Dari Milis tetangga ---------- Forwarded message ---------- From: Sirikit Syah <[EMAIL PROTECTED]> Date: 2008/11/5 Subject: [NaratamaTV] Tentang Amplop 1 To: Jurnalisme Damai <[EMAIL PROTECTED]>, [EMAIL PROTECTED], [EMAIL PROTECTED], [EMAIL PROTECTED]
Amplop versi sirikit syah Menurut saya, amplop ada dua: 1) yang diberikan agar wartawan/pers memuat beritanya –biasanya bersifat promosi, 2) yang diberikan agar wartawan tidak memuat beritanya –biasanya menutupi skandal/kasus. Secara kebahasaan, saya tidak setuju digunakannya kata amplop. Kosa kata ini sulit menjelaskannya kalau ada orang asing yang bertanya (envelope journalism, what is that?). Pasal-pasal kode etik mesti lebih specific. Pasal yang mengatakan "dilarang menerima sogokan" atau "suap" dan sejenisnya, sudah specific. Namun, kelemahan dari kosa kata specific seperti ini adalah bila ada wartawan yang berkilah: "Ini bukan sogokan" atau "Ini bukan suap". Inilah yang mesti diwaspadai dan disiasati oleh para perancang pasal kode etik. Kata yang lebih tepat digunakan mungkin mesti digolongkan menjadi 'bribery' (penyuapan) atau 'gratification' (ungkapan terimakasih). Yang satu diberikan sebelum pemuatan, satunya diberikan sesudah pemuatan. Untuk 'gratifikasi', harus memenuhi syarat beberapa kode etik, seperti 'berkaitan dengan pekerjaan/tugas/profesinya'. Jadi, seorang wartawan yang istrinya bisa keluar dari RS karena kemurahan kepala rumah sakit atau walikota, TIDAK TERMASUK wartawan bodrex. Demikian juga, wartawan yang menerima bingkisan lebaran, BUKAN wartawan bodrex. Kecuali, tentu saja, kalau setelah menerima bingkisan lebaran, dia menulis yang baik-baik saja tentang perusahaan pemberi bingkisan lebaran itu. Dalam hal ini, menurut saya, hanya wartawan kurang kerjaan yang begitu keratif menulis hal-hal baik tentang pengirim bingkisan lebaran. Pertanyaan seorang anggota milis ini "apakah minum dan makan kue sebelum atau sesudah event liputan termasuk amplop?" adalah pertanyaan yang valid dan genuine. Menjawabnya tidak semudah membalik telapak tangan. Diperlukan konvensi di antara para organisasi jurnalis dan Dewan Pers untuk merumuskan jawabannya. Ini sangat berkaitan dengan bunyi pasal-pasal kode etik yang sudah ada. Waktu Gus Dur jadi presiden, ada insiden 'liputan ke luar negeri', yaitu tak ada biaya untuk pers. Yang mau ikut bayar sendiri. Akhirnya yang bisa ikut cuma media besar yang mampu membayar sendiri. Media kecil/lokal protes. Saya tidak judgemental: putusan Gus Dur baik untuk keuangan negara dan moral/etik wartawan. Di sisi lain: terjadi ketidakadilan informasi, hanya big media corporation yang mendapat akses liputan, media kecil/lokal hanya gigit jari. Memutuskan hal-hal seperti ini diperlukan high level of wisdom. Waktu masih liputan dulu, saya pernah diberi suvenir khas Madura sepulang dari liputan di Madura, pernah mendapatkan gantungan kunci Ettienne Aigner atau lipstick Lancome (mahal sekali untuk ukuran kantung saya). Kadang-kadang dapat bolpoin, payung, notes, sekotak coklat, dll. Semuanya saya terima (maklum masih muda dan belum belajar kode etik). Tapi menengok ke belakang dan menghadapi pertanyaan anggota milis saat ini, saya memutuskan tetap tidak akan judgmental kepada para penerima suvenir. Pernah juga saya liputan ke Bali Utara dan pulangnya mobil kami dipenuhi peti-peti anggur. Beberapa bulan kemudian ada lagi kiriman berpeti-peti anggur. Susah juga mengembalikannya (kalau waktu itu terpikir untuk mengembalikan). Liputannya juga feature budaya untuk SCTV yang baru berdiri. Liputan positif? Tentu saja! Budaya Bali sangat indah, sakral, mendatangkan devisa, bla bla bla .... dengan visual yang indah karena penting untuk program magazine/documentary. Anggur itu kami bagi ke semua awak redaksi dan editing. Yang paling buruk pengalaman menolak amplop (betul-betul amplop) sampai dikejar-kejar, lalu di kantor pas mengedit gambar, kameraman mengaku amplopnya dia terima dan dibagi sama sopir. Ada lagi yang lebih buruk, ketika jadi koordinator liputan, sering ditelepon narasumber 'penyuap' yang tidak ikhlas memberikan amplop, yang menelepon tiga kali sehari, setiap hari selama seminggu. "Kok berita kami belum ditayangkan? Tim liputan sudah kami beri amplop lo." Mula-mula saya jawab, "Maaf bu, keputusan penayangan ada di tangan RCTI Pusat/Jakarta. Kami hanya mengirim, mereka yang menseleksi." (hehehe, buka kartu nih, teman-teman di RCTI yang seangkatan saya jangan marah ya?). Lama-lama sebel juga, lalu saya jawab: "Bu, lain kali kalau mau ditayangkan secara pasti, bayar iklan saja. Sekarang berita itu sudah basi. Bila ibu menyesal memberi amplop, berapa uangnya, akan kami kembalikan! Lain kali jangan suka kasih amplop wartawan ya bu. Keputusan penayangan bukan di tangan mereka!" Tentu saja, internally, pasukan penerima amplop sudah 'habis' kena tegor. Ada yang dimutasi, ada pula yang dipecat. Karena saya penggemar film (pecandu), saya suka nulis resensi film. Ternyata distributor suka sekali membaca tulisan saya tentang film. Saya sering dapat freepass. Tapi saya TIDAK menulis film yang saya tidak suka. Yang saya tulis hanya yang mengesankan bagi saya, oleh sebab itu resensinya selalu positif. Tak jarang ketika saya nonton bersama kerabat atau teman-teman (empat sampai 10 orang), penjaga bioskop mengenali saya, kami semua langsung disuruh masuk tanpa bayar! Wah, uenak tenan .... rejeki nomplok ini namanya. Apakah filmnya akan aku tulis? Belum tentu. Demikianlah lika liku amplop yang pernah saya alami. Saya setuju banyak hal dengan versi Atmakusumah, salah satunya: dalam hidup ini ada banyak hal yang tak dapat kita tolak begitu saja. Kita hidup dengan masyarakat luas dan berbagai tatanan yang saling overlapping. Selanjutnya, baca saja Amplop versi Atmakusumah. Saya berharap para mahasiswa yang sedang/akan menulis skripsi atau tesis, tertarik untuk menulis pasal-pasal kode etik ini. Saya sendiri menemukan banyak kalimat tidak logis. Kapan-kapan saya posting. Ini bukan/belum penelitian lo (jadi trauma disemprot Ging nih), hanya pengamatan sekilas selama mengajarkannya di kelas. Ingin meneliti, tidak sempat. Idenya saya tawarkan saja secara terbuka kepada anggota milis. Saya siap membantu bila diperlukan. Salam, Sirikit syah