----- Pesan yang Diteruskan ----- Dari: nesa...@yahoo.com [GELORA45] 
<GELORA45@yahoogroups.com>Kepada: "GELORA45@yahoogroups.com" 
<GELORA45@yahoogroups.com>Terkirim: Senin, 13 November 2017 13.25.08 
GMT+1Judul: RE: [GELORA45] Fw: TOM ILJAS membedah buku May Swan "SITI NURBAYA 
BRIDGE"
     


Koq bisa ada manusia didunia ini yang anti PMA?

Ngerti tidak anti PMA ini artinya apa?

Ini artinya isolasi. Ini artinya autarki.

Apakah bung menginginkan autarki ini pada level ekstrimnya?

Kalau mau apakah bisa dilaksanakan didunia ini?

Siapa yg bisa hidup didunia ini tanpa berinteraksi dgn orang lain?

Lalu jawab/tanya dalam konteks negara?

  

Reformasi itu harus ada dalam konteks apapun. Jangankan ideologi, agamapun 
reformasi akan ada walaupun tidak diinginkan. Yg tidak menginginkan ini kan 
disebut kelompok konservatif.

  

Lucu sekali bagi saya bahwa bung yg radikal di kiri sekali, bisa menolak arti 
kata remo/revisionism modern.

Bung berkali2 mendiskreditkan chan yg remo dan seakan2 bung adalah Maoist.

Apakah bung tahu mao itu juga remo ketika dia menyerang Khrushchev waktu sino 
soviet split?

Sampai2 orang komunis Albania juga condemn Maoism sbg remo waktu ribut2 sama 
albania?

  

Begitu juga bung Karno yg belajar ttg Marxism dan menerapkannya dalam konteks 
Indonesia sbg marhaeinisme juga berbeda dgn komunisme2 diluar Indonesia.

  

Saya tidak terlalu pusingin tadinya ketika bung menyerang chan yg remo.

Hanya kali ini saya pengin tahu apakah bung tahu bahwa bung itu adalah radikal 
dalam hal ini?

Ini masalah radikalisme. Ini bukan masalah remo krn bagi saya remo itu adalah 
bentuk revisionisme yg selalu ada apalagi dalam ideologi politik. Didalam agama 
pun revisionism itu ada karena ini adalah tindakan manusia dalam mempelajari 
manusia.

  

Dalam konteks arti remo itu saya bingung kenapa bung harus marah2?

  

Saya mengerti kalau bung marah krn chan adalah remo dan tidak bisa mengikuti 
jalan pikiran bung yg harus Maoist.

Ini artinya bung tidak dapat menerima perbedaan!

  

Saya yg terang2an menyebut diri saya adalah kapitalis dapat mengerti dan dapat 
menerima bung yang jelas adalah seorang maoist dan komunis. Kenapa bung tidak 
mampu menerima chan yg adalah remo? Atau bung sudah menerimanya yg berarti saya 
yg salah?

  

Nesare

  

  

From: GELORA45@yahoogroups.com [mailto:GELORA45@yahoogroups.com] 
Sent: Sunday, November 12, 2017 12:00 PM
To: GELORA45@yahoogroups.com; Yahoo! Inc. 
<perhimpunanpersaudar...@yahoogroups.com>; Jaringan Kerja Indonesia 
<jaringan-kerja-indone...@googlegroups.com>; Sastra Pembebasan 
<sastra-pembeba...@yahoogroups.com>; Yahoo! Inc. 
<nasional-l...@yahoogroups.com>; Yahoo! Inc. <wahana-n...@yahoogroups.com>; 
DISKUSI FORUM HLD <diskusifo...@googlegroups.com>; Chalik Hamid 
<chalik.ha...@yahoo.co.id>
Cc: Yahoogroups <temu_er...@yahoogroups.com>; diskusifo...@googlegroups.nl; 
Daeng <menakjin...@t-online.de>; Rachmat Hadi-Soetjipto 
<nc-hadis...@netcologne.de>; Harry Singgih <harrysing...@gmail.com>; Farida 
Ishaja <farida.ish...@gmail.com>; Gol <gogo...@gmail.com>; 
in...@ozemail.com.au; Mitri <scorpio200...@yahoo.de>; Lingkar Sitompul 
<lingkarsitom...@gmail.com>; Ronggo A. <ronggo...@gmail.com>; Oman Romana 
<oromana0...@gmail.com>; Billy Gunadi <billyguna...@rogers.com>; da...@telia.com
Subject: Re: [GELORA45] Fw: TOM ILJAS membedah buku May Swan "SITI NURBAYA 
BRIDGE"

  

  

Kepasifan PKI itu disebabkan oleh garis revisionis yang berdominasi dalam 
Partai. Dan itu dikoreksi dengan otokritik PB yang meletakkan garis baru. 
Anehnya, diantara mereka yang dulu mengkritik dan menuntut delegasi CCPKI di 
luar negeri untuk mengambil oper pimpinan dan melawan, justru dengan sudah 
adanya garis baru, kok malah jadi pendukung reformisme bahkan seperti Chan jadi 
REMO dan pendukung penanaman modal asing untuk "pembangunan" a la Jokowi yang 
hakekatnya sama saja dengan "pembangunan" jaman Suharto. Begitu merosotnya, 
sampai mampu menciptakan "teori" kebangsaan modal. Modal AS buruk dan patut 
dilawan, tapi modal Tiongkok baik!!!!

  

On Sunday, November 12, 2017 7:04 AM, "Chalik Hamid chalik.ha...@yahoo.co.id 
[GELORA45]" <GELORA45@yahoogroups.com> wrote:

  

  

  

  

SURAT DARI SINGAPUR

TOM ILJAS Mengupas Buku MAY SWAN

SITI NURBAYA BRIDGE

 

Buku May Swan Siti Nurbaya Bridge --  selanjutnya disingkat The Bridge  --  
ikut menghiasi rak buku saya bersama novel-novelnya yang lain. Walau tertata di 
deretan buku-buku yang sudah pernah saya baca namun keinginan untuk membaca 
ulang timbul setelah seorang teman bertanya:  apa hubungan karya May Swan yang 
ini dengan Siti Nurbaya dalam “Kasih Tak Sampai”-nya Marah Rusli?

 

Agaknya penulis mengutip nama Siti Nurbaya sebagai bagian dari judul karena 
adanya kesamaan kisah cinta yang tak kesampaian. Siti Nurbaya terpaksa melepas 
cintanya kepada Samsulbahri dan menawarkan diri untuk menikah dengan Datuk 
Maringgih demi untuk melepaskan ayah yang disayanginya dari jeratan hutang. 
Dalam The Bridge, Swee Lan terpaksa melepaskan cintanya kepada Koon Seng dan 
menerima lamaran dari seorang pemuda lain yang diatur dengan rapi oleh ibunya. 
Alasan Swee Lan juga mirip, demi menyelamatkan perusahaan ayah yang 
disayanginya dari kebangkrutan.

 

Meskipun ada kesamaan, namun terdapat  perbedaan besar antara kedua kisah 
tersebut yang berlainan jaman dan latarbelakang; yang satu berakhir tragis 
dengan kematian sedangkan The Bridge berakhir dengan tumbuhnya sebuah pandangan 
hidup baru  pada Koon Seng, karakter utama dalam novel ini. Koon Seng berhasil 
membebaskan dirinya dari belenggu patah hati dan patah semangat.

 

The Bridge bukan hanya sekedar novel percintaan antara dua insan. Seperti ciri 
karya-karya May Swan lainnya, The Bridge melukiskan kehidupan nyata dalam 
masyarakat, dengan jeli memperhatikan kejadian sehari-hari, mendalami 
perkembangan emosi masing-masing karakter dalam cerita dan mengangkat 
kejadian-kejadian besar sejarah yang melatarinya.


Jalan cerita mengarungi kehidupan masyarakat etnis Tionghoa di Indonesia 
tahun-tahun 1950an hingga 1980an. Berhasilnya Perang Pembebasan Tiongkok pada 
tahun 1949, suasana politik di sekolah-sekolah Tionghoa yang dekat dengan RRT, 
masa Konferensi Asia-Afrika, kedatangan PM Chou En Lai ke Indonesia dan 
hubungan erat perdagangan antara Indonesia dan Singapura yang sudah berjalan 
bertahun-tahun terutama dibidang karet alam. 

Koon Seng untuk pertama kalinya berkenalan dengan Swee Lan ialah ketika ia 
menghadiri ulang tahun  sekolah menengah Hwa Chung dimana Swee Lan bekerja 
sebagai guru. Koon Seng yang diundang sebagai Kepala Cabang perusahaan 
Singapura Lee Rubber Company di Jakarta dengan antusias memenuhi undangan 
dengan harapan akan bertemu PM Chou En Lai yang dikabarkan juga akan menghadiri 
perayaan ulang tahun sekolah tsb. Koon Seng kecewa, PM Chou En Lai berhalangan 
datang;  namun ia merasa beruntung berkenalan dengan Swee Lan yang atraktif. 
Seiring berjalannya waktu mereka menjalin hubungan cinta.

 

Pada awalnya kedua orang tua Swee Lan tidak menaruh keberatan apa-apa atas 
hubungan percintaan mereka. Ibu Swee Lan sering-sering bahkan menunjukkan 
tanda-tanda merestui. Namun ketika datang tawaran dari partner bisnis suaminya 
untuk menggabungkan kedua perusahaan keluarga masing-masing, ibu Swee Lan 
melihat potensi yang lebih besar pada pemuda Wang Ming, putra partner dagang 
suaminya itu. Ibu Swee Lan meyakinkan suaminya untuk menikahkan Swee Lan dengan 
Wang Ming demi kemantapan bisnis keluarga.  Sejak itu dengan rapi ia mengatur 
siasat dan strategi, berusaha keras untuk memutus hubungan Swee Lan dengan Koon 
Seng. Antara lain dengan menggunakan asal usul Koon Seng yang adalah seorang 
Hokkian siangsia lau, sedangkan Wang Ming adalah sama-sama orang Shanghai. 

Disini May Swan melalui literatur mengungkapkan pula apa yang tidak banyak 
diketahui orang, tentang adanya sentimen ketidak serasian dalam masyarakat 
Tionghoa diantara mereka yang berlainan bahasa dialeknya. Mayoritas penduduk 
Tionghoa di Singapura terdiri dari berbagai dialect-speaking groups. Sadar akan 
kuatnya hubungan emosi berdasarkan dialek, demi menyatukan masyarakat, pada 
tahun 70an, pemerintah Singapura mengambil keputusan politik menjalankan “Speak 
Mandarin Campaign” bertahun tahun. Masyarakat dianjurkan berbahasa Mandarin, 
tidak menggunakan bahasa dialek masing-masing.

 

The Bridge juga mengungkap masalah-masalah kelam dalam sejarah Indonesia. 
Dengan pandai May Swan mengaitkan karakter dalam cerita dengan peristiwa 
sejarah yang memang terjadi hingga mencapai dua tujuan sekaligus: membuat 
cerita lebih nyata dan mengungkap peristiwa sejarah kelam itu sendiri.


Larry, seorang teman akrab Koon Seng yang berusaha keras membantu untuk 
menyembuhkannya dari patah hati dan patah semangat, mengajak Koon Seng berlibur 
ke Sumatera Barat. Di Sumbar mereka bertemu dengan paman Larry, salah seorang 
pengikut Sukarno yang lolos dari pembantaian 65/66 karena waktu kejadian ia 
kebetulan sedang berada di Singapura. Dari paman ini mereka mendengar secara 
detail peristiwa pembunuhan massal atas pendukung-pendukung PKI dan Bung Karno 
di Kabupaten Pesisir Selatan. Diungkapkan, mereka yang terbunuh dan berkubur di 
kuburan massal Bukit Pulai adalah bekas-bekas pejuang kemerdekaan ketika 
melawan penjajahan Belanda dan Jepang. Tiga orang diantaranya adalah penyandang 
gelar Perintis Kemerdekaan RI dari Pemerintah Sukarno.

 

Penulis mengelaborasi lebih lanjut tentang Peristiwa 30 September itu sendiri 
yang memakan korban hampir 3 juta manusia tak bersalah. Penulis meletakkan 
kesalahan terbesar pada kepasifan pimpinan PKI, yang setelah Angkatan Darat 
dibawah pimpinan Jenderal Suharto mulai melakukan penangkapan dan 
pembunuhan-pembunuhan, pimpinan PKI tidak mengomandokan perlawanan. Penulis 
bahkan menyesalkan sikap pimpinan PKI diluar negeri yang dalam waktu lama 
memegang teguh ”garis tidak melawan” pimpinan partai di Indonesia. Mereka 
bahkan menindas kritik-kritik dari para anggota yang mengusulkan agar delegasi 
CC PKI di luarnegeri mengambil oper pimpinan dan menyerukan perlawanan. 
Akibatnya, seperti dikatakan penulis dalam The Bridge, “It led to the brutal 
murder of millions of unarmed citizens and Party leaders as easy as killing 
sitting ducks with their legs amputated and hands tied to their back”.

 

Kembali pada kisah cinta tak sampai antara Koon Seng dan Swee Lan, cerita 
ditutup dengan dialog yang sangat indah ketika Swee Lan mengunjungi Koon Seng 
di rumah sakit akibat terlibat kecelakaan lalu lintas. Ketika itu Swee Lan 
telah dikaruniai seorang anak dari perkawinannya dengan Wang Ming, dan Koon 
Seng telah berhasil membebaskan dirinya dari belenggu patah hati. Meskipun 
tidak diutarakan dalam kata-kata penulis berhasil melukiskan bahwa sebenarnya 
rasa cinta mereka berdua tidaklah padam. Namun mereka berhasil memahami dan 
menerima posisi masing-masing. Sungguh suatu pertemuan kembali dan dialog yang 
indah. 

 

TOM ILJAS  

==Stockholm November 2017==

  


    

Kirim email ke