Penulis kompasiana (aktifis): Reformasi memberi ruang yang sangat luas bagi demokrasi. Bahkan demokrasi melahirkan bentuk barunya, penindasan. Atas nama demokrasi, satu kelompok menindas kelompok lain. Tafsir demokrasi menjadi liar, bahkan kadang sulit dipahami dengan analisa literatur baku.
Tidak dapat dipungkiri, demokrasi mengubah tatanan bernegara. Mulai dari konstitusi, struktur birokrasi hingga ke soal remeh temeh. Ketatanegaraan kita menemukan bentuk barunya. Tetapi bagaimana dengan hegemoni rezim yang terlanjur dihidupi oleh para pelaksana dari bentuk baru ketatanegaraan kita? Di sinilah persoalan itu. Reformasi hanya mengubah wajah, memoles muka, tanpa mengubah paradigma. Artinya, perjuangan aktivis belum boleh berhenti. Karena kenyataannya, reformasi belum banyak mengubah bagian terpentingnya. Isi kepala! Nesare: kalau kita ikuti jalan pikirannya si aktifis ini, dia sudah benar berkeluh kesah melihat jalannya demokrasi yg dia ikut dalam pergerakan menurunkan Soeharto 22 tahun yl. Keluh kesahnya itu sesuai dgn kesejahteraan belum kunjung tiba. Sayangnya dia berhenti dalam renungannya ini. Saya harap dia akan lebih teliti dalam menelaah apa yg dia mau nantinya. Perjuangan belum selesai, belum boleh berhenti krn reformasi belum banyak mengubah bagian terpentingnya: isi kepala. Dia sudah mempertanyakan hal2 yg sgt esensial spt: arah NKRI dst. Semoga dia tdk berpendapat NKRI hrs dirubah menjadi khilafah yg berdasarkan syariat Islam. Nilai2 Islam dapat dilakukan kalau saja khalifah/orangnya menjalankan syariat Islam. Berbeda dgn khilafah sbg bentuk pemerintahan yg sejajar dgn sistem2 pemerintahan lainnya spt: republic, kerajaan dll. Jadi semoga penulis mengerti bahwa ada orang/pemimpin yg dpt bekerja sesuai dgn nilai2 murni Islam dan ada khilafah sbg system pemerintahan. Khilafah ini bertentangan dgn Pancasila. Sama dengan komunisme yg juga bertentangan dgn Pancasila. Kedua unsur berketuhanan dan keadilan social itu sudah ada dalam Pancasila. Ini kita semua sudah tahu. Kalau kedua kelompok ini masih mau bersikeras dgn keinginannya, ya NKRI harus bubar dulu. Jadi silahkan dipilah2 mau apa nantinya….. Nesare From: GELORA45@yahoogroups.com <GELORA45@yahoogroups.com> Sent: Thursday, May 21, 2020 8:16 AM To: undisclosed-recipients: Subject: [GELORA45] 22Tahun Reformasi, Sudah Dapat Apa? Mungkin sekali juga pertaanya serupa yang lebih serius dari daerah-daerah (provinsi) yang tertinggal dan miskin melarat selama ini ialah apa yang kita dapat dari merdeka 75 tahun? https://www.kompasiana.com/judea/5ec53857d541df0f6942153d/22-tahun-reformasi-dapat-apa?utm_source=izooto <https://www.kompasiana.com/judea/5ec53857d541df0f6942153d/22-tahun-reformasi-dapat-apa?utm_source=izooto&utm_medium=push_notifications&utm_campaign=2020-05-21%2022%20Tahun%20Reformasi%20Sudah%20Dapat%20Apa&utm_content=&utm_term=> &utm_medium=push_notifications&utm_campaign=2020-05-21%2022%20Tahun%20Reformasi%20Sudah%20Dapat%20Apa&utm_content=&utm_term= 22 Tahun Reformasi, Sudah Dapat Apa? 21 Mei 2020 07:53 Diperbarui: 21 Mei 2020 16: 5 Mahasiswa se-Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi mendatangi Gedung MPR/DPR, Mei 1998, menuntut reformasi dan pengunduran diri Presiden Soeharto. Sebagian mahasiswa melakukan aksi duduk di atap Gedung MPR/DPR. Hegemoni Orde Baru yang kuat ternyata menjadi inspirasi bagi orangtua untuk memberi nama bagi anak-anak mereka. (KOMPAS/EDDY HASBY) 9Demokrasi, adalah jalan menuju kesejahteraan. Rakyat memiliki ruang memadai untuk mengembangkan segala potensi yang mereka miliki. Memiliki kesetaraan pada akses-akses ekonomi, tidak hanya pada akses politik. Begitu kira-kira tafsir saya atas gagasan demokrasi yang didengungkan dari mimbar-mimbar bebas. Baik yang saya ikuti atau bahkan itu bagian dari materi saya, ketika berdiri di mimbarnya. Bergerak dari satu kampus ke kampus lain, dari satu kota ke kota lain. Perbincangan belum berhenti, meski kami sudah sama-sama duduk di trotoar sambil ngopi. Adakalanya perlu lihat kiri kanan, siapa tahu di antara kita ada sosok yang tidak dikenal. Kewaspadaan perlu, setidaknya untuk berjaga agar pergerakan tetap memiliki umur panjang. Ketika pers dibungkam, sebagian dari kami rela menyisihkan jatah makannya untuk membangun persnya sendiri. Menuliskan gagasan-gagasan tentang demokrasi, penegakan hak asasi manusia, keadilan sosial, pemberantasan korupsi, dan juga kesejahteraan melalui pemerataan akses ekonomi. Mem-fotocopy dan menempelkan di ruang-ruang publik semampu kami. Lusuh, mata merah, lingkaran hitam di kelopak mata sering menjadi ciri para aktivis. Diskusi, yang tidak bersekat antara kanan dan kiri. menjadi agenda rutin, nyaris tak terjeda. Menyatukan tekad, meneguhkan keberanian, agar <https://www.kompasiana.com/tag/reformasi> reformasi benar-benar terjadi. Suharto benar-benar turun dari tampuk kekuasaannya. Pengunduran dirinya, menghasilkan histeria para penentangnya. Sorak kemenangan, tangis, dan airmata tumpah di mana-mana ketika lagu Indonesia dikumandangkan. Ini awal dari sebuah perubahan besar yang bernama reformasi. Itu dulu, 22 tahun yang lalu. Bagaimana dengan saat ini? Apakah reformasi sudah memberi jawab atas gagasan demokrasi? Gagasan penegakan hak asasi manusia? Gagasan pemberantasan korupsi? Gagasan kesejahteraan sosial? Masih banyak gagasan lainnya tentu saja. Reformasi memberi ruang yang sangat luas bagi demokrasi. Bahkan demokrasi melahirkan bentuk barunya, penindasan. Atas nama demokrasi, satu kelompok menindas kelompok lain. Tafsir demokrasi menjadi liar, bahkan kadang sulit dipahami dengan analisa literatur baku. Tidak dapat dipungkiri, demokrasi mengubah tatanan bernegara. Mulai dari konstitusi, struktur birokrasi hingga ke soal remeh temeh. Ketatanegaraan kita menemukan bentuk barunya. Tetapi bagaimana dengan hegemoni rezim yang terlanjur dihidupi oleh para pelaksana dari bentuk baru ketatanegaraan kita? Di sinilah persoalan itu. Reformasi hanya mengubah wajah, memoles muka, tanpa mengubah paradigma. Korupsi masih tetap menjadi ancaman serius bagi kesejahteraan rakyat. Keterbukaan, tidak cukup ampuh memberi efek jera. Justru mempertontonkan ironi yang membuat panggung teater tersaingi oleh reality show. Koruptor masih memiliki keberanian untuk melambaikan tangan dan merubah diri menjadi orang yang paling di zolimi. Sementara pencuri speaker mati oleh pengadilan rakyat. Bukan berarti realitas tersebut berarti menihilkan perubahan yang telah dibuat, sama sekali tidak. Tetapi gagasan <https://www.kompasiana.com/tag/reformasi> reformasi tidak cukup hanya dengan apa yang telah terjadi hari ini. Masih jauh panggang dari api. Artinya, perjuangan aktivis belum boleh berhenti. Karena kenyataannya, reformasi belum banyak mengubah bagian terpentingnya. Isi kepala! <https://ads8.kompasads.com/new/www/delivery/lg.php?bannerid=37338&campaignid=12099&zoneid=3846&loc=https://www.kompasiana.com/judea/5ec53857d541df0f6942153d/22-tahun-reformasi-dapat-apa?utm_source=izooto&utm_medium=push_notifications&utm_campaign=2020-05->