Paus juga bukan orang goblog. Kalo masih ngomong manis2 bukannya percaya tapi politik aja. Pastor2 katolik yg dari indo timur itu berani2 kritik pemerintah. Jangankan jaman Jkw. Jaman simbah arto saja berani. Sent from my Verizon, Samsung Galaxy smartphone -------- Original message --------From: "Sunny ambon ilmeseng...@gmail.com [GELORA45]" <GELORA45@yahoogroups.com> Date: 2/16/20 2:30 PM (GMT-08:00) To: Subject: [GELORA45] SetaraTagih Janji Jokowi Soal Penuntasan Kasus HAM dan Intoleransi
Menurut berita Jokowi cs mengundang Paus ke Ambon, September 2020. sekalipun kaum Katolik di Amabon (kota dan pulau) adalah minoritas. Yang terbanyak adalah Protestan disamping Islam. Sebelum tahun 1960 kaum Protestan yang terbanyak. Setelah tahun tsb didatangkan transmigrasi dari luar Maluku maka kalau dihitung mungkin sekali kaum Muslimin yang terbanyak diantara kaum beragama, hal ini bisa terlihat dari sekian banyak mesjid di berbagai sudut kota dan sekitarnya. Mungkin sekali undangan Paus tsb untuk menunjukan kepda luarnegeri bahwa NKRI sangat toleran. Mayoritas kaum Katholik terdapat di NTT. https://www.jawapos.com/nasional/16/02/2020/setara-tagih-janji-jokowi-soal-penuntasan-kasus-ham-dan-intoleransi/ Setara Tagih Janji Jokowi Soal Penuntasan Kasus HAM dan Intoleransi NASIONAL 16 Februari 2020, 21:18:02 WIB JawaPos.com – penuntasan pelanggaran HAM masa lalu dan penanganan intoleransi yang menjalar di tengah masyarakat, menjadi sorotan Setara. Itu terkait kinerja 100 hari pemerintahan Joko Widodo-Ma’ruf Amin. Menurut Ketua Setara Institute Hendardi, presiden Jokowi masih punya waktu untuk menjawab harapan publik terkait janji penuntasan pelanggaran HAM dan intoleransi yang akan ditunaikan pada periode kedua. “HAM bukan sebagai agenda prioritas oleh presiden menggambarkan bahwa pemerintah tidak memiliki pengetahuan holistik soal HAM. Jokowi semestinya meletakkan HAM sebagai paradigma dalam pembangunan infrastruktur, kebijakan investasi, penguatan SDM dan agenda pembangunan lainnya,” kata Hendardi dalam keterangan tertulisnya, Minggu (16/2). Hendardi menyampaikan, tugas konstitusional memajukan kesejahteraan umum dan melindungi segenap bangsa Indonesia, yang di dalamnya juga memuat jaminan atas keadilan, penanganan pelanggaran HAM dan jaminan kesetaraan dalam beragama/berkeyakinan bukanlah tugas yang harus dipilih oleh presiden. Oleh karena itu, presiden yang dibekali kewenangan mengangkat menteri dan kepala badan dalam berbagai bidang agar bisa menjalankan tugasnya secara bersamaan. Sepanjang para pembantu presiden memiliki kepekaan dan kecakapan dalam menyelenggarakan tugas pemerintahan, maka tidak ada alasan bagi pemerintah menunda tugas-tugas konstitusional tersebut. “Apalagi, khusus agenda penuntasan pelanggaran HAM masa lalu dan penanganan intoleransi, merupakan agenda yang tertunda pada periode pertama, dimana secara eksplisit termaktub dalam Nawacita Jokowi 2014 silam,” sesalnya. Hendardi memandang, Jokowi memiliki banyak perangkat dan instrumen untuk menuntaskan pelanggaran HAM masa lalu. Gagasan membentuk Komite Kepresidenan Pengungkapan Kebenaran yang tercantum dalam Nawacita 2014, adalah model yang paling moderat untuk merintis penuntasan pelanggaran HAM masa lalu. “Fokus komisi ini adalah mengungkap kebenaran, tanpa terjebak penyelesaian yudisial atau non yudisial. Jika Komisi ini selesai menjalankan tugas pengungkapan kebenaran, berikutnya adalah mendiskusikan makna dan jalan keadilan yang bisa banyak variannya,” tegasnya. Bahkan penanganan intoleransi, kata Hendardi, komitmen Jokowi nampaknya hanya ditujukan untuk menjustifikasi tindakan politiknya menunjuk sejumlah menteri yang dianggap memiliki kecakapan penangan intoleransi. Nyatanya, sejumlah menteri dan kepala badan/lembaga tidak memiliki agenda terpadu dan mendasar dalam menangani intoleransi. “Peristiwa-peristiwa pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan terus terjadi dan pada saat bersamaan disangkal oleh elemen-elemen negara,” pungkasnya. Editor : Dimas Ryandi Reporter : Muhammad Ridwan