Indonesia yang berdasarkan Pertanian, Perkebunan, Peternakan, barang2 hasil tambang, ya paling mudah di sekolah mulai dari SD seharusnya pendidikan di bidang pertanian, perkebunan ( sayuran, buah2an), peternakan sederhana (ayam, kelinci, kambing), perikanan (mujair, lele) diajarkan dalam praktek, dan dijelaskan dengan teori. Kalau di kota rasanya sudah terlanjur sulit. Di desa masih mungkin ? dan rasanya juga cocok pendidikan praktek ini dengan kehidupan di desa?
Op di 25 aug. 2020 om 01:29 schreef ChanCT sa...@netvigator.com [URECA_SGT] <ureca_...@yahoogroups.com>: > > > > > > -------- 轉寄郵件 -------- > 主旨: [GELORA45] Menghidupkan (Kembali) Mata Pelajaran Pertanian di Sekolah > 日期: Mon, 24 Aug 2020 17:30:10 +0200 > 從: 'j.gedearka' j.gedea...@upcmail.nl [GELORA45] > <GELORA45@yahoogroups.com> <GELORA45@yahoogroups.com> > > > > > > > > > > > -- > j.gedearka <j.gedea...@upcmail.nl> <j.gedea...@upcmail.nl> > > > https://news.detik.com/kolom/d-5144144/menghidupkan-kembali-mata-pelajaran-pertanian-di-sekolah?tag_from=wp_cb_kolom_list > > Kolom > > *Menghidupkan (Kembali) Mata Pelajaran Pertanian di Sekolah* > > Iman Kurniawan - detikNews > > Senin, 24 Agu 2020 12:10 WIB > > > berkebun > Foto ilustrasi: iStock > Jakarta - > > Dahulu, pada tahun 1990 saat masih duduk di Sekolah Menengah Pertama (SMP) > betapa menyenangkan ketika mata pelajaran muatan lokal pertanian tiba. > Menyenangkan, karena kami bisa belajar di luar kelas. Apalagi mata > pelajaran muatan lokal ini tepat setelah mata pelajaran yang sangat memeras > otak --untuk standar otak saya. > > Di belakang kelas, sudah disiapkan lahan untuk kami olah. Setiap kelas > memiliki kaplingannya masing-masing. Kami dibagi beberapa kelompok yang > bertanggung jawab untuk tanamannya masing-masing. Setiap kelas menanam > jenis tanaman yang berbeda-beda. Ada yang menanam cabai rawit, menanam > bayam, menanam kangkung, hingga tanaman yang mudah tumbuh, yakni ubi kayu > (singkong). > > Menariknya, guru muatan lokal pertanian ini termasuk guru favorit saat > itu, karena sifatnya yang tidak pernah marah --meskipun pada saat jam > pelajaran beliau, kami terkadang bandel, banyak bercandanya, seperti meraih > cacing tanah yang kemudian dilemparkan ke murid perempuan. Jelas saja, si > murid lari terbirit-birit. Namun, beliau hanya tersenyum sembari > mengingatkan, agar kami kembali fokus ke tugas yang harus kami kerjakan. > > Pada mata pelajaran muatan lokal ini, kami tidak hanya praktik menanam. > Tetapi sekaligus juga memahami teori pertanian, khususnya tanaman pangan. > Sembari praktik, beliau sangat intens menjelaskan teorinya dengan penuh > kesabaran dan kami diminta untuk mencatat apa saja yang beliau anggap > penting. Misalnya, pupuk apa yang digunakan, berapa komposisinya. > Jenis-jenis hama apa saja yang harus diwaspadai dan bagaimana mengatasinya. > > Tak hanya itu, kami juga diajarkan bagaimana cara membuat pupuk organik > dari sampah organik yang ada di lingkungan sekolah. Kemudian, pupuk itulah > yang kami manfaatkan untuk tanaman belakang sekolah. > > Meski mata pelajaran muatan lokal ini hanya satu minggu sekali, tetapi > kami diminta untuk merawatnya setiap hari. Menyiraminya setiap hari, > memperhatikan perkembangannya. Jika ada yang layu, maka pada saat bertemu > mata pelajaran muatan lokal, beliau menjelaskan kemungkinan penyebabnya. > > Tentu saja tidak semua tanaman tumbuh dengan baik. Bagi kelompok yang > malas, sudah pasti tanamannya gagal. Meski begitu, pada saat panen tiba > tetap saja kami nikmati bersama-sama. Semua murid di kelas mendapat bagian, > termasuk juga guru-guru kami. Betapa senangnya, bisa membawa pulang hasil > panen ke rumah, menikmatinya bersama keluarga. Ada kebanggaan tersendiri > rasanya. > > Rata-rata, sekolahan dulu memiliki pekarangan yang cukup luas. Kalau > dibandingkan dengan sekolahan sekarang, jarang sekali punya pekarangan > luas, kecuali halaman upacara. Sekolahan di era sekarang, pekarangan yang > kosong biasanya dimanfaatkan untuk menambah gedung kelas baru. Alasannya, > jumlah kelas yang ada tidak mampu menampung jumlah siswa yang setiap > tahunnya terus bertambah. > > Kalau pada tahun sebelumnya Kelas 1 hanya 4 lokal, tahun berikutnya bisa > menjadi 5 lokal dan seterusnya. Sehingga, ada sekolah yang sampai > kekurangan murid dan ada pula sekolah yang kelebihan murid. Mengapa sekolah > tidak mampu menolaknya? Rasanya sayang saja, karena jumlah murid juga > mempengaruhi jumlah dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Bahkan sampai > ada sebutan untuk sekolah dengan jumlah murid yang banyak ini, yaitu > "sekolah basah" dan menjadi rebutan para calon kepala sekolah. > > Sekarang, sudah jarang sekolah yang menerapkan mata pelajaran muatan lokal > bidang pertanian. Wajar, kalau sangat sedikit sekali anak yang bercita-cita > menjadi petani. Petani kerap diidentikkan dengan profesi yang tidak > bergengsi. Berbeda jika bekerja di kantoran, seragam rapi, duduk di ruangan > ber-AC, dianggap lebih bergengsi. Sehingga, (maaf) banyak sarjana yang > akhirnya mendedikasikan dirinya selama bertahun-tahun sebagai tenaga harian > lepas (honorer), hanya dengan penghasilan yang tidak seberapa. Padahal, > bisa saja kita menjadi petani yang modern, petani yang selalu berinovasi > menyesuaikan zaman. > > Bagaimana mungkin bisa swasembada kalau minat orang untuk menjadi petani > semakin berkurang? Petani selalu diidentikkan dengan orang-orang > berpendidikan rendah. Untuk meningkatkan swasembada pangan, yang dibutuhkan > bukan hanya teknologi yang mumpuni, tetapi juga SDM yang berkualitas. > > Muatan lokal pertanian harus dihidupkan lagi. Anak-anak harus memiliki > pengetahuan di bidang pertanian. Apalagi saat pandemi seperti sekarang, > ketika mereka jenuh karena belajar jarak jauh, anak bisa mengolah > pekarangan rumahnya sendiri, ditanami berbagai tanaman pangan atau bisa > menggunakan polybag, juga bisa menggunakan kaleng-kaleng bekas. Dengan > demikian, kalau pun nanti tidak menjadi petani, paling tidak mereka bisa > menghargai perjuangan para petani. > (mmu/mmu) > pertanian > belajar jarak jauh > pandemi > > >