Tatiana: berbagai alasan membela dan membenarkan masuknya para pekerja Tiongkok 
di tengah pandemi. Pada prinsipnya, karena mereka sendiri pro-kapitalisme dan 
penghisapan, 

 

Nesare: oh jadi VOA/visa on arrival itu dipertanyakan krn ideologi? Kalau 
begitu kenapa yg disorot hanya VOA nya dari cina saja? Ya harusnya konsekwen 
donk kalau bung mau berargumen penghisapan dan kapitalisme, seharusnya yg 
disorot adalah VOA semua negara – bung tidak harus heran kalau VOA cina yg 
ditunda.

 

Lebih dari ini, seharusnya bung jeli bahwa Indonesia telah mengadakan praktis 
rasis dlm pemberian VOA ini kalau yg dilarang itu adalah VOA dari cina saja – 
sedangkan sebelumnya tidak. Ini jelas pemerintah Indonesia ingin mengurangi 
kegaduhan ttg masalah TKA cina ini. Bung sadar tidak? Sudah banyak artikel yg 
menulis ttg masalah TKA cina ini beserta youtube nya yg menginformasikan kenapa 
TKA cina itu perlu masuk ke Sulawesi tengah itu. Coba artikel2 dan video2 ini 
diikuti dulu sebelum bung complain ttg ideologi kapitalisme dan penghisapan.

 

Saya tulis singkat saja ya lagi disini krn sdh saya tulis sebelumnya: smelter 
di Sulawesi tengah itu dibangun krn dari dulu semua kekayaan alam Indonesia 
dibawa kabur keluar negeri utk dilebur. Dijaman Jokowi ini lah baru ada yg 
berani utk melarang ekport barang tambang murni dari Indonesia. Ini artinya 
harus dilebur, ditambah nilai tambah sebelum boleh dieksport. Melebur ini pakai 
smelter. Krn investasi smelter mahal (termasuk mega project) hanya cina yg mau 
kerjasama dgn Indonesia. Jadi ada duit dan teknologi didlm investasi ini. Ya 
orang Indonesia jelas gak mampu dalam kedua hal ini. Makanya TKA cina harus 
masuk utk menyelesaikan smelter itu. inilah TKA TKA yg bung complain sbg 
penghisapan dan kapitalisme itu.

 

Disatu youtube, seorang karyawan smelter yg berjilbab kos di Sulawesi tengah 
setelah mengikuti proses rekruitmen perusahaan smelter bilang dia senang. Cewek 
lulusan S1 jadi harus belajar bhs mandarin krn yg ngajarin dia adalah para TKA 
cina ini. Cewek karyawan ini juga bilang dia harus belajar kilat krn TKA TKA 
cina ini harus Kembali kenegaranya setelah dia dapat menjalankan pekerjaannya. 
Disini artinya cina sudah mentransfer teknologinya ke indonesia. Bung yg bukan 
orang bisnis, saya kasih tahu bahwa transfer of technology itu barang langka 
dimana pemilik teknologi sgt tidak mau mentransfer know how mereka ke negara 
berkembang/miskin.

 

Renungkan dalam kasus sulawesi tengah ini dimana penghisapan itu terjadi? Kalau 
kapitalisme bung bener, tetapi dimana didunia ini yg tdk menerapapkan 
kapitalisme? Sudah tidak ada bung negara yg tidak menerapkan kapitalisme!

 

Nesare

 

 

 

From: GELORA45@yahoogroups.com <GELORA45@yahoogroups.com> 
Sent: Wednesday, June 10, 2020 6:33 AM
To: yahoogroups <temu_er...@yahoogroups.com>; ajegil...@yahoo.com; 
alitjo...@gmail.com; da...@telia.com; Daeng <menakjin...@t-online.de>; Farida 
Ishaja <farida.ish...@gmail.com>; gogo...@gmail.com; Rachmat Hadi-Soetjipto 
<nc-hadis...@netcologne.de>; Harry Singgih <harrysing...@gmail.com>; Lingkar 
Sitompul <lingkarsitom...@gmail.com>; TanSie Tik URECA <sietik....@yahoo.com>; 
silalahi2...@yahoo.de; Sungkono A. <wisoges...@hotmail.com>; Gelora 
<GELORA45@yahoogroups.com>
Subject: [GELORA45] Masalah Tenaga Kerja Asing Tiongkok (Bagian 1) [1 
Attachment]

 

  

 


Masalah Tenaga Kerja Asing Tiongkok (Bagian 1)


Pada prinsipnya, karena mereka sendiri pro-kapitalisme dan penghisapan, yang 
dibela adalah kebijakan pemerintah yang sangat berpihak kepada kaum pemodal 
asing dan sangat merugikan kaum buruh Indonesia

9 Juni 2020 | 09:46

 

 

 
<https://koransulindo.com/wp-content/uploads/2020/06/Ekspansi-Tiongkok-di-Afrika.jpg>
 Ilustrasi ekspansi modal Tiongkok terutama di Afrika/University of Pennsylvania

Koran Sulindo – Pada 2 Februari 2020, Kompas memberitakan pemerintah 
mengeluarkan keputusan untuk penangguhan fasilitas bebas visa dan visa on 
arrival bagi warga negara Tiongkok. Begitu juga penerbangan dari dan ke 
Tiongkok. Tapi, pada 14 Februari 2020, Kompas kembali memberitakan tentang 
kedatangan 14 pekerja Tiongkok di Bekasi. Kemudian, 17 Maret 2020, CNN 
Indonesia bicara tentang 49 tenaga kerja asing Tiongkok mendarat di Kendari, 
Sulawesi Tenggara setelah transit di Bandara Soekarno-Hatta dengan pesawat dari 
Thailand.

Aneh, sudah ada larangan resmi, kok masih bisa lolos. Orang mulai berdebat, 
termasuk saya dengan mereka yang dengan berbagai alasan membela dan membenarkan 
masuknya para pekerja Tiongkok di tengah pandemi. Pada prinsipnya, karena 
mereka sendiri pro-kapitalisme dan penghisapan, yang dibela adalah kebijakan 
pemerintah yang sangat berpihak kepada kaum pemodal asing dan sangat merugikan 
kaum buruh Indonesia. Mereka menyanyikan lagu usang yang disebarkan dan 
dipertahankan korporasi multinasional dan berbagai lembaga imperialis, seperti 
IMF, Bank Dunia, WTO, yang isinya antara lain, bahwa negeri berkembang 
membutuhkan modal asing untuk perkembangannya dan menciptakan lapangan 
pekerjaan.

Mantan profesor sosiologi di Universitas Binghamton, New York James Petra 
pernah menulis tentang 6 mitos yang berkaitan dengan investasi asing. Mitos 
pertama, investasi asing menciptakan perusahaan baru, memperoleh atau 
memperluas pasar, merangsang penelitian dan pengembangan ‘teknologi’ negeri 
penerima modal. Kedua, investasi asing meningkatkan daya saing ekspor suatu 
industri, merangsang ekonomi lokal melalui pembelian dan penjualan sekunder dan 
tersier. Ketiga, investasi asing memberi pendapatan pajak untuk meningkatkan 
kas negara dan pendapatan devisa guna membiayai impor.. Keempat, mempertahankan 
pembayaran utang sangat penting untuk menjaga reputasi keuangan di pasar 
internasional dan integritas sistem keuangan. Kelima, mayoritas negara di Dunia 
Ketiga bergantung pada investasi asing untuk menyediakan modal yang dibutuhkan 
bagi pembangunan karena sumber di negeri sendiri tidak tersedia atau tidak 
memadai. Keenam, investasi asing berfungsi sebagai jangkar untuk menarik 
investasi lebih lanjut dan berperan sebagai ‘tiang pembangunan’.

Selanjutnya ia menunjukkan kegagalan keenam mitos itu melalui pengalaman 
konkret negeri-negeri Amerika Latin.

Di Indonesia, sejak Orde Baru berkuasa melalui kudeta militer dan pembantaian 
jutaan manusia tak berdosa, investasi asing dengan leluasa menjarah kekayaan 
alam rakyat, megaproyek infrastruktur dibangun dengan mengabaikan masalah 
lingkungan dan penyusutan tanah pertanian. Hasilnya, utang tak pernah lunas, 
jurang kesenjangan semakin dalam, hutan gundul, rakyat berbagai daerah 
kesulitan mendapatkan air bersih, pengangguran dan kemiskinan tak pernah 
teratasi, kedaulatan pangan semakin jauh.

Kata “bantuan” sering sekali digunakan untuk mengaburkan atau bahkan 
menyembunyikan dampak negatif dari investasi modal asing. Ada orang yang 
menyamakan proyek One Belt One Road (OBOR) Tiongkok dengan Marshall Plan 
Amerika Serikat untuk negeri-negeri kapitalis Eropa Barat supaya bisa segera 
memulihkan ekonomi yang hancur luluh oleh Perang Dunia II. Maksudnya untuk 
mencegah pengaruh sosialisme di Uni Soviet yang sedang populer karena telah 
berhasil mengusir agresor fasis Jerman.

Pada kesempatan lain dapat dibicarakan persamaan dan perbedaan antara Marshall 
Plan dan OBOR. Di sini hanya diajukan satu perbedaan. Marshall Plan merupakan 
donasi atau subsidi, sedangkan modal Tiongkok untuk megaproyek OBOR merupakan 
utang. Jadi harus dibayar kembali. Namun, tidak berarti donasi itu bersih dari 
kepentingan ekonomi AS.

AS sama sekali tidak menderita kerusakan disebabkan oleh Perang Dunia II. 
Stagnasi pertumbuhan ekonomi yang dideritanya, ketika perang selesai, 
disebabkan oleh kelebihan produksi yang sudah tidak bisa diserap oleh pasar 
dalam negeri. Oleh karena itu donasi Marshall Plan yang juga diberikan kepada 
Korea Selatan dan Taiwan adalah untuk membeli produk yang melimpah ruah di AS..

Mencari bahan baku dan pasar untuk produk yang berlebihan juga merupakan tujuan 
Tiongkok imperialis melalui investasi modal dalam megaproyek OBOR. Masih banyak 
orang yang tidak tahu atau tertipu oleh propaganda yang disebarkan para 
penguasa Tiongkok serta para komprador dan antek-antek revisionisnya.. Adanya 
Partai Komunis Tiongkok membuat banyak orang menganggap Tiongkok sebagai negeri 
sosialis, bahkan komunis. Tanpa usaha pencerahan yang memadai, sulit diharapkan 
orang dapat mengerti dan membedakan sosialisme, komunisme, revisionisme dan 
imperialisme.

Tiongkok Imperialis
Dalam diskusi online baru-baru ini tentang warisan Lenin dan imperialisme, 
Profesor Jose Maria Sison berkata bahwa mereka yang bilang Tiongkok bukan 
imperialis adalah kaum revisionis kepala batu atau orang yang tidak tahu 
fakta-fakta sebagai berikut: pertama, di Tiongkok terdapat dominasi kapitalisme 
monopoli negara yang berkombinasi dengan kapitalisme monopoli swasta. Di kedua 
kapitalisme monopoli itu terdapat para keluarga kaum birokrat negara dan partai 
tertinggi. Kedua, terjadi fusi antara modal industri dan modal bank yang 
melahirkan oligarki finansial. Kaum miliarder Tiongkok adalah oligarki 
finansial yang mengontrol operasi industri dan finansial. Ketiga, Tiongkok 
tidak hanya mengekspor barang tetapi juga mengekspor modal surplus dengan 
persyaratan yang sangat berat. Keempat, Tiongkok bekerja sama dengan perusahaan 
monopoli asing di negeri lain. Kelima, Tiongkok adalah pemain utama dalam 
kontradiksi antar-imperialis dan sekarang terlibat dalam pergulatan sengit 
dengan AS untuk membagi kembali dunia kapitalis.

Kejelasan dan kepastian dalam mengkarakterisasi Tiongkok sekarang sangat 
penting sekali untuk mengerti dan menilai secara tepat kebijakan dan sepak 
terjang pemerintahnya di dalam negeri dan juga dalam percaturan politik dunia..

Keberhasilan Tiongkok dalam perundingan tentang investasi modal dengan negara 
penerima tergantung pada posisi dan pandangan pejabat-pejabat tertingginya 
termasuk kuat tidaknya kaum komprador yang mewakili kepentingannya. Oleh karena 
itu, kontrak yang sudah ditandatangani sebuah pemerintah negeri penerima modal, 
bisa dibatalkan oleh pemerintah berikutnya. Namun, pembatalan proyek membawa 
risiko bayar denda.

Contohnya, pemerintahan Mahathir yang tadinya ingin membatalkan proyek kereta 
yang dianggap terlalu mahal sehingga Malaysia akan kesulitan membayar utangnya, 
akhirnya meneruskan proyek. Denda sebesar US$ 5 miliar telah memaksa Mahathir 
membatalkan niat semula. Tapi, nilai investasi dipangkas dari Rp 225 triliun 
menjadi Rp 151 triliun.

Poin ketiga dari pernyataan Profesor Sison tersebut mengungkapkan persyaratan 
sangat berat yang harus diterima oleh negara penerima modal Tiongkok. Dalam 
tulisannya pada Desember 2019, David Skidmore mengungkapkan syarat-syarat yang 
lebih ketat dibandingkan dengan Bank Dunia atau lembaga keuangan internasional 
lainnya. Antara lain, suku bunga lebih tinggi, periode pengembalian lebih 
pendek, kontrak dirahasiakan dari publik, pinjaman terikat pada kontrak dengan 
perusahaan milik negara (BUMN) Tiongkok, yang mengharuskan penggunaan input dan 
tenaga kerja Tiongkok. Peminjam harus mengajukan aset sebagai jaminan dan 
menempatkan dana di akun escrow (artinya, dana disimpan di akun itu, sementara 
transaksi berjalan dan diselesaikan oleh kedua pihak) yang berlokasi di 
Tiongkok. Perselisihan harus dibawa ke pengadilan arbitrase Tiongkok yang 
menerapkan hukum Tiongkok. Selain itu, pinjaman juga disertai kondisi 
pembayaran utang, seperti akses ke sumber daya atau kontrak , misalnya, 
pinjaman didukung minyak.

Pertanyaannya, sudah tahu syarat-syarat yang begitu berat, kok mau menerima 
modal Tiongkok? Beberapa faktor bisa ditampilkan sebagai kondisi objektif dan 
pendorong diterimanya modal Tiongkok. Pertama, watak kelas dari negara penerima 
modal. Sebuah negara anti-rakyat, anti-demokrasi dengan lembaga-lembaganya yang 
korup dan yang dengan setia menerapkan kebijakan neoliberal pro-imperialis, 
sulit sekali atau hampir tidak mungkin melahirkan politikus yang mampu berpikir 
sehat dan ilmiah dalam membangun ekonomi negerinya tanpa merugikan pundi-pundi 
pribadi dan kroninya.

Kedua, alasan politik dapat menjadi dasar dan mendorong penguasa rezim untuk 
menerima “bantuan” modal Tiongkok. Contoh di Myanmar sekaligus menunjukkan 
kemunafikan Aung San Suu Kyi. Kediktatoran militer sebelum pemilu November 
2010, telah menandatangani kontrak dengan State Power Investment Corporation 
(SPIC) untuk membangun waduk Myitsone yang akan memasok listrik ke Tiongkok 
selatan. Mulailah mengalir kritik, kecaman dan penolakan besar dari penduduk 
suku bangsa Kachin, aktivis lingkungan dan sektor penduduk lainnya. Protes juga 
datang dari Aung San Suu Kyi yang ketika itu dalam tahanan rumah.

Alasan menolak pembangunan waduk antara lain adalah manfaat dari listrik yang 
akan dihasilkan dan besarnya dampak lingkungan tidak sepadan. Sebuah laporan 
yang dibuat dan dibiayai China Power Investment juga menyinggung dampak 
lingkungan. Laporan tidak pernah diumumkan. Namun akhirnya bocor, dan diakui 
waduk akan menyebabkan hilangnya sejumlah jenis ikan yang bermigrasi. Di 
samping itu, mengingatkan agar studi lebih dalam dilakukan untuk mengevaluasi 
dampak waduk yang akan menenggelamkan daerah seluas 26,238 hektare. 
Selanjutnya, laporan menegaskan dua waduk lebih kecil dapat menghasilkan jumlah 
listrik yang sama, tidak perlu waduk besar.

Dr. Myint Zaw, pengamat lingkungan, mengatakan bahwa waduk itu akan 
menenggelamkan sisa hutan lebat yang menyimpan keanekaragaman hayati yang kaya, 
mengubah pasang surut sungai Irawady dan mempengaruhi mata pencaharian jutaan 
nelayan.

Hasil pemilu pertama, November 2010, setelah 20 tahun kediktatoran militer, 
membawa Thein Sein, mantan Jenderal, ke panggung kekuasaan. Tekanan publik 
akhirnya membuat pemerintah menghentikan proyek waduk Myitsone. Sementara itu 
Aung San Suu Kyi bebas dari tahanan rumah. Sejak menjadi pemimpin de facto 
setelah pemilu 2015, pendapatnya tentang proyek waduk berubah 180 derajat. Ia 
berkata kontrak yang ditandatangani pemerintah militer harus dihormati.

Tahun 2018, Tiongkok meningkatkan usaha untuk meyakinkan penduduk dan pejabat 
agar mendukung pembangunan waduk. Mantan Dubes Tiongkok di Myanmar, Hong Liang, 
Desember 2018, mengunjungi negara bagian Kachin. Hasilnya, Kedubes Tiongkok 
menyatakan bahwa para pemimpin partai politik dan organisasi sosial di negara 
bagian Kachin tidak menentang proyek pembangkit listrik tenaga air Myitsone; 
yang menentang adalah beberapa individu dan organisasi sosial dari luar. Tapi 
pimpinan suku bangsa Kachin yang menemui Hong Liang membantah keras pernyataan 
itu. Jangan heran, hoax untuk memecah belah bisa juga diciptakan oleh pejabat 
tinggi Tiongkok imperialis.

Pada Juni 2019, beberapa ahli Tiongkok mencoba meredakan kekhawatiran parlemen 
Kachin atas dampak lingkungan waduk. Dalam sebuah pernyataan tertulis kepada 
BBC Burma, SPIC mengatakan tujuan waduk adalah untuk memasok listrik bersih, 
efisien dan berkelanjutan bagi perkembangan Myanmar.

Siapa sebetulnya yang akan diuntungkan oleh proyek pembangkit listrik itu? 
Kontrak dengan SPIC tidak pernah dirilis secara publik. Namun, dalam sebuah 
wawancara dengan BBC News Burmese, mantan Wakil Menteri Perusahaan Listrik 
Negara Myanmar, U Maw Thar Htwe, berkata bahwa 90% dari listrik yang dihasilkan 
bendungan akan mengalir ke Tiongkok. Pemerintah Myanmar akan mendapat 10% dari 
saham, tapi pengembalian investasinya hanya akan didapat dua dekade setelah 
pembangkit listrik itu beroperasi.

Mengapa Aung San Suu Kyi sekarang mendukung proyek waduk yang dulu 
ditentangnya? Rupanya ia merasa harus “membalas budi” Tiongkok atas dukungannya 
di PBB dalam menindas dan mengusir komunitas Rohingya keluar dari Myanmar. 
Dukungan diplomasi Tiongkok sangat ia butuhkan untuk menghadapi kecaman dan 
protes publik internasional yang menuntut supaya orang-orang Rohingya dapat 
kembali ke Myanmanr dan dihormati hak-hak asasinya. Satu bukti lagi bagaimana 
penguasa Tiongkok memihak rezim penindas dan pelanggar berat HAM. Persis 
seperti pengusiran yang dilakukan terhadap para penentang rezim Suharto yang 
tinggal di Tiongkok, guna memulihkan hubungan diplomatiknya.

Di samping itu, pembatalan proyek akan mengharuskan Myanmar mengembalikan US$ 
800 juta yang sudah terpakai. Aung San Suu Kyi jadi bingung! Kekhawatiran 
proyek akan dihidupkan kembali telah memicu gelombang protes baru. Bahkan ada 
penduduk yang sudah direlokasi, kembali lagi ke tempat tinggalnya yang semula.

Saya jadi teringat pada waduk Jatigede di Sumedang yang juga dibiayai oleh 
modal Tiongkok. Waduk Jatigede telah menenggelamkan antara lain 6.000 hektare 
lahan pertanian produktif, 33 situs cagar budaya, 28 desa dengan 22 SD, 3 SLTP, 
40 masjid, 45 musala dan 33 pos pelayanan terpadu. Penolakan keras penduduk, 
Walhi Jabar dan Komnas HAM tak digubris para penguasa. Dampak sosial sampai 
sekarang masih belum tuntas. [Tatiana Lukman]

  Pembaca : 552

 

Sent from Mail <https://go.microsoft.com/fwlink/?LinkId=550986>  for Windows 10

 



Kirim email ke