Kalau ini bukan karena radikalisasi Islam apa namanya?

Hukum dan aparat hukum bodoh?

Atau apa?

 

Nesare

 

 

From: GELORA45@yahoogroups.com <GELORA45@yahoogroups.com> 
Sent: Friday, December 20, 2019 4:15 AM
To: undisclosed-recipients:
Subject: [GELORA45] Dua KabupatenSumatera Barat Larang Ibadah dan Perayaan Natal

 

  

 

https://www.voaindonesia.com/a/dua-kabupaten-sumatera-barat-larang-ibadah-dan-perayaan-natal/5209787.html
 

 


Dua Kabupaten Sumatera Barat Larang Ibadah dan Perayaan Natal


18/12/2019


*        <https://www.voaindonesia.com/author/anugrah-andriansyah/q_oyo> 
Anugrah Andriansyah

Umat Nasrani di dua kabupaten di Sumatera Barat dilarang beribadah dan 
melakukan perayaan Natal. Larangan itu ternyata bukan kali ini saja karena 
sudah diberlakukan setiap tahunnya.

VOA — 

Perayaan Natal dan Tahun Baru 2020 tidak dapat dinikmati oleh umat Nasrani di 
Jorong Kampung Baru, Nagari Sikabau, Kecamatan Pulau Punjung, Kabupaten 
Dharmasraya dan Nagari Sungai Tambang, Kabupaten Sijunjung, Sumatera Barat. 
Bukan hanya perayaan Natal dan Tahun Baru, umat Kristen Protestan dan Katolik 
di dua kabupaten itu juga tak bisa melakukan ibadah layaknya umat beragama 
lainnya.

Berdasarkan rapat pemerintahan Nagari (kelurahan) Sungai Tambang baru-baru ini, 
yang terdiri dari ninik mamak (penghulu adat), tokoh masyarakat, dan pemuda 
setempat, tidak mengizinkan kegiatan ibadah dalam bentuk apapun secara 
bersama-sama termasuk perayaan Natal. Pemerintahan Nagari dan ninik mamak juga 
meminta agar orang-orang Kristen di Sijunjung membuat surat perjanjian tidak 
melaksanakan ibadah apapun, termasuk Natal.

Larangan melakukan ibadah dan perayaan Natal wilayah itu sudah berlangsung 
lama. Setiap tahunnya, umat Nasrani di dua kabupaten tersebut kerap ditolak 
untuk melakukan ibadah secara berjemaah. Hal itu diungkapkan oleh salah seorang 
jemaat dari Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Sungai Tambang, Andi (bukan 
nama sebenarnya). Di wilayahnya bermukim terdapat tiga denominasi HKBP dengan 
umat terdata 120 kartu keluarga (KK). Lalu, Katolik 60 KK, dan Gereja Bethel 
Indonesia sekitar 30 KK.

"Memang dari awal kami selalu ditolak tapi kami belum mau banyak bicara ke 
publik karena kami juga mengusahakan bagaimana bernegosiasi. Jemaat sudah 
terlalu jenuh dengan hal-hal begini," kata Andi saat dihubungi VOA, Selasa 
malam (17/12).

Jemaat Gereja Kristen Indonesia Yasmin (GKI Yasmin) di Bogor dan HKBP 
Filadelfia di Bekasi menggelar ibadah Paskah di seberang Istana Merdeka, 
Jakarta Pusat (foto: dok/ilustrasi).

Lanjutnya, penolakan ibadah umat Nasrani di dua kabupaten tersebut sudah 
terjadi sejak awal tahun 2000. Kata dia, sekelompok warga menolak pelaksanaan 
ibadah dan pernah membakar rumah yang digunakan sebagai tempat kebaktian umat 
Katolik. Akibat pembakaran rumah tersebut, umat Katolik antara tahun 2004 
hingga 2009 di Jorong Kampung Baru tidak dapat melaksanakan kebaktian secara 
berjamaah. Umat Katolik hanya melaksanakan kebaktian secara pribadi di rumah 
rumah masing-masing.

"Intinya kemarin itu ya jelas mereka menolak, bukan hanya sebatas ibadah Natal. 
Tapi semua bentuk ibadah. Mereka izinkan kalau ibadah di rumah masing-masing. 
Bagaimana mungkin ada izin ibadah di rumah, itu konyol. Mereka tidak pernah 
izinkan ibadah berjemaah. Kalau kami ingin beribadah jemaah maka harus di 
tempat ibadah yang resmi. Itu sama saja dengan menolak, bagaimana resmi mereka 
tidak izinkan," ucap Andi.

Tiga Denominasi Dilarang Ibadah di Masing-Masing Komunitas

Tidak sampai di situ, setiap tahunnya tiga denominasi tersebut selalu ditolak 
untuk melakukan ibadah berjamaah pada masing-masing komunitasnya. Beberapa 
tahun lalu mereka terpaksa membayar denda dua ekor kambing karena dituduh 
melanggar ketentuan adat memaksa melaksanakan ibadah berjamaah bagi umat 
Kristen.

"Secara pribadi melihat ini dampak dari otonomi daerah. Memang benar ada 
undang-undang yang melindungi semua masyarakat Indonesia dengan latar belakang 
agamanya yang diakui bahkan aliran kepercayaan. Namun ketika kembali ke otonomi 
daerah tentu seakan-akan yang dikedepankan adalah kebijakan di masing-masing 
daerah. Dengan alasan itu muncul penolakan-penolakan terhadap tempat ibadah 
bahkan secara pribadi agama seperti di Sumatera Barat. Saat ini dengan atas 
dasar kearifan lokal mereka menolak ibadah dan tempat ibadah. Lucu saja, 
ternyata tidak semua masyarakat Indonesia memahami soal Bhinneka Tunggal Ika," 
tutur Andi.

Lanjutnya, penolakan ibadah umat Nasrani di dua kabupaten tersebut sudah 
terjadi sejak awal tahun 2000. Kata dia, sekelompok warga menolak pelaksanaan 
ibadah dan pernah membakar rumah yang digunakan sebagai tempat kebaktian umat 
Katolik. Akibat pembakaran rumah tersebut, umat Katolik antara tahun 2004 
hingga 2009 di Jorong Kampung Baru tidak dapat melaksanakan kebaktian secara 
berjamaah. Umat Katolik hanya melaksanakan kebaktian secara pribadi di rumah 
rumah masing-masing.

"Intinya kemarin itu ya jelas mereka menolak, bukan hanya sebatas ibadah Natal. 
Tapi semua bentuk ibadah. Mereka izinkan kalau ibadah di rumah masing-masing. 
Bagaimana mungkin ada izin ibadah di rumah, itu konyol. Mereka tidak pernah 
izinkan ibadah berjemaah. Kalau kami ingin beribadah jemaah maka harus di 
tempat ibadah yang resmi. Itu sama saja dengan menolak, bagaimana resmi mereka 
tidak izinkan," ucap Andi.

Tiga Denominasi Dilarang Ibadah di Masing-Masing Komunitas

Tidak sampai di situ, setiap tahunnya tiga denominasi tersebut selalu ditolak 
untuk melakukan ibadah berjamaah pada masing-masing komunitasnya. Beberapa 
tahun lalu mereka terpaksa membayar denda dua ekor kambing karena dituduh 
melanggar ketentuan adat memaksa melaksanakan ibadah berjamaah bagi umat 
Kristen.

"Secara pribadi melihat ini dampak dari otonomi daerah. Memang benar ada 
undang-undang yang melindungi semua masyarakat Indonesia dengan latar belakang 
agamanya yang diakui bahkan aliran kepercayaan. Namun ketika kembali ke otonomi 
daerah tentu seakan-akan yang dikedepankan adalah kebijakan di masing-masing 
daerah. Dengan alasan itu muncul penolakan-penolakan terhadap tempat ibadah 
bahkan secara pribadi agama seperti di Sumatera Barat. Saat ini dengan atas 
dasar kearifan lokal mereka menolak ibadah dan tempat ibadah. Lucu saja, 
ternyata tidak semua masyarakat Indonesia memahami soal Bhinneka Tunggal Ika," 
tutur Andi.

 
<https://www.voaindonesia.com/a/pakar-untuk-perkuat-toleransi-fkub-perlu-perpres/5181492.html>
 BACA JUGA:


 
<https://www.voaindonesia.com/a/pakar-untuk-perkuat-toleransi-fkub-perlu-perpres/5181492.html>
 Pakar: Untuk Perkuat Toleransi, FKUB Perlu Perpres


Umat Katholik Terpaksa Beribadah Secara Sembunyi-Sembunyi

Keluhan yang sama tentang larangan ibadah dan perayaan Natal juga disampaikan 
salah seorang jemaat umat Katolik di Sungai Tambang, berinisial NE. Kata dia, 
selama ini mereka kerap beribadah dari satu rumah umat ke tempat lainnya secara 
diam-diam.

"Ninik mamak mengatakan tidak mengizinkan karena ini pemerintahan sudah kembali 
ke nagari. Maka ninik mamak di nagari memiliki kuasa untuk melarang, kata 
mereka seperti itu. Sudah lama kita hidup berdampingan di sini dengan 
masyarakat sekitar kami. Tidak ada masalah di sekitar sini tapi kenapa bisa 
dari tokoh masyarakat yang hampir enggak pernah berjumpa dengan kami, bisa 
terjadi hal seperti ini (larangan). Sementara dari masyarakat sekitar tempat 
kami tinggal tidak ada masalah," jelas NE.

Sementara itu, pastor yang ada di Dharmasraya, Rama Freli Pasaribu mengatakan 
larangan ibadah dan perayaan Natal juga terjadi di wilayahnya. Awal mula umat 
Kristen di Nagari Sikabau mengeluarkan surat pemberitahuan perihal pelaksanaan 
ibadah Natal dan Tahun Baru 2020. Namun pihak pemerintahan Nagari Sikabau 
merasa keberatan dan tidak memberikan izin pelaksanaan kegiatan ibadah perayaan 
Natal di wilayah itu.

  <https://gdb.voanews.com/391DC2EF-9785-42A7-B43E-32349C424F6A_w250_r1.jpg> 

 

 

 

 

 

 Unduh 

 Pop-out player

 

"Tahun lalu pernah juga buat seperti itu lalu mereka tersinggung karena ninik 
mamak tidak ada surat izin. Mereka merasa tidak dihargai. Tahun ini bukan saja 
kepada pihak keamanan kami buat, tapi juga kepada pemerintah camat, wali 
nagari, dan ninik mamak kita berikan justru di situ yang menjadi blunder. Kami 
sepertinya dicari-cari masalah padahal kami menghargai ninik mamak setempat, 
pemerintah, dan pihak keamanan agar bisa menjaga kami," ungkap Freli.

"Tapi kenyataannya, kemarin meraka rapat dan memutuskan tidak boleh dan sudah 
dikeluarkan oleh pihak wali nagari (lurah) itu di Sikabau enggak boleh 
mengadakan perayaan Natal dan Tahun Baru serta ibadah lainnya. Hanya boleh 
merayakan Natal di rumah pribadi," tambahnya.

Menurut Freli, adanya larangan ibadah dan perayaan Natal di Kabupaten 
Dharmasraya dan Kabupaten Sijunjung, membuat umat Nasrani di dua wilayah 
tersebut seperti mendapat diskriminasi.

"Dengan adanya pelarangan ibadah itu merasa kecewa dengan pemerintah setempat 
dan ninik mamak karena kita ini negara Pancasila," ujarnya.

  <https://gdb.voanews.com/9D95269F-5084-4D69-BF9D-0E1DB7E31751_w256_r1.jpg> 

 
<https://www.voaindonesia.com/a/penolakan-piodalan-di-bantul-kelindan-sejarah-agama-dan-toleransi/5172344.html>
 BACA JUGA:


 
<https://www.voaindonesia.com/a/penolakan-piodalan-di-bantul-kelindan-sejarah-agama-dan-toleransi/5172344.html>
 Penolakan Piodalan di Bantul: Kelindan Sejarah, Agama dan Toleransi


Larangan Ibadah Dikeluarkan Oknum Polisi? 

Sementara program manager dari Pusat Studi Antar Komunitas (PUSAKA) Padang, 
Sudarto mengatakan dalam keterangan resminya yang diterima VOA, pelarangan 
perayaan Natal 2019 terjadi justru setelah salah seorang oknum polisi dari 
polsek Kamang Baru di Kabupaten Sijunjung, meminta agar umat Katolik yang ingin 
melaksanakan ibadah harus terlebih dahulu membuat surat izin kepada 
pemerintahan nagari.

"Mereka mengadakan rapat koordinasi dengan perangkat nagari, ninik mamak, tokoh 
masyarakat setempat. Namun hasil dari rapat koordinasi pada 16 Desember 2019 
menyepakati sepihak beberapa hal seperti menolak pelaksanaan ibadah apapun 
termasuk Natal bersama jika tidak di tempat ibadah resmi. Ibadah termasuk 
perayaan Natal hanya boleh dilaksanakan di rumah masing- masing dan tidak boleh 
bersama-sama," tulis Sudarto dalam keterangan resminya.

Dengan kondisi itu dapat dikatakan bahwa tingkat kerukunan antar umat beragama 
di Sumatera Barat tidak sedang baik-baik saja. (aa/em)

 



Kirim email ke