--- On Sun, 8/31/08, bakri arbie <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
From: bakri arbie <[EMAIL PROTECTED]>
Subject: Fw: Re: [Forum Pembaca KOMPAS] Kaya dan Pintar
To: "arbie bakri" <[EMAIL PROTECTED]>
Date: Sunday, August 31, 2008, 4:20 AM



--- On Sun, 8/31/08, Indra Jaya Piliang <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
From: Indra Jaya Piliang <[EMAIL PROTECTED]>
Subject: Re: [Forum Pembaca KOMPAS] Kaya dan Pintar
To: [EMAIL PROTECTED]
Date: Sunday, August 31, 2008, 12:42 AM










    
            Luar biasa. Satu email di antara sedikit yg aku simpan dlm file 
khususku. 




Tdk mudah memang menyelesaikan soal2 pendidikan di Indonesia. Salah
satu usulku adalah melempar seluruh univ terbaik keluar pulau Jawa.
Satu univ yg dibangun di pinggir danau maninjau yg berpagar bukit
barisan, dg pola asrama dan non asrama, akan membawa satu perubahan.
Univ Utara Malaysia terletak di dlm hutan. 



Kalau univ atau sekolah terlalu dekat dgn mal, dll, digempur industri tv, maka 
yg didpt adalah cerita ini. 




Ijp








Sent from my BlackBerry® wireless device from XL GPRS network




-----Original Message-----


From: Anwar Holid <[EMAIL PROTECTED] com>




Date: Fri, 29 Aug 2008 16:01:01 


To: <pegiatpendulum@ yahoogroups. com>


Subject: [Forum Pembaca KOMPAS] Kaya dan Pintar






PERHATIAN: Maaf, tulisan saya kali ini memuat kata-kata kasar. Jangan 
tersinggung.




[HALAMAN GANJIL]




Kaya dan Pintar


------------ ---


--Anwar Holid






Pada Jumat, 29 Agustus 2008, aku naik angkot sampai persis di depan
Gedung Sate/Gasibu. Ternyata di jalan raya itu sedang ada pawai panjang
kampanye donor darah 'Triboplastic' yang diadakan anak-anak SMU 3
Bandung. Mereka pawai menggunakan jajaran mobil dan motor. Dari pinggir
jendela angkot yang aku naiki terlihat barisan mobil-mobil mewah yang
mereka gunakan, baik sedan, city van (Kijang dan semacamnya), mobil
kecil (Jazz dan sejenisnya), beragam jeep, sampai Land Rover. Rupanya
ular pawai ini dibagi tiga jajar. Jajaran pertama rangkaian mobil, di
tengah jajaran motor, di belakang mobil lagi. SMU ini sulit dibantah
merupakan SMU paling favorit di Bandung selain SMU swasta terkemuka
seperti St. Angela.



Anak-anak remaja ini dengan penuh semangat, menebar senyum, dan
ceria membagi-bagikan selebaran pada siapapun yang lewat. "Jangan lupa
datang ya," kata mereka, baik ke penumpang angkot dan pengendara lain.
Tapi karena saking panjang, pawai mereka rupanya mengganggu orang lain
yang malas dengan kemacetan atau sedang terburu-buru. Di belakang suara
klakson bersahut-sahutan, aku pikir bagian dari keriaan. Rupanya itu
bagian dari kemarahan. Seorang ibu berjilbab, berkaca mata hitam,
pengendara mobil lain, memaki-maki pawai itu, persis di bagian motor
yang dikendarai seorang siswi. Dia sedikit kesulitan segera memindahkan
motornya masuk ke jajaran. Memang lajur kiri jalan itu bagian 'belok
kiri jalan terus.' Angkot yang aku naiki ada di lajur ketiga jalan,
jadi aku lihat kejadian itu.



"Nyingkah siah!" teriak ibu itu. Anak-anak jadi ribut. Si gadis
kerepotan, tapi segera bisa masuk barisan. Anak-anak lain jadi merasa
solider, dan akhirnya membalas teriakan dengan makian yang sama kasar.
Terdengar mereka bilang bertanya-tanya, "Ngomong naon sih?" sambil
menyahut-nyahut dengan berbagai alternatif, sampai yang terdengar jelas
ialah teriakan, "Kanjut meureun..." Tapi segera angkotku jalan terus,
mengantarkan beberapa meter ke depan. Jadi aku terhindar melihat
insiden itu lebih jauh. Di angkot, aku akhirnya gagal meneruskan baca
buku Muhammad, Rasul Zaman Kita (Tariq Ramadhan) terbitan Serambi. Aku
ingin mengulas buku ini persis karena mau puasa Ramadhan, tapi ternyata
masih gagal.



Di dalam angkot itu aku jadinya membatin dan terus memperhatikan
pawai itu. Mereka masih remaja, sudah kaya-kaya, dengan sosialita yang
boleh jadi kelas menengah atas---entah high class atau high
maintenance. MObil mereka keren-keren, dalam mobil itu mereka
memencet-mencet HP, merokok, bersendau gurau, menikmati masa remaja,
dengan tampilan terpelihara, tapi otak mereka juga pintar dan
berwawasan luas. Merekalah yang bakal paling banyak mengisi sekolah
tinggi favorit di Bandung, baik itu ITB, Unpad, Unpar, dan lain
sebagainya. Dalam hati aku bilang, "Wah... mereka itu sudah kaya-kaya,
pintar-pintar lagi..."



Insiden si ibu memaki juga tetap terkenang. Kejadian ini
mengingatkan aku pada peristiwa lama, ketika di Padalarang bus jurusan
Jakarta yang tumpangi memepet sedan mulus, berisi sekeluarga, terdiri
dari anak (sopir) dan ayah-ibunya. Yang menurutku keterlaluan, si
pemilik sedan ini memaki-maki jauh lebih kasar pada sopir dan kondektur
bus, biar menyingkir lebih dulu dan menyelesaikan masalah, padahal
mobil mereka kedua-duanya jadi nggak bisa gerak. Anak dan bapak itu
menyemburkan kata-kata anjing, goblog, setan, dan sebagainya kepada
sopir dan kondektur, membuat keadaan jadi runyam, sok kuasa, dan bikin
kepalaku jadi mendidih. Akhirnya aku jadi ikut teriak, "Hei, tolong
kamu tenang dulu! Parkirkan dulu mobil kamu dengan baik!" Yang lebih
istimewa lagi, menurutku, ialah tampilan keluarga ini. Si ayah
mengenakan baju koko, berkopiah haji, si ibu berjilbab, berkaca mata
hitam, si anak juga berkaca mata, mengenakan baju koko putih perlente,
dan di kaca spion

 dalam mobil, sebuah tasbeh sudah berhenti bergoyang-goyang. Aku
betul-betul jadi gagal bersabar menghadapi pemandangan itu,
menggumpalkan makian dalam hati, "Anjing, anjing, kamu penampilan saja
kayak begitu, dalamnya berisi setan! Amarah dan ego kamu luar biasa
besar dan sulit ditenangkan. Najis!" Karena pindah bus, aku jadi
melewatkan insiden itu.



Di jalan Sulanjana, yang dilalui angkotku, aku ketemu lagi dengan
pawai anak-anak SMU 3. Mereka tentu menyebar ke berbagai penjuru kota.
Batinku mulai kembali ke anak-anak itu, ke sekolah dan pendidikan. "Ada
nggak ya anak miskin di antara mereka? Yang nggak bisa ikut pawai
karena terlalu miskin, dan jadinya manyun atau sedih di kelas atau di
rumah?" Boleh jadi sedih banget nggak bisa ikut ramai-ramain dengan
kawan sebaya mereka, menikmati kemewahan dan kesenangan yang tersedia
untuk mereka nikmati. Batinku berucap, beruntung sekali mereka itu,
bisa memanfaatkan kekayaan orangtua biar pintar-pintar dan punya
sosialita kelas utama. Apa karena kaya, mereka jadi berkesempatan jadi
pintar. Untuk jadi pintar memang mahal. Boleh jadi mereka harus banyak
beli buku, belajar tambahan lagi di bimbingan belajar, atau les privat,
punya ini-itu untuk menunjang kepintaran dan kecerdasan. Memang aku
yakin jelas masih ada beberapa anak miskin yang sekolah SMU 3 atau


 sekolah favorit lain, tapi biaya pendidikan memang mahal.



Apa yang bisa dilakukan agar anak pintar dan masuk sekolah favorit?
kataku. Harus sekolah dengan baik, belajar dengan giat, disiplin,
sekolah dengan fasilitas dan standar bagus, meski biayanya mahal. Aduh,
kasihan sekali orang miskin, batinku lebih pada diri sendiri. "Orang
miskin dilarang sekolah!" begitu tegas Eko Prasetyo, kritikus sosial
dari Jogja, mengkritik betapa mahal biaya sekolah. Aku jadi kecut
sendiri terhadap masa depan Ilalang, anakku, persis karena aku merasa
sering kekurangan dan penghasilan terlalu cepat habis untuk biaya
sehari-hari. Awal ajaran baru ini, aku belum melunasi sepeser pun buku
wajib yang diambil Ilalang. (Mungkin baru bisa bulan depan.) Apa orang
harus kaya dulu, baru bisa menikmati sekolah yang bisa membuat
murid-muridnya pintar. Aku langsung ingat Alexander the Great, calon
kaisar Yunani dari Macedonia, salah satu murid Aristoteles. Adakah di
antara murid lain Aristoteles itu misalnya anak tukang gorengan atau
tukang

 becak? Aku ragu sekali tentang hal itu. Yang punya kesempatan
belajar dengan dia aku berani berprasangka pastilah anak-anak orang
kaya atau keturunan kalangan raja. Rasanya pendidikan bakal tambah
sulit teraih bila seseorang miskin.



Aku sering merasa bahwa aku masih miskin dan penghasilan kerap
kurang untuk persiapan masa depan dengan baik, karena terlalu cepat
habis untuk biaya sekarang. Aku khawatir, karena miskin, jadi sulit
membiayai anak-anak, dan boleh jadi mereka jadi bodoh atau nggak
pintar, dan tetap miskin. Memang aku tidak terlalu miskin dibandingkan
orang yang lebih miskin, juga tidak terlalu pintar dibandingkan orang
yang lebih bodoh. Di sisi lain, aku masih bersemangat dengan optimisme,
tekad, dan harapan baik masa depan. Tapi bayang-bayang bahwa peluang
orang kaya begitu besar untuk jadi pintar dibandingkan peluang orang
miskin jadi pintar, membuat aku gelisah di dalam angkot. Kepalaku
menerawang ke mana-mana, salah satunya ingat saudara serumah yang dulu
sekolah di SMU 3. Dia membuat aku kagum karena pintar. Aku jadi ingat
waktu masih kelas 6 SD, jadi adik PAS-Salman, punya beberapa teman yang
jauh lebih kaya dan pernah diajak ke rumahnya yang mewah di awal


 Tamansari, penuh komik, majalah, dan mainan mengasyikkan.



Angkot yang aku naiki melintasi jalan Tamansari, tempat kampus ITB
mengambil cukup besar porsi bagian dari wilayah itu. Sekarang di
sepanjang pinggir kampus ini dikelilingi mobil parkir bertebaran, belum
lagi di lapangan parkir dalam yang luas dan di pingir Sabuga.
Pemandangan ini lain sekali dibandingkan tahun-tahun 94-an ketika aku
cukup aktif di masjid Salman, salah satu blok di ujung kampus itu.
Keadaan sekarang membuat aku cukup yakin bahwa yang masuk ITB memang
banyak sekali dari kalangan orang kaya. Lihatlah mobilnya, lihatlah
penampilan mereka, hiasan yang mereka kenakan, perhatikan cara masuk
dan membiayai kuliahnya. Aku lantas terkenang teman-teman setia dari
satu generasi yang kuliah di sana, baik dari kalangan orang miskin atau
kaya, bahkan akhirnya beberapa dari mereka DO (aku sendiri juga DO dari
Unpad.) Dari teman yang miskin aku dapat cerita, waktu itu salah satu
harapan utama keluarga mereka menguliahkan anaknya di ITB ialah agar
setelah

 lulus bisa menopang kehidupan keluarga di masa depan, termasuk
adik-adik mereka dan generasi berikutnya. Aku tahu betapa muram dan
depresif ketika mereka terpaksa DO, salah satunya karena terlalu miskin
untuk membiayai kuliah. Ironik dan bikin air mata meleleh. Tapi mereka
juga cerdas dan pintar, berwawasan luas, visioner optimistik di masa
depan, siap menghadapi kenyataan kehidupan--- dengan segala kekhasan
dan keunggulannya. Biar miskin, mereka toh tetap menaruh ilmu
pengetahuan dan hasrat belajar dalam jajaran paling depan. Bukankah itu
menarik? Tentu saja ada dari anak-anak miskin itu yang akhirnya jadi
sarjana, dan mampu membiayai keluarga. Tentu saja sarjana dari keluarga
kaya biasanya setelah itu punya karir gemilang dan tambah makmur dengan
cukup segera. Yang mengagumkan, mereka tetaplah sederhana, bermoral
mulia, dan suka menolong teman-temannya yang tergolong lebih miskin
seperti aku ini.



Kalau optimistik, berusaha, cukup punya tekad, bukan kekayaan yang
membuat orang pintar, melainkan semangat mencari pengetahuan ditambah
kesempatan. Tapi bagaimana mendapat pengetahuan tanpa ditunjang biaya?
Cukup sulit, kecuali kita punya lingkungan yang baik, menyediakan
fasilitas cukup baik, pinjam dari berbagai sumber dan sebagainya--
-termasuk mendapat sedekah, menerima kebaikan orang lain, atau
beasiswa. Untuk kursus main djembe di Jendela Ide, Ilalang ternyata
mendapat sebagian beasiswa dari mereka, dan itu membuat aku merasa
mendapat keberuntungan dan kebaikan luar biasa. Tanpa sedih,
mengecilkan hati dan perasaan, hanya Ilalang yang naik angkot kalau
berangkat ke Jendela Ide. Buat aku kondisi itu suka menggetarkan.



Sebuah kebetulan aneh terjadi, pas di depan perpustakaan ITB, dekat
pintu masuk Sabuga, Indra Purnama, kawan mudaku sesama dari SKAU,
nyegat angkotku. Aku senang dan semangat sekali. Begitu masuk, kami
salaman dan ngobrol ini-itu dengan semangat, bertukar kabar, sampai ke
soal kesungkanan bersilaturahim bila nggak ada perlu, artinya cuma
basa-basi biar tetap akrab. Aku cerita soal barusan yang aku lihat dan
alami. "Indra dulu di SMU tiga kan?" tanyaku meyakinkan. Akhirnya
topiknya kembali ke pendidikan, kekayaan, kemiskinan, dan kepintaran.
Ya, Indra alumni SMU 3 dan sarjana ITB, buktinya dia tetap naik angkot
untuk pulang ke subang. Kami ketawa. "Wah, sekarang mereka begitu ya?
Biasanya kan yang suka pawai anak SMU lima. Tapi nggak semuanya begitu
kok," kata dia tertawa menanggapi anak-anak barusan. Lantas dia cerita
tentang masa kecilnya, yang harus pisah dari orangtua demi sekolah di
Bandung, sejak SMP. Mungkin dia dari keluarga sederhana.



Pada dasarnya aku yakin dengan rezeki dari Allah, tapi harus aku
akui suka panik dan gelisah bila benar-benar kehabisan, dan belum
waktunya dapat lagi. Aku tidaklah begitu miskin sampai putus asa. Aku
bekerja dan optimistik, dan cukup mudah untuk minta tolong atau
mendapat kesempatan. Aku punya kemampuan, meski kadang-kadang tidak
dimaksimalkan. Aku bersemangat terhadap banyak hal, termasuk ilmu
pengetahuan dan belajar, juga terbuka. Sebagian tetanggaku jauh lebih
miskin. Anak-anak tetanggaku mengonggok dan bergerombol sia-sia, suka
mengumpat, persis di depan rumahku, berkata kasar, merokok, sehabis
tamat SMU tapi gagal kuliah, entah karena miskin atau bodoh. Sebagian
dari mereka menganggur, yang lain kerja jadi tukang goreng ayam atau
ojek. Ada kawan sepantarku hanya tamat SMP, sekarang kerja serabutan
jadi kuli bangunan. Aku khawatir pengaruh buruk pemuda-pemuda itu
menular ke keluargaku, terutama ke Ilalang dan Shanti. Salah satu anak
kecil, mungkin

 baru berumur 3-4 tahun sudah tertular jadi sangat bengal, suka
memukul, dan mengumpat sebentar-sebentar mengeluarkan kata "anjing
maneh, anjing maneh..." Saking bengal dan kasar, anak ini pernah
menendang Ilalang waktu sujud shalat dan memelorotkan sarung imam
masjid waktu shalat.



Aku memikirkan masa depan anak-anakku, berdoa dan berusaha agar
lebih baik, mendapat kesempatan belajar dalam sekolah dan kehidupan,
sekalipun kami sederhana. Semoga kurang kaya dan kurang pintar kami
bisa disiasati dengan berbagai cara yang baik. Di sisi lain aku terus
memupuk semangat agar cukup pintar untuk menghadapi berbagai kesulitan
dan selamat sampai tujuan.[]5:43 30/08/08




Anwar Holid, cukup kaya meskipun kekurangan, cukup pintar meski kurang 
pengetahuan.




Anwar Holid, penulis & penyunting, eksponen TEXTOUR, Rumah Buku.




Kontak: [EMAIL PROTECTED] com | (022) 2037348 | 08156140621 | Panorama II No. 
26 B Bandung 40141




Sudilah mengunjungi link ini, ada lebih banyak hal di sana:


http://www.goethe. de/forum- buku


http://www.republik a.co.id/koran. asp?kat_id= 319


http://www.rukukine ruku.com


http://ultimusbandu ng.info


http://www.gramedia .com


http://www.mizan. com


http://www.digibook gallery.com


http://halamanganji l.blogspot. com




Come away with me and I will write you


---© Norah Jones












[Non-text portions of this message have been removed]




      

    
    
        
         
        
        








        


        
        




      


      

Kirim email ke