* Tokoh Perempuan yang Konsen di Bidang Budaya* Kamis, 18 Desember 2008 *Sabet Juara Nasional untuk Cerita Rakyat
BERBICARA** tentang budaya Gorontalo memang wanita yang satu ini memiliki banyak pengetahuan lebih di bidang budaya. Bahkan sepanjang hidupnya diabdikan untuk aktivitas budaya daerah.* [image: Image]Farha Daulima selalu menghabiskan waktunya seharian di bengkel kerjanya untuk mencari dan merumuskan berbagai karya pemikirannya seputaran budaya Gorontalo yang diperolehnya dari berbagai sumber. (Foto : Sofyan Ishak/Gorontalo Post) *Laporan : Sofyan Ishak, Gorontalo* SETIAP Orang Gorontalo yang ingin mendapatkan pengetahuan lebih soal budaya dan etnis Gorontalo, pasti akan langsung menyebut nama Farha Daulima. Hal ini memang bukan tidak beralasan, wanita kelahiran 21 Juli 1945 ini, memang dikenal sebagai aktivis budaya Gorontalo. Bahkan sepanjang hidupnya digunakan untuk menggali berbagai informasi, data dan fakta tentang berbagai hal seputaran budaya lokal Gorontalo. Kediaman Farha Daulima ketika disambangi Gorontalo Post Rabu (17/12) kemarin terlihat lengang. Wanita berusia 63 tahun, tampak masih tetap ceria ketika ditemui dirumahnya. Bahkan dengan bangganya Farha Daulima mengajak dan memperhatikan sederet karya budaya yang telah digoreskannya dalam sejumlah judul buku, tidak hanya itu saja bengkel kerja milik Farha pun ikut diperlihatkan kepada Gorontalo Post. Di bengkel ini tampak berjejer rapi sejumlah judul buku, yang kesemuanya berbicara mengenai budaya lokal Gorontalo. Sementara di sudut ruangan terdapat seperangkat Komputer, yang menemani Farha dalam menuangkan berbagai ide dan cerita mengenai budaya Gorontalo. Saat ini Farha telah berhasil menulis lebih dari 30 judul buku baik berupa sejarah perjuangan tokoh pejuang Gorontalo dan juga buku tentang alat musik, tarian dan sejumlah karya budaya lainnya. Belum lama ini Farha berhasil menyabet penghargaan dari Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia. Penghargaan ini diperoleh Farha setelah dirinya mengikuti sayembara penulisan cerita rakyat tingkat nasional. Karya yang dikirimkan Farha adalah "Kancing Ti Laga-Laga". Karya ini merupakan cerita Raja Panipi Bobihu yang memiliki ilmu tinggi hingga membuat kaum kolonial Belanda, kalang kabut untuk menangkapnya. "Alhamdulillah karya ini berhasil menjadi juara pertama," tandasnya. Meski agak kecewa dengan sikap Diknas Provinsi yang terkesan cuek dengan upaya yang dilakukan Farha dalam menyebarkan berbagai informasi budaya, namun tidak membuat semangat wanita yang masih berstatus perawan ini kendur. Tidak hanya itu saja Farha bersama Alim Niode, Sri Dewi Nani berhasil membuat desain logo baru Polda Gorontalo dan mendapatkan restu dari Kapolri, hingga kemudian lambang Polda Gorontalo yang sebelumnya dikenal dengan logo Maleo berubah dengan lebih banyak menonjolkan aspek budaya yang terlahir dari kajian ketiga tokoh termasuk Farha. Pensiunan PNS dari B-7 Kota Gorontalo ini, masih memiliki obsesi yang hingga saat ini belum terealisasi yakni menyebarkan karya-karya budayanya yang telah dibukukan tersebut ke seluruh sekolah yang ada di Gorontalo. "Saya hanya ingin meninggalkan oleh-oleh ini kepada Generasi Muda Gorontalo, saya pun berharap kiranya hal ini bisa mendapatkan respon dari pemerintah khususnya dinas terkait, karena masalah budaya adalah hal yang paling urgen dan tentunya sangat menentukan arah dan kehidupan para generasi mendatang," tandasnya. Tidak jarang saat ini, Farha menjadi tempat bertanya banyak orang mengenai berbagai hal seputaran budaya Gorontalo. Farha pun di masa kepemimpinan Achmad Hoesa Pakaya sebagai Bupati Gorontalo, dipercaya sebagai pengelola Banthayo Po Bo Idea atau rumah adat Limboto. Namun pada kepemimpinan Bupati David Bobihoe, Farha memilih mengundurkan diri, karena dirinya sempat difitnah oleh beberapa orang hingga menyebabkan Bupati David Bobihoe marah. "Saya tidak pernah melakukan penyelewengan, tapi itulah saya tetap berupaya keras, dan tetap ingin berjuang untuk kelangsungan budaya Gorontalo," tutup Ketua LSM Mbui Bungale Gorontalo. * gpinfo*