--- On Fri, 10/9/09, bakri arbie <daya...@yahoo.com> wrote:

From: bakri arbie <daya...@yahoo.com>
Subject: Fw: [Forum-Pembaca-KOMPAS] Fw: Artikel Kompas: Salah Kaprah Paten 
Budaya
To: alumnipran...@yahoogroups.com
Cc: "arbie bakri" <arbieba...@yahoo.com>
Date: Friday, October 9, 2009, 2:32 AM



--- On Thu, 10/8/09, kang_as...@yahoo.com <kang_as...@yahoo.com> wrote:

From: kang_as...@yahoo.com <kang_as...@yahoo.com>
Subject: [Forum-Pembaca-KOMPAS] Fw: Artikel Kompas: Salah Kaprah Paten Budaya
To: komunitashisto...@yahoogroups.com, mediac...@yahoogroups.com, 
forum-pembaca-kom...@yahoogroups.com, tamasyac...@yahoogroups.com
Date: Thursday, October 8, 2009, 11:05 PM






 




    
                  Artikel yang sangat menarik...

Semoga bermanfaat.. . :)

Salam Historia!

Asep Kambali, KHI



Sent from my BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss... 
!



-----Original Message-----

From: jhohannes marbun <joe_mar...@yahoo. com>

Date: Thu, 8 Oct 2009 22:54:27 

To: <advokasiwarisanbuda y...@yahoogroups. com>; <j...@yahoogroups. com>; 
<watch-terminal@ yahoogroups. com>

Subject: [jppi] Artikel Kompas: Salah Kaprah Paten Budaya



Kepada Teman2 MADYA dan Pelestari Warisan Budaya..



Tulisan di bawah membuka pemahaman kepada kita tentang aspek hukum dan 
kebijakan publik dalam pelestarian warisan budaya. Beberapa waktu lalu sempat 
menjadi perbincangan teman2 di MADYA juga tentang pemahaman yang lebih mendalam 
Hak Paten dan Hak Cipta termasuk strategi melindungi dan memasyarakatkan 
warisan budaya bangsa.

Advokasi (nonlitigasi) menjadi bagian penting bagi organisasi2 pelestari 
warisan budaya untuk mensinergikan antara kepentingan tiga stakeholder yaitu 
pemerintah, swasta dan masyarakat agar adil, seimbang dan setara, utamanya 
dalam kegiatan pelestarian budaya bangsa. INi penting juga dalam membangun 
karakter dan mental bangsa yang cerdas, kritis, serta humanis.

Selamat Membaca, terimakasih.



Salam Budaya,



JM

============ ===

Salah Kaprah Paten BudayaJumat, 9 Oktober 2009 | 03:44 WIBOleh Arif Havas 
OegrosenoTajuk

Rencana Kompas (3/10) berjudul ”Batik Milik Dunia” berisi: ”Untuk

menghindarkan klaim negara lain terhadap produk budaya nasional,

Indonesia perlu segera mematenkannya di lembaga internasional”.

Pernyataan ini sangat mengejutkan, paling tidak karena tiga perkara.Pertama,

paten adalah perlindungan hukum untuk teknologi atau proses teknologi,

bukan untuk seni budaya seperti batik. Kedua, tak ada lembaga

internasional yang menerima pendaftaran cipta atau paten dan menjadi

polisi dunia di bidang hak kekayaan intelektual (HKI). Ketiga, media

terus saja mengulangi kesalahan pemahaman HKI yang mendasar bahwa

seolah-olah seni budaya dapat dipatenkan.Dalam urusan HKI, ada

sejumlah hak yang dilindungi, seperti hak cipta dan paten dengan

peruntukan yang berbeda. Hak cipta adalah perlindungan untuk ciptaan di

bidang seni budaya dan ilmu pengetahuan, seperti lagu, tari, batik, dan

program komputer. Sementara hak paten adalah perlindungan untuk

penemuan (invention) di bidang teknologi atau proses teknologi. Ini

prinsip hukum di tingkat nasional dan internasional. Paten tidak ada

urusannya dengan seni budaya.Jadi, pernyataan ”perlu mematenkan

seni budaya” adalah distorsi stadium tinggi. Penularan distorsi

pemahaman oleh media ini menjalar lebih cepat daripada flu burung.

Tidak kurang dari Sultan Hamengku Buwono X menyatakan bahwa produk

budaya dan seni warisan leluhur idealnya dipatenkan secara

internasional (Antara, 25/8/2009) atau Gubernur Banten yang akan

mematenkan debus (Antara, 28/8/2009).Distorsi ini sangat

berbahaya karena memberikan pengetahuan yang salah kepada publik secara

terus-menerus, akibatnya kita terlihat sebagai bangsa aneh karena di

satu sisi marah-marah karena merasa seni budayanya diklaim orang lain,

tetapi di sisi lain tak paham hal-hal mendasar tentang hak cipta dan

paten.Salah

kaprah lain adalah keinginan gegap gempita untuk mendaftarkan warisan

seni budaya untuk memperoleh hak cipta. Para gubernur, wali kota, dan

bupati berlomba-lomba membuat pernyataan di media bahwa terdapat sekian

ribu seni budaya yang siap didaftarkan untuk mendapat hak cipta.

Tampaknya tak disadari bahwa dalam sistem perlindungan hak cipta,

pendaftaran tidaklah wajib. Apabila didaftarkan, akan muncul

konsekuensi berupa habisnya masa berlaku hak cipta, yakni 50 tahun

setelah pencipta meninggal dunia. Jadi, seruan agar tari Pendet

didaftarkan adalah berbahaya karena 50 tahun setelah pencipta tari

Pendet meninggal dunia, hak ciptanya hilang dan tari Pendet dapat

diklaim siapa saja.Kita harus hati-hati menggunakan kata klaim

apabila terkait urusan sebaran budaya. Adanya budaya Indonesia di

negara lain tidak berarti negara itu secara langsung melakukan klaim

atas budaya Indonesia. Karena apabila ini kerangka berpikir kita, kita

harus siap-siap dengan tuduhan bangsa lain bahwa Indonesia juga telah

mengklaim budaya orang lain; misalnya bahasa Indonesia yang 30 persen

bahasa Arab, 30 persen bahasa Eropa (Inggris, Belanda, dan Portugis)

serta 40 persen bahasa Melayu. Bagaimana dengan Ramayana yang oleh

UNESCO diproklamasikan sebagai seni budaya tak benda India? Apakah

Indonesia telah mengklaim budaya India sebagai budaya kita karena di

Jawa Tengah sendratari Ramayana telah menjadi bagian budaya?Dalam

narasi proklamasi UNESCO atas wayang sebagai seni tak benda Indonesia,

disebutkan ”Wayang stories borrow characters from Indian epics and

heroes from Persian tales”. UNESCO menyatakan kita meminjam budaya

orang lain dalam wayang kita. Apakah meminjam sama dengan mengklaim?

Rabindranath Tagore dalam Letters from Java justru terharu dan bangga

melihat budaya India dilestarikan di Jawa, bukannya menganggap ini

sebagai klaim Indonesia, lalu marah dan meneriakkan perang.SolusinyaPer tama,

media sebagai kekuatan sosial politik keempat harus berani belajar

untuk menyajikan substansi yang benar tanpa takut kehilangan rating.

Kedua, pemerintah daerah perlu memberdayakan aparat mereka agar paham

masalah-masalah HKI. Upaya mudah dan murah, kalau mau.Ketiga,

database tentang seni budaya Indonesia dikumpulkan di satu instansi

tertentu, lalu disusun dengan klasifikasi kategorisasi sesuai standar

Organisasi Kekayaan Intelektual Dunia (WIPO). Keempat, database ini

dilindungi instrumen hukum nasional, lalu dijadikan rujukan dalam

perjanjian bilateral guna membatalkan pemberian hak cipta yang meniru

seni budaya Indonesia.Kelima, Indonesia bersama negara-negara

berkembang terus melanjutkan keberhasilan perundingan di Sidang Majelis

Umum WIPO pada 1 Oktober 2009 yang memutuskan bahwa WIPO akan

menegosiasikan suatu instrumen hukum internasional yang akan mengatur

perlindungan masalah pengetahuan tradisional, ekspresi budaya

tradisional, dan sumber genetika.Mari bekerja keras dengan nasionalisme yang 
cerdas.

Arif Havas Oegroseno Alumnus Harvard Law School



[Non-text portions of this message have been removed]




 

      

    
    
        
         
        
        








        


        
        


      


      

Kirim email ke