From: Sunny ambon ilmeseng...@gmail.com [GELORA45] 
Sent: Wednesday, November 29, 2017 1:01 AM

  

http://www.sinarharapan.co/news/read/1711238812/melawan-kampanye-anti-sawit

MELAWAN KAMPANYE ANTI SAWIT
KITA HARUS INTROSPEKSI SEJAUHMANA AKUNTABILITAS PENGELOLAAN SAWIT DAN 
SUMBANGANNYA PADA PENINGKATAN KESEJAHTERAAN PETANI

23 November 2017 09:54 BC Editorial dibaca: 1104 
Save inShare 
 
Borneo News / 

Kesepakatan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dengan PM Malaysia Dato Sri Mohamad 
Najib untuk bekerjasama melawan kampanye anti sawit kita sambut baik karena 
akan memperkuat daya tawar kita menghadapi sindikat anti sawit. Bagaimanapun 
kepentingan kita sangat besar karena jutaan keluarga menggantungkan hidup di 
ladang perkebunan ini. 

Dalam pertemuan di Kuching, Rabu, Jokowi dan Najib sepakat bekerjasama untuk 
melawan "kampanye hitam" terhadap industri kelapa sawit di kedua negara. "Kita 
harus bersatu melawan kampanye hitam terhadap kelapa sawit," kata Jokowi dalam 
konferensi pers bersama PM Najib. 

Pengelolaan industri sawit kita memang mendapattkan sorotan tajam, khususnya 
oleh Eropa. April lalu, Parlemen Uni Eropa mengeluarkan resolusi sawit dan 
pelarangan biodiesel berbasis sawit, dengan sorotan utama Asia Tenggara, 
khususnya Indonesia. Parlemen Uni Eropa menilai industri sawit menciptakan 
masalah deforestasi, degradasi habitat satwa, korupsi, pekerja anak dan 
pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). 

Resolusi itu secara khusus menyebut industri sawit Indonesia penuh dengan 
masalah-masalah tersebut. Resolusi itu juga mendesak Komisi Uni Eropa 
menerapkan skema sertifikasi tunggal bagi produk sawit impor demi menghentikan 
dampak buruk industri ini. Uni Eropa rencananya akan melarang pemakaian minyak 
sawit untuk biodiesel mulai 2020 mendatang. 

Analis dari Phillip Futures di Kuala Lumpur, David Ng, menyebutkan pelarangan 
biofuel berbasis minyak sawit di Eropa akan menggerus permintaan terhadap 
minyak sawit, yang diestimasi sedikitnya 1 juta ton minyak sawit tidak akan 
terserap. 

Kita sepatutnya merasa prihatin dengan tantangan yang dihadapi ke depan. Kedua 
negara memang bisa mengajukan gugatan ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) 
jika resolusi tersebut dilaksanakan, namun tentu membutuhkan upaya hukum yang 
terencana dengan baik. Selain membutuhkan dana dan waktu lama, dampak 
pelaksanaan resolusi itu  akan cukup besar kita rasakan. 

Di balik itu, kita sebenarnya perlu menelusuri lebih jauh dan melakukan 
introspeksi apakah pengelolaan industri sawit sudah baik, akuntabel  dan 
menyejahterakan rakyat. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pernah menyoroti 
rendahnya kepatuhan pengusaha sawit dalam membayar pajak. Ia juga mengkritik 
banyaknya perusahaan yang sangat kaya raya namun di sisi lain jutaan petani 
tidak mendapatkan bagian yang cukup untuk menikmati kekayaan tersebut. 

Data beberapa tahun lalu memperlihatkan sebanyak 25 grup perusahaan besar 
menguasai lahan seluas 5,1 juta hektare atau hampir setengah Pulau Jawa.  Dari 
jumlah itu sebanyak 3,1 juta hektare telah ditanami, sisanya masih belum 
digarap. Luas perkebunan sawit di Indonesia saat ini sekitar 10 juta hektare. 
Sebanyak 30 taipan diperkirakan menguasai perusahaan perkebunan yang sudah 
listed di bursa efek, dengan total kekayaan mereka (2013) mencapai US$ 71,5 
miliar atau Rp 922,3 triliun. 

Kita juga memperhatikan kajian Komisi Pemberantasa Korupsi (KPK) mengenai 
kelemahan dalam mekanisme perizinan, pengawasan, dan pengendaliannya, yang 
membuat sektor ini rawan korupsi. Saat ini belum ada desain tata kelola usaha 
perkebunan dan industri kelapa sawit yang terintegrasi dari hulu ke hilir. 
Kondisi ini tak memenuhi prinsip keberlanjutan pembangunan, rawan terhadap 
persoalan tata kelola yang berpotensi korupsi. 

KPK juga menyoroti pungutan ekspor kelapa sawit yang belum efektif karena 
sistem verifikasi belum berjalan baik. Penggunaan dana kelapa sawit, habis 
untuk subsidi biofuel. Parahnya, subsidi ini salah sasaran dengan tiga grup 
usaha perkebunan mendapatkan 81,7% dari Rp 3,25 triliun alokasi dananya. 
Padahal seharusnya penggunaan dana terbagi untuk penanaman kembali, peningkatan 
sumber daya manusia, peningkatan sarana dan prasarana, promosi dan advokasi, 
dan riset. Tak hanya itu, menurut KPK, pungutan pajak sektor kelapa sawit tak 
optimal. Tingkat kepatuhan pajak baik perorangan maupun badan juga mengalami 
penurunan. Sejak tahun 2011-2015, wajib pajak badan dan perorangan kepatuhannya 
menurun masing-masing sebanyak 24,3 persen dan 36 persen. 

Kita tentu mendukung berbagai upaya diplomatik untuk melawan kampanye anti 
sawit. Bagaimanapun kita harus memperhatikan kepentingan petani  dan industri 
karena peran sawit tidak kecil dalam perekonomian. Namun demikian, berbagai 
catatan yang diutarakan Menkeu Sri Mulyani dan KPK harus diperhatikan, 
setidaknya menjadi PR besar yang tidak bisa dianggap enteng. 

Kita sangat mengharapkan masa depan industri sawit nasional terus berkembang 
dan bersifat sustainable. Selain itu, kita juga menginginkan agar 
pengelolaannya lebih terarah dan bertanggungjawab sehingga mampu menjadi 
tulangpunggung perekonomian nasional dan peningkatan kesejahteraan rakyat. 


Sumber : BERBAGAI SUMBER 

Reply via email to