Dinegara manapun begitu bahwa ada rakyat yg suka mendengar suara2 yg mendukung pendapatnya. Inilah fanatisme. Di USA juga begitu, banyak rakyat yg memilih Trump walaupun sudah tahu omongannya ngawur/bohong.
Diindonesia juga begitu. Bedanya rakyat Indonesia kurang terpelajar dibandingkan dgn rakyat USA. Jadi gaung yg dikumandangkan oleh rocky gerung pengganti ratna sarumpaet itu hanya sekedar gaung saja. Tidak terlalu berpengaruh.. Hanya seru dimedia saja terutama TV yg disalurkan ke youtube. Rakyat Indonesia kebanyakan gak “terlalu” ngerti bahasa kelas tinggi yg dipakai rocky gerung ini. Bahasanya ratna sarumpaet masih mendingan walaupun kelasnya sama saja. Rakyat Indonesia itu sederhana jalan pikirannya. Coba kalau lagi jalan2 diindonesia, dengerin omongan2 mereka yg lebih suka ngomong ttg artis, musik, harga beras dll bukan yg tinggi2 seperti istilah2 komunisme, hutang, gdp dll. Beda dgn suara ulama misalnya: habib rizieg. Ini sangat berpengaruh. Inilah rakyat Indonesia yg sangat agamais. Yg lain juga berpengaruh seperti: primodialisme, paternalistic yg memang adalah ciri bangsa Indonesia shg masalah suku, kultur, ras dll itu selalu berperan dalam segala kehidupan di Indonesia. Ini semua bisa menjadi kekuatan sekaligus kelemahan yg selalu harus diwaspadai. Nesare From: GELORA45@yahoogroups.com <GELORA45@yahoogroups.com> Sent: Monday, April 1, 2019 9:24 PM To: GELORA45@yahoogroups.com Subject: [GELORA45] Re: BANALITAS PROSES Kalau orang yg terpelajar saja bisa termakan oleh omongan/propaganda Rocky Gerung tanpa menganalisa dulu dgn matang omongannya apalagi rakyat biasa yg tidak terpelajar, tentu, sudah termakan habis. Tapi ini suatu kenyataan dalam alam demokrasi di Indonesia atau di negara lain, siapa yg pinter ngomong walaupun omongonnya kosong bisa menang. ---In GELORA45@yahoogroups.com <mailto:GELORA45@yahoogroups.com> , <alfaqirilmi@... <mailto:alfaqirilmi@...> > wrote : BANALITAS PROSES Rocky Gerung ini pintar sekali beretorika. Itu memang keahliannya. Jadi percuma menyandingkan RG dengan Rhenald Kasali misalnya, karena beda konteks. Rhenald itu guru besar ekonomi, dan saat ini adalah era matinya kepakaran. Seorang guru besar bisa dilecehkan oleh orang yang riwayat pendidikan dan karier akademisnya gak jelas. Yang bikin aku prihatin itu bukan soal RG-nya. Tapi bagaimana RG dimanfaatkan dalam arus politik untuk mempesona orang-orang yang kecewa pada pemerintah, sehingga mereka bisa mendapat amunisi ketika mendengar RG bicara. Retorika ala RG ini dikenal saat demokrasi langsung di Yunani. Bisa dibayangkan betapa brutalnya. Orang gak harus pandai pengetahuan atau mahir pengalaman, yang penting dia pintar ngomong dan dapat kesempatan. Aku merasa ada orang-orang yang dimanipulasi untuk kepentingan politik retorika ini. Profil orang-orang itu jelas; mulai soal kualitas pendidikan, akses kepada informasi, lingkungan terdekat yang mempengaruhi, sikap terhadap pemerintah, nilai-nilai, kelas sosial & status sosial, stereotipe & prasangka, bahkan kalo boleh kutambahkan: sentimen agama. Sebagai bagian dari masyarakat sipil, aku terluka melihat ada anggota masyarakat sipil yang diperlakukan seperti itu. Inilah banalitas proses politik ketika kehormatan politik direduksi besar-besaran menjadi sekadar soal suara dan kursi. Ya mungkin memang begitu, tapi aku termasuk yang percaya bahwa gerakan politik itu bukan sekadar suara dan kursi. Ketika masyarakat sipil pun dijerumuskan ke dalam 'hanya suara dan kursi', wah kurasa yang perlu kita takutkan bukan perang (sedikit menyentil Pak Prabowo) tapi kehancuran & kerusakan masyarakat sipil. Dikirim dari Yahoo Mail untuk iPhone <https://overview.mail.yahoo.com/?.src=iOS>