ass, jamaah milis G2020 yth. warga milis G2020
kebutulan artikel saya: "Konflik Elit dan Tanggung Jawab Pemimpin" secara kebetulan dimuat di harian gorontalo post. ini adalah kegelisahan saya melihat realita-empirik politik lokal di gorontalo. saya tidak bisa berekspresi seperti teman2 yang lain di gorontalo; sampai harus terkena peluru nyasar aparat. atau seperti MY dengan teori big bang nya (walaupun jauh hari sebelumnya sudah di bongkar habis dalam materi NIK or NDP) HMI. tapi kita masing-masing punya cara sendiri2, dalam kontribusi pemikiran buat gorontalo. insya allah artikel ini bisa bermanfaat untuk jamaah G2020. mohon mnaaf kalau ada yang kurang berkenan syukron h2n KONFLIK ELITE DAN TANGGUNG JAWAB PEMIMPIN (gorontalo post, 14-15/04/2008) Oleh: Hamka Hendra Noer Ketua Umum Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Islam dan Kandidat Doktor Ilmu Politik Universitas Kebangsaan Malaysia Konflik elite dapat terjadi diberbagai strata kehidupan masyarakat. Konflik itu dapat terjadi secara vertikal, antara elite di pemerintahan dan elite di masyarakat. Konflik juga dapat berlangsung secara horizontal, antara elite di internal masyarakat itu sendiri. Yang paling dasyat konflik itu terjadi secara pararel, kombinasi vertikal dan horizontal, seperti yang terjadi sekarang ini di Gorontalo. Apa yang kita saksikan satu episode yang membuat kita tersentak dan merasa heran, fenomena apa yang sedang terjadi di Gorontalo dengan akan dilakukannya pemilihan walikota Gorontalo. Konflik elite yang tidak dapat diselesaikan akan membuat kondisi politik tidak stabil, rentan terhadap aneka kerusuhan, aksi protes dan menuver politik. Konflik juga dapat membawa suatu situasi yang berkepanjangan dan melunturkan pencapaian ekonomi dan politik masyarakat ke depan. Apakah situasi ini betul-betul murni sebagai gerakan moral masyarakat, ataukah ada kepentingan elite yang bermain sebagai aktor dari sebuah game politik. Lantas siapa yang akan bertanggung jawab dengan kondisi yang ada? Tulisan ini coba membedah dengan pendekatan teoritis yang bersandarkan kepada realita-empirik dengan komparasi kasus negara [baca: tempat] lain. KONFLIK ELITE Adalah John Higley dan Michael G. Burton (1987:17-18) yang menghidupkan teori konflik elite dalam korelasinya dengan transisi menuju demokrasi. Kedua pakar ini membagi tiga tahap struktur elite dalam proses transisi. Pertama, elite yang bersatu secara ideologis. Terjadi dalam negara otoriter. Dalam rezim yang otoriter, mayoritas elite yang kuat secara politik umumnya menjadi anggota partai politik yang sama, mendukung kebijakan politik yang sama, dan menunjukkan loyalitas kepada pemimpin yang sama. Dalam situasi ini, politik sangat stabil namun partisipasi politik yang luas tidak terjadi. Bersatunya elite dalam negara otoriter dianggap bukan proses yang murni dan sukarela, namum dibentuk di bawah sistem yang represif. Secara rasional, para elite akan memilih untuk bersatu karena hanya melalui penyatuan diri dengan irama negara otoriter, maka kepentingan politik meraka terlindungi. Kedua, elit yang berkonflik. Bersatunya elite secara ideologis tidak akan bertahan lama. Penyatuan dianggap menentang hakikat masyarakat modern yang beragam. Pada saatnya, elite yang bersatupun akan pecah dan berkonflik satu sama lain. Dalam fase perpecahan, para elite secara publik mulai menunjukkan perbedaan. Mereka bukan saja berbeda dalam orientasi politiknya, namun mulai juga menjadi anggota partai yang berbeda dan mendukung pemimpin yang berbeda pula. Konflik elite ini dianggap situasi yang tidak terhindari untuk keluar dari negara otoriter. Hanya melalui konflik elite yang serius, negara otoriter menjadi rapuh dan kemudian jatuh. Konflik elite di satu sisi berjasa dalam pelumpuhan negara otoriter, namun di sisi lain berbahaya. Jika konflik elite berterusan, negara selalu dalam keadaan krisis yang membuat politik tidak stabil. Jauh lebih berbahaya lagi, apabila konflik elite yang berkepanjangan dapat membuat negara selalu dalam ancaman kerusuhan, anarki dan kekerasan yang berdarah. Ketiga, elite yang berkompetisi dalam prosedur demokrasi. Untuk sampai ke demokrasi, para elite harus menapaki ke satu tahap yang lebih maju lagi. Yaitu mengubah struktur elite dari situasi konflik tanpa adanya aturan main bersama yang disepakati, menuju kompetisi elite dalam prosedur demokrasi. Semua negara yang berhasil bertransisi ke demokrasi dianggap berhasil mentransformasi struktur elite itu. Elite atas keinginan mereka sendiri mengambil inisiatif untuk menerapkan prosedur demokrasi sebagai cara menyelesaikan perbedaan diantara mereka. Teori elite ini adalah literatur mutakhir dalam teori transisi menuju demokrasi. Teori sebelumnya terlalu banyak menekankan faktor struktural, seperti faktor ekonomi ataupun kultur, namun melupakan faktor aktor politik yang mampu membuat hasil politik berbeda. Sebelumnya, demokrasi dianggap hanya realistik bagi negara yang telah melampaui tingkat ekonomi tertentu. Hanya negara yang secara ekonomi cukup kaya yang mampu memiliki demokrasi yang stabil. Alasannya sederhana, demokrasi memerlukan kelas menengah yang dianggap pendukung utama demokrasi. Ungkapan Barrington Moore, yang terkenal dan didukung adalah tanpa kelas menengah tidak ada demokrasi. Hanya negara yang relatif kaya yang memiliki mayoritas kelas menengah, yang terdidik dan berpenghasilan cukup. Teori demokrasi selanjutnya, bukan semata ekonomi tetapi kultur. Yaitu kultur dominan yang menghargai keberagaman, kompromi, sikap moderat dan hak-hak individu. Tanpa adanya civic culture, demokrasi tidak akan berkualitas dan dengan mudah kembali jatuh menuju sistem yang tidak demokratis. Namun teori elite membantah kedua teori di atas, dengan realiti-empirikal ataupun dengan logika teori. Tingkat ekonomi ataupun jumlah kelas menengah tidak menjadi prasyarat bagi demokrasi yang bertahan lama. Ekonomi Negara Singapura sangatlah tinggi. Namun ekonomi negara India sangatlah rendah. India mempraktekkan demokrasi sudah puluhan tahun, namun Singapura belum dapat disebut negara demokrasi. Jadi demokrasi dapat tumbuh diberbagai tempat dimana saja di muka bumi ini, termasuk juga di Gorontalo. Satu hal subtantif yang terlupakan oleh dua teori di atas, menurut Denny JA (2006:215) yaitu variable aktor politik dalam hal ini elite politik. Para elite dapat membuat hasil politik berbeda. Elite ini bukanlah aktor yang pasif, yang perilakunya ditentukan oleh kelas ekonomi, latar belakang kultur ataupun agama. Elite dianggap sebagai faktor yang independen yang punya pilihan bebas, yang bisa bertindak berbeda dengan kepentingan ekonomi kelompoknya dan berbeda dengan latar belakang kultur dan agamanya. Namun menurut saya, untuk bertransisi menuju demokrasi para elite harus melampaui tiga tahap di atas secara berhasil. Yaitu dari elite yang bersatu secara ideologis di bawah sistem otoriter, lalu berubah menjadi elite yang berkonflik dan menjatuhkan negara otoriter, kemudian bertransformasi lagi menuju elite yang berkompetisi dalam prosedur yang demokratis. TANGGUNG JAWAB PEMIMPIN Kita merasa gembira seperti dikatakan oleh Dahl (1971:24-26), transisi menuju demokrasi yang stabil umumnya didahului oleh bangkitnya dinamika, kompetisi dan konflik di kalangan elite terlebih dahulu. Mustahil terbentuk sebuah masyarakat demokratis tanpa adanya kompetisi dan konflik elite. Dinamika politik itu bukan saja berfungsi menyalurkan perbedaan yang memang ada di dalam masyarakat, tetapi juga menjadi motor penggerak pertumbuhan sebuah bangsa, jika ia terkendali. Dahl sendiri sebenarnya tidak menggunakan istilah demokrasi, karena kedaulatan rakyat sepenuhnya yang diimplikasikan oleh demokrasi itu hanyalah utopia. Yang mungkin diciptakan bukanlah demokrasi tetapi polyarchy, kekuasaan oleh banyak pihak yang diindikasikan oleh tingginya kompetisi elite dan meluasnya partisipasi politik masyarakat (non-elite). Istilah demokrasi yang digunakan dalam tulisan ini merujuk pada pengertian polyarchy itu. Dahl mengabstrasikan tiga jalan menuju kondisi demokrasi dari sistem yang sama sekali tidak demokratis (closed hegemony). Pertama, sistem itu dapat terlebih dahulu berkembang menuju situasi competitive oligarchies. Yaitu kondisi yang ditandai oleh tingginya kompetisi politik di kalangan elite, namun dengan partisipasi politik masyarakat luas (non-elite) yang dibatasi. Kemudian secara bertahap sistem ini memperluas partisipasi masyarakat menuju sistem yang sepenuhnya demokrasi. Kedua, sistem berkembang dulu menuju inclusive hegemony. Istilah ini merujuk pada perluasan partisipasi politik masyarakat di kalangan non-elite, tetapi menekankan dan menyeragamkan politik para elite. Lalu secara bertahap kompetisi politik para elite dikembangkan menuju sistem yang sepenuhnya demokratis. Ketiga, sistem itu secara langsung menuju demokrasi dengan membuka secara serentak kompetisi politik para elite dan partisipasi politik non-elite. Berdasarkan studi Dahl atas 140 negara, sistem yang sampai pada kondisi demokrasi yang stabil adalah negara yang menggunakan jalan pertama yaitu melalui competitive oligarchies. Perubahan menuju demokrasi datang melalui negara yang terlebih dahulu berpengalaman dengan kompetisi politik elitenya. Sebelum partisipasi politik meluas ke seluruh segmen masyarakat, para elite harus terbiasa dahulu dengan kultur kompetisi, konflik dan kemudian konsensus. Sebelum para elite terbiasa dengan kultur kompetisi (konflik dan konsensus), perluasan partisipasi politik ke masyarakat non-elit menjadi rawan dan dapat menyebabkan demokrasi yang tidak stabil. Jika peran elitenya saja tidak mampu mengatasi kompetisi, apalagi masyarakat non-elite. Pertikaian di kalangan massa akan jauh lebih tidak terkendali dan dekat dengan kultur kekerasan. Oleh sebab itu, ketiga jalan ini diperlukan adanya kepemimpinan politik yang mampu mentransendensi dan merekatkan kompetisi politik para elite itu. Posisi Fadel Muhammad sebagai gubernur-politisi dan Gusnar Ismail wakil gubernur-birokrat, adalah kombinasi sangat kuat sebagai figur sentral dan bias menjadi representatif masyarakat Gorontalo. Kompetisi politik para elite dengan demikian dapat dijaga untuk tidak berkembang menjadi perpecahan tanpa terkendali. CATATAN PENUTUP Akankah dinamika politik elite di Gorontalo yang prural membawa masyarakat kepada ketidak stabilan? Pada gilirannya ketidak stabilan politik akan memundurkan berbagai prestasi lokal maupun nasional yang sudah dicapai oleh Gorontalo. Sebagai acuan adalah studi yang dilakukan oleh Arend Lijphard (1968, 1977) di negara yang prural. Dengan mengutip awal studi yang dilakukan Dahl, ia katakan bahwa dari 114 negara yang dikaji, hanya 15 persen demokrasi yang stabil berasal dari masyarakat prural. Umumnya demokrasi yang stabil berasal dari masyarakat yang kurang lebih homogen (low and moderate pluralism). Masyarakat yang prural di dunia berkembang seringkali terjatuh pada ketidakstabilan. Lijphard memberi contoh negara-negara Eropa dan Amerika Serikat. Pertanyaan kemudian bagaimana Gorontalo dapat stabil? Ada tiga alasan subtantif yang dapat dikemukakan menurut penulis sangat relevan dengan Gorontalo. Pertama, alasan yang bersifat kultur politik, yaitu dominannya sikap politik yang moderat dan toleran di kalangan elite politik. Sikap politik ini memudahkan berbagai pihak yang berkonflik untuk mencari konsensus dan kompromi yang saling memuaskan (win-win outcomes). Sikap politik yang toleran dan moderat mencegah konflik agar tidak terjatuh pada sisi yang ekstrem, yang kemudian berujung pada sikap permusuhan dan menghabiskan energi untuk saling ingin menghancurkan. Sikap ini akan pula memudahkan para elite menerima realitas politik kepentingan yang memang beragam dan saling berkonflik. Prinsip agree to disagree secara damai dapat dicapai, dan solusi yang bersifat kekerasan dapat dihindari. Kedua, berlakunya prinsip kepastian dan keadilan hukum. Sistem hukum diberlakukan secara adil ke semua kelompok kepentingan [baca: masyarakat] tanpa diskriminasi, dan penerapan hukum harus jelas dan pasti. Siapapun yang melakukan kesalahan, mulai dari rakyat jelata sampai gubernur, harus sesuai dengan hukum yang berlaku akan diusut berdasarkan prosedur yang ada. Kepastian dan keadilan hukum ini membuat berbagai pihak secara sukarela akan menyerahkan setiap konflik yang ada kepada sistem hukum. Masyarakat percaya bahwa sistem hukum akan bekerja dan merupakan solusi terbaik. Jika sistem hukum tidak adil dan tidak pasti, mereka akan mencari sulusi lain yang justru akan berakibat fatal bagi masyarakat secara keseluruhan. Inilah yang terjadi akhir-akhir ini di Gorontalo demonstrasi berupa parlemen jalanan yang anarkis. Ketiga, pemerintah harus mewakili kepentingan semua pihak dan berada di atas semua golongan. Komposisi pemerintah dapat berupa apa yang oleh Lijphard disebut grand coalition. Berbagai kelompok yang beragam di Gorontalo memiliki wakilnya di pemerintahan sesuai dengan kapasitas dan kepakarannya yang dimiliki, sehingga pemerintah berfungsi sebagai integrator keberagaman masyarakat. Jika grand coalition ini bukan pilihan, setidaknya tidak ada kebijakan dari pemerintah yang terkesan secara sengaja pilih kasih hanya terhadap kelompok tertentu. Pilih kasih ini akan mengurangi legitimasi pemerintah di kalangan kelompok yang beragam, serta dapat menyulut berbagai ekspresi kecemburuan dan kemarahan sosial. Bagi Gorontalo saat ini, menurut penulis merupakan pilihan yang substansial untuk pembangunan sistem politik yang tidak hanya demokratis tetapi juga stabil. Bila merujuk kepada tiga alasan di atas, maka kompetisi diantara kaum elite di Gorontalo akan memberikan kontribusi positif bagi keseluruhan dinamisme politik yang ada. Dan yang subtantif adalah tanggung jawab pemimpin menjadi faktor yang signifikan. ____________________________________________________________________________________ Be a better friend, newshound, and know-it-all with Yahoo! Mobile. Try it now. http://mobile.yahoo.com/;_ylt=Ahu06i62sR8HDtDypao8Wcj9tAcJ