” ujar Kurnia. 

Saat ini, ICW masih melakukan analisa terhadap pasal-pasal yang
bertentangan dengan undang-undang. 

Mengenai isu lain yang muncul bersamaan dengan desakan pencabutan UU
KPK, Kurnia mengingatkan agar masyarakat tak kehilangan fokus terhadap
semua isu.

“Dari mulai isu RKUHP, proses pemilihan Pimpinan KPK, pembahasan revisi
UU KPK, dan undang-undang permasyarakatan. Ini menjadi benang merah
untuk mengonfirmasi ada niat buruk dari pemerintah dan DPR untuk
mengembalikan pemberantasan korupsi ke jalur lambat. Sementara,
sekarang ini sudah cepat dengan hadirnya KPK,” kata Kurnia. 

“Kita pandang semua legislasi ini penting. Sehingga konsentrasi harus
fokus ke semua isu. Karena di setiap regulasi yang dibahas DPR, ada
pasal-pasal yang diduga akan mengebiri demokrasi, mengancam kebebasan
berpendapat dan terkait isu korupsi,” lanjut dia.













Kirim email ke