*Masyaalloh, masayalloh, bahaya merah! Kalau para mahasiswa NKRI di Cina
diajarkan komunisme akan menyebabkan purn jenderal Zein dan konco-konco bin
sahabat rezim neo-Mojopahit tidur tak enak dan makan pun tak sedap rasanya.
hehehehehehe*


https://historia.id/mondial/articles/benarkah-mahasiswa-indonesia-di-cina-diajari-komunisme-DEe9j


Benarkah Mahasiswa Indonesia di Cina Diajari Komunisme?

Novi Basuki <https://historia.id/@novi.b>

3 Apr 2018, 08:01

   -

   GIKAN


[image: Benarkah Mahasiswa Indonesia di Cina Diajari Komunisme?]

Mahasiswa Indonesia di Tiongkok. Foto: Dok. PPI Tiongkok.

SELAMA dua hari berturut-turut sejak 1 hingga 2 April 2018, laman
*republika.co.id
<http://republika.co.id>* memuat artikel berjudul “Di Cina, Pelajar
Indonesia Dapat Pelajaran Ideologi Komunis” dan “Ribut-Ribut Ajaran
Komunisme Atas Pelajar RI di Cina”. Portal berita milik harian *Republika*
yang berdiri mulai 17 Agustus 1995 itu mengutip pernyataan Rektor
Universitas Muhammadiyah Surakarta Sofyan Anif yang belum lama ini diundang
ke Cina oleh Menteri Pendidikan Cina.

“Dalam pertemuan tersebut, kata Sofyan, salah satu rektor perguruan tinggi
di Cina mengungkapkan, saat ini Cina sedang gencar-gencarnya menanamkan
ideologi komunis kepada seluruh pelajar di Cina.” Dari situ Sofyan
berkesimpulan, “siswa yang berasal dari Indonesia pun juga pasti
mendapatkan pelajaran yang terkait ideologi komunis.” Supaya tak
terpengaruh komunisme, “Sofyan berharap Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah
sebagai dua organisasi Islam terbesar dapat terus bersatu dan bersama-sama
mendorong kemajuan Indonesia.”

Sebaliknya, “Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi
(Menristekdikti) Mohammad Nasir tidak mempermasalahkan jika
pelajar/mahasiswa Indonesia yang berkuliah di Cina belajar paham komunis.
Bagi Nasir, baik itu komunis, liberalis, maupun sosialis adalah salah satu
dari ilmu pengetahuan yang harus dipelajari.”

Meski begitu, Nasir mengingatkan, “mahasiswa Indonesia yang belajar di luar
negeri harus selalu memegang teguh ideologi Pancasila sebagai ideologi
dirinya.” Nasir lanjut menegaskan, “kalau [Pancasila, terutama sila
pertama] sudah tertanam, ya tidak akan terpengaruh paham komunis atau
lainnya.”

Demikian ditulis *Republika Online*.

Merasa keberatan dengan pemberitaan dimaksud, Pengurus Cabang Istimewa
Nahdlatul Ulama (PCINU) Tiongkok dalam suratnya bernomor
010/PCINUT/IV/2018, “meminta kepada Redaktur Republika untuk menarik
pemberitaan itu karena dapat mengganggu kenyamanan puluhan ribu mahasiswa
Indonesia yang sekarang tengah belajar di Tiongkok.”

Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Tiongkok pada 2 April 2018 ikut
melayangkan himbauan serupa. Tak ketinggalan, Atase Pendidikan KBRI di
Beijing, sebagaimana dikutip *Antara* (2/4), juga menyayangkan dan
menyarankan agar “memahami kurikulum pendidikan di China sebelum
menyampaikan komentar di media yang justru menimbulkan keresahan.”

Pertanyaanya, benarkah Cina “sedang gencar-gencarnya menanamkan ideologi
komunis kepada seluruh pelajar di Cina” seperti diungkap Sofyan?

Untuk menjawabnya, komposisi “seluruh pelajar di Cina” harus terlebih
dahulu dikategorikan menjadi tiga kelompok. Yakni, pelajar dari dalam
negeri (*ben guo xuesheng*); pelajar dari Hongkong, Makau, dan Taiwan
(*gang’aotai
xuesheng*); dan pelajar dari luar negeri (*wai guo liuxuesheng*).
Pemerintah Cina sengaja memisah pelajar dari Hongkong, Makau, dan Taiwan
dengan pelajar dari dalam negeri yang khusus merujuk kepada pelajar dari
Cina daratan, sebagai bentuk pengejawantahan asas “satu negara dua sistem”
yang dicetuskan Deng Xiaoping.

Kenapa mesti dipilah sedemikian rupa? Lantaran regulasi yang diberlakukan
terhadap tiga macam pelajar itu tidaklah sama. Perbedaan pemberian
pelajaran-umum-wajib (*gonggong bixiuke*) adalah salah satu amsal
konkretnya. Karena itu, dalam perkara ini, pemberitaan dengan cara memukul
rata ala *Republika* daring, sepatutnya dihindari.

Bagi pelajar dari Cina daratan, selain harus mengikuti pelajaran-pelajaran
jurusan yang ditempuh (*zhuanye bixiuke*), memang juga harus mengikuti
pelajaran-umum-wajib yang dikenal dengan sebutan “dua pelajaran” (*liang ke*).
Yaitu, Teori Marxisme; dan Pendidikan Pemikiran Politik.
“Pelajaran-umum-wajib” ini maksudnya pelajaran yang tidak boleh tidak
diikuti oleh seluruh pelajar tanpa pandang program pendidikan yang
digeluti. *Fardlu ‘ain* kepada siapa saja laiknya Pendidikan Moral
Pancasila di era Orde Baru.

“Dua pelajaran” itu sudah diwajibkan bagi pelajar dari dalam negeri sejak
awal Cina berdiri pada 1949. Mata pelajarannya, seiring perkembangan zaman,
mengalami beberapa kali perombakan. Kita mencatat, pembaruan mutakhir
dilakukan pada 2 Maret 2005 dengan dikeluarkannya “Pendapat Departemen
Propaganda Komite Sentral Partai Komunis Cina dan Kementerian Pendidikan
Cina Tentang Penguatan dan Penyempurnaan Pelajaran Teori-Pemikiran Politik
di Sekolah Tinggi” (*Zhonggong Zhongyang Xuanchuan Bu Jiaoyu Bu Guanyu
Jinyibu Jiaqiang he Gaijin Gaodeng Xuexiao Sixiang Zhengzhi Lilun Ke de
Yijian*).

Sesuai arahan dokumen yang biasa disebut “Program 05” (*05 Fang’an*)
tersebut, mata pelajaran untuk “dua pelajaran” terdiri dari empat macam.
Masing-masing, Prinsip Dasar Teori Marxisme; Pengenalan Pemikiran Mao
Zedong, Teori Deng Xiaoping, dan Pemikiran “Tiga Perwakilan”; Intisari
Sejarah Cina Modern; serta Pendidikan Pemikiran, Moral, dan Hukum Dasar.
“Program 05” masih berlaku sampai sekarang. Selanjutnya, karena Pemikiran
Xi Jinping (*Xi Jinping Sixiang*) sudah dimasukkan ke dalam Anggaran Dasar
Partai Komunis Cina dan Konstitusi Cina 2018, mata pelajaran “dua
pelajaran” kemungkinan akan mengalami penyesuaian di kemudian hari.

Jika kita perhatikan, keempat mata pelajaran di atas sebenarnya hanya
berfokus pada hal-hal “dasar”, “intisari”, dan “pengenalan” saja. Maka,
kalau kita coba bertanya perihal komunisme pada pelajar dari dalam negeri
yang bukan jurusan filsafat, politik, atau ekonomi, misalnya, jangan
berharap akan mendapatkan jawaban yang mendalam. Bahkan, di jurusan Ilmu
Politik pun, saya masih ingat betul, dulu, ketika tak ada satu pun teman
sekelas pascasarjana saya yang semuanya dari Cina mengaku pernah membaca
“Manifesto Komunis” ketika ditanya oleh profesor yang sedang mengajar
pelajaran “Politik Cina” di kelas.

Lain lagi buat mahasiswa dari Hongkong, Makau, dan Taiwan. Mereka, berdasar
pasal 16 bab 3 “Peraturan Penerimaan dan Pembinaan Pelajar dari Hongkong,
Makau, dan Taiwan di Sekolah Tinggi Umum” (*Putong Gaodeng Xuexiao Zhaoshou
he Peiyang Xianggang Tebie Xingzhengqu, Aomen Tebie Xingzhengqu ji Taiwai
Diqu Xuesheng de Guiding*) yang dikeluarkan Kementerian Pendidikan Cina
bersama lima lembaga pemerintah lainnya pada 12 Oktober 2016, dibolehkan
untuk tidak mengikuti pendidikan politik semacam “dua pelajaran” yang tak
bisa ditawar oleh pelajar dari Cina daratan.

Kalau hukum mengikuti “dua pelajaran” bagi pelajar dari Hongkong, Makau,
dan Taiwan yang notabene kedaulatan wilayahnya berada di bawah Cina adalah
mubah, maka sudah barang tentu tak ada kewajiban untuk mengikuti pelajaran
berbau ideologi itu bagi mahasiswa dari luar negeri.

Walakin, sebagai gantinya, pelajar dari luar negeri mempunyai kewajiban
untuk mengikuti pelajaran bahasa Mandarin dan Pengetahuan Dasar Seputar
Cina (*Zhongguo Gaikuang*). Ketentuan demikian diatur dalam pasal 16 ayat 2
“Metode Administrasi Penerimaan dan Pembinaan Mahasiswa Internasional di
Sekolah” (*Xuexiao Zhaoshou he Peiyang Guoji Xuesheng Guanli Banfa*) yang
dikeluarkan serempak oleh Kementerian Pendidikan Cina, Kementerian Luar
Negeri Cina, dan Kementerian Keamanan Publik Cina pada 20 Maret 2017.
Sebelumnya juga sudah diatur dalam pasal 24 “Ketentuan Administrasi
Penerimaan Pelajar Luar Negeri di Sekolah Tinggi” (*Gaodeng Xuexiao Jieshou
Wai Guo Liuxuesheng Guanli Guiding*) yang dikeluarkan oleh tiga kementerian
yang sama pada 31 Januari 2000.

Lantas, apa yang dipelajari dalam pelajaran Pengetahuan Dasar Seputar Cina?
Cuma sekelumit soal sejarah, geografi, pendidikan, filsafat, sastra, musik,
kaligrafi, agama, suku, politik, ekonomi, hubungan luar negeri, dan
seterusnya. Dengan luasnya cakupan bidang yang dipelajari itu, pengetahuan
yang didapat selama satu semester sudah pasti bakal berhenti pada soal
“siapa presiden Cina?”, “berapa jumlah penduduk Cina?”, “suku apa yang
mayoritas menganut Islam di Cina?”, dan pengetahuan remeh-temeh lainnya.

Oleh sebab itu, tak perlu waswas “hantu komunis” merasuki mahasiswa
Indonesia di Cina yang kini lebih dari 13.000 jumlahnya. Yang perlu
dikhawatirkan, mestinya, adalah mereka yang berkoar-koar kebangkitan
komunis sambil membakar bendera merah bergambar palu-arit yang entah
didapat dari mana padahal komunisme beserta artributnya dilarang di
Indonesia. Tiba-tiba, saya ingin mengutip novel juga. Tapi bukan *Ghost
Fleet* yang tenar mendadak itu. Yang ini judulnya *Jinghuayuan* (Bunga di
Cermin), karya Li Ruzhen, sastrawan zaman Dinasti Qing. Begini bunyinya, “*you
bu an ben fen de qiangdao, you wu shi sheng fei de qiangdao.*” Artinya,
“ada bandit yang tak tenang dengan pekerjaannya, ada juga bandit yang
pekerjaannya mengada-ngada.”

*Penulis adalah kontributor Historia di Cina, sedang studi doktoral di Sun
Yat-sen University, Cina.*
  • [GELORA45] tak sedap rasanya.... Sunny ambon ilmeseng...@gmail.com [GELORA45]

Kirim email ke